Dua tahun yang lalu, saat banyak pamflet
organisasi-organisasi yang dipamerkan, saya bertanya pada senior saya “Organisasi
apa yang tentang kepenulisan?”. Dia menyarankan untuk masuk ke Lembaga Pers
Mahasiswa Fenomena. Konon, organisasi itu kegiatannya menulis dan menulis.
Tanpa banyak pikir saya masuk organisasi tersebut. Setelah mengikuti diklatnya,
saya resmi menjadi anggota. Setahun kemudian kegelisahan saya muncul untuk
memahami apa sebenarnya makna pers itu. Saya datangi pimpinan umum, Rusli, dan kutanyakan
apa makna pers sebenarnya karena sudah setahun saya bergabung dengan organisasi
tersebut tapi saya tak tahu apa itu pers. Dia menjelaskan panjang lebar bahwa
pers itu adalah sekumpulan orang yang bergelut di dunia jurnalistik, tetapi
tetap saja saya tidak paham. Akhirnya saya lari ke Pare di mana saya belajar
tentang kehidupan. Miss Uun,
pengampuh kelas Bahasa, memberiku sebuah buku, Indonesia Raya Dibredel, karya Ignalius Haryanto yang menceritakan perjalan
seorang Mochtar Lubis dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintahan
masa orde baru dengan korannya, Indonesia Raya, sampai akhirnya ditutup atau
dicabut izin terbitnya pada tahun 1974.
Dari buku tersebut, saya memahami bahwa makna
pers adalah sebuah berita. Sesimpel itukah makna pers? Kusampaikan pemahamanku
kepada Miss Uun. Beliau tersenyum
seraya berkata “Ya memang begitu”. Beliau menambahkan bahwa pimpinan umum
organisasi saya adalah manusia kamus yang artinya tidak mampu atau berani
mendefinisikan sesuatu dengan bahasa dari pemahaman sendiri. Maka dia akan
mengatakan seperti apa yang didefinisikan buku pelajaran atau semacamnya.
Setelah saya paham, saya mulai mantap melangkah di Fenomena dengan langkah saya sendiri tanpa takut salah atau menunggu
perintah para senior yang saya anggap sebagai orang-orang yang ahli. Singkat cerita, setelah dua tahun
di Fenomena, saya dipercaya sebagai pimpinan umum tepatnya beberapa minggu yang
lalu. Saya mulai mencoba membangun pondasi Fenomena yaitu AD ART-nya yang telah
lama hilang. Sebenarnya pembuatan AD ART sudah direncanakan sejak masa sebelum saya,
masa kepemimpinan Fikri Harahap, tetapi belum bisa terlaksana. Terima kasih
untuk LPM MEI, Media Ekonomi dari Fakultas Ekonomi, yang telah membantu kami dengan memberikan gambaran AD
ART-nya. Setahu saya, ini yang kedua kalinya LPM Fenomena meng-copy AD ART LPM MEI. Yang
pertama adalah di masa kepemimpinan Mas Herliyanto.
Dalam pembuatan AD ART Fenomena, yang paling
sulit adalah mencari tanggal berdirinya organisasi ini. Sebagai organisasi yang
tidak memilik camp wajar kiranya
berkas-berkas tidak mampu terdokumentasikan dengan baik. Ditambah hubungan kami
dengan para alumni cukup jauh dan ketika kami tanyakan, tak satu pun tahu kapan tepatnya
Fenomena didirikan. Ikhtiar mencari terus kami lakukan, ada sedikit titik terang ketika saudara
Fikri Harahap menemukan artikel alumni FKIP yang dimuat di web FKIP Unisma. Setelah
ditelaah
lebih jauh, artikel tersebut diambil dari media online, kompasiana.com, karya Abdul Malik dengan judul Betemu Wiji Thukul
di Malang. Artikel tersebut mencantumkan majalah Fenomena edisi ke V sebagai
referensi. Tetulis September 1995 Fenomena menerbitkan majalah yang meliput wawancara dengan Wiji
Thukul. Tapi sayangnya saat kami mencoba menghubungi penulis, kami kesulitan
karna setahu kami penulis hanya aktif di Twitter. Kami sudah mengirim pesan
lewat Twitter yang isinya memohon beliau berkenan menghubugi email yang kami
cantumkan. Semoga beliau segera membuka Twitter dan membaca pesan tersebut dan
mau menghubungi kami. Amin.
Gambar: Majalah Fenomena edisi V yang dibuat referensi |
Dalam hal ini saya tidak kecewa dengan
pendokumentasian LPM Fenomena yang gagal menjaga berkas-berkas penting
Fenomena. Yang saya kecewakan adalah di mana tulisan-tulisan para senior atau
pelopor berdirinya Fenomena yang tentunya bisa menjadi rujukan anggota LPM
Fenomena di masa mendatang. Maka dari itu, saya harapkan tulisan ini mampu
menjadi perekam sejarah Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, FKIP Unisma. Dan
akhirnya, salam persma.
Malang, 28 Juni 2015