“Malam yang telah berada di
puncaknya bergerak menuju ke wilayah pagi, apa pun yang terjadi sang waktu tak
pernah peduli. Waktu bersifat mutlak menggilas apa saja untuk berlalu, untuk
melapuk dan membusuk menjadi onggokan masa silam. Tak ada yang abadi, semua
berubah. Yang muda menjadi tua, yang hijau lalu menguning. Berubah, semua
berubah, tak ada yang abadi. Jika ditanya apakah yang abadi, perubahan itu
sendirilah yang bergerak secara abadi (h. 466)”.
Tentu kalimat panjang nan indah itu
bukan dari mulutku. Kalimat itu dari Langit Kresna Hariadi dalam novelnya, Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Tahta dan
Angkara (2006), terbitan Tiga Serangkai, Solo. Buku itu baru kupinjam dari
guru bahasaku seminggu yang lalu. Aku baru katamkan dua jilid, masih ada tiga
jilid lagi yang menunggu.
Begitulah pendefinisian waktu oleh
Langit Kresna Hariadi. Menggunakan kata menggilas, waktu yang bersifat mutlak
menggilas, tentu didasari oleh novelnya yang memang tentang perang yang saling
menggilas. Lain cerita jika novel itu menceritakan pelayaran semisal Marcopolo,
mungkin akan menggunakan kata mengarungi. Maka tak heran di zaman Nabi, waktu
terdefinisikan menjadi pedang. Juga di Barat waktu terdefinisikan sebagai uang.
Tentu laku mendefinisikan bukanlah laku sembarangan karena akan berdampak pada
laku pemikiran juga perbuatan.
Bagaimana pun waktu didefinisikan,
ia terus berjalan sesuai perintah Tuhan. Maju ke depan tanpa menoleh ke
belakang. Tugas waktu memanglah bukan sembarang tugas meskipun terkesan hanya
berjalan ke depan saja. Ia harus tetap berjalan meskipun jutaan air mata
menetes memohon ia berhenti, meskipun caci makian bahkan kutukan menghujani
lantaran enggan sejenak untuk berhenti. Waktu yang demikian menyandang tugas
berat itu tentu tak luput dari mata Penguasa Semesta. Tuhan menghargai
konsistensinya dengan bersumpah atas namanya dalam sebuah kitab, “Demi masa”.
Begitu besar penghargaan Tuhan
kepada sang waktu. Bagaimana dengan kita? Sejauh mana kita menghargai dan
menghormati sang waktu?
Pare, 12 Agustus 2015