Guru, maafkan aku. Aku tak berani
memimpin sumpah di pelantikan organisasi se-FKIP, Senin 7 September 2015, untuk
tingkat BSO, Badan Semi Otonom, yang meliputi BSO Teater Bangkit dan BSO LPM
Fenomena. Kala itu ruang yang bernama Micro Teaching dipenuhi aktivis mahasiswa
ditambah PD III, Bapak Yunus, dan Kajur Departemen Bahasa Indonesia, Bapak
Badri. Mereka semua orang-orang hebat karena bersemangat dalam niat membangun
FKIP. Tetapi bukan itu yang membuatku tak berani memimpin sumpah, melainkan
Tuhan. Aku harus memimpin sumpah dengan menyebut nama Tuhan sedang aku bukan
orang yang saleh.
Kala itu, aku belum menunaikan
shalat subuh. Aku belum berlindung pada Tuhan penguasa subuh. Aku belum meminta
restu kepada Tuhan untuk menjalani hariku. Aku belum menyapa Tuhan dalam
kebekuan embun. Tetapi tidak hanya itu yang membuatku merasa bukan golongan
orang saleh. Tentu sampean masih ingat ayat pertama Tuhan yang menyuruh kita
membaca. Itulah sebabnya. Aku baru mengkatamkan beberapa buku. Lalu bagaimana
aku berani memimpin sumpah dengan menyebut nama Tuhan?
Tetapi sampean tak usah terlalu
malu mempunyai murid sepertiku. Aku telah sampaikan permintaan maaf akan hal
itu. Setelah namaku disebut, aku lekas maju dan memegang mik “Assalamualaikum,
terima kasih atas kepercayaannya. Tetapi saya merasa tidak pantas untuk
memimpin sumpah. Mohon dimaklumi karena sumpah berhubungan dengan Tuhan. Terima
kasih.” Lalu aku duduk kembali di kursiku. Banyak mata menelanjangiku tapi aku
hanya berusaha mendengar suara bisik mereka, aku hanya ingin memastikan mereka
tak ada yang berkata “Murid siapa itu kok kelakuannya seperti itu?”. Dan benar
tak ada suara itu yang masuk ke daun telingah. Aku hanya mendengar dua suara
yang berimbang. Pertama, suara menghina karena dirasa terlalu sok suci. Kedua,
suara kagum karena ketegasan. Ada pula yang bertanya “Hanya seperti itu?
Sudah?”
Bukankah sampean pernah
mengutipkan kalimat Teo Tolstoy dalam Hadji
Murat “Tali tambang seyogyanya panjang tetapi kata-kata pendek saja.” Adakah
muridmu ini, aku, salah? Atau aku hanya berbicara bukan berbahasa? Maka, jangan
kapok-kapok mengajariku berbahasa karena sampean adalah guru bahasaku. Uun
Nurcahyanti.
Malang, 10 September
2015