Seluruh jagat manusia percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang sempurna. Satu-satunya pemilik segala maha, kecuali mahasiswa. Barangkali, tidak hanya di mata Tuhan, mahasiswa adalah produk “maha” yang gagal. Tidak memiliki riwayat yang ilahiah sama sekali. Saya tidak bermaksud menyinggung mahasiswa terdahulu yang barangkali memiliki banyak riwayat heroik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Soe Hok Gie, B.J. Habibie, yang begitu tekun menjalankan perintah Tuhan yang pertama “ikrok”. Riwayat berbuku mereka tak pernah disangsikan sejarah. Tapi, mereka tak semerta-merta menamai diri “Mahasiswa”.
Saya
semenjak kecil memandang status mahasiswa sebagai status yang aduhai begitu
mulia. Mahasiswa memasuki segala lingkup tatanan, mulai dari pers yang bertugas
mengawal jalannya pemerintah maka muncul yang namanya pers mahasiswa sampai aktivis perburuhan. Dan saya,
kemudian bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena. Barulah saya
sadar, tak semua mahasiswa tekun berbuku dan giat sinau. Ada mahasiswa yang
menghabiskan sekian banyak waktunya dengan diam. Sayangnya bukan semedi atau
meditasi sebagai laku menjernihkan nurani. Diamnya mahasiswa justru sebagai
korban teknologi yakni menjadi budak gawai. Dunianya sebesar layar lima inchi
dan bertubuh pada dua jempol saja. Menyedihkan.
Jadilah
segala perkara sesegera mungkin dikomentari, segala kasus secepat mungkin
diluruskan (versi masing-masing mahasiswa), dan segala kenyataan diabaikan
dengan kemayaan. Ironis, tetapi memang seperti itu. Akhirnya, mahasiswa
cenderung terjebak untuk mengkasuskan manusia dan memanusiakan kasus.
Mahasiswa dan Pemerintahan
Orde Lama
sebagai pemerintahan pertama pasca-kemerdekaan menjadi catatan penting termasuk
dalam dunia kemahasiswaan. Sekian tokoh lahir dari latar belakang mahasiswa.
Masyarakat pun semakin mendambakan anaknya bisa seperti Gie misalnya, begitu
aktif mengawal kebijakan pada pemerintahan Presiden Soekarno. Riwayat
demonstrasi Gie diabadikan Riri Riza dalam sebuah film Gie
(2005). Memang terbilang heroik riwayat demonstrasi Gie. Kita tahu bahwa
beberapa mahasiswa yang berdiri di barisan terdepan dalam demonstrasi justru
kerap mendapat jatah kursi “diam” di parlemen. Berbeda dengan Gie, saat
kebanyakan temannya memilih menjadi anggota dewan, Gie justru memilih
berliterasi dengan semesta raya. Ia pun mati di pangkuan gunung Semeru, Jawa
Timur.
sumber gambar: www.selasar.com |
Bisa
dikatakan mahasiswa – pada masa itu – memilik peran penting dalam pemerintahan
yang barusaja menyebut diri negeri demokrasi. Mahasiswa kerap turun ke jalan
untuk menyuarakan kritik atas kebijakan-kebijakan. Tetapi justru posisi penting
mahasiswa menjadi sasaran propaganda. Isu-isu mulai bermunculan dan tak
terkendali. Kita tahu Presiden Soekarno menjadi ancaman bagi negara-negara
Barat atas ketegasannya dalam setiap pengambilan keputusan. Tak heran jika
kemudian muncul pelbagai kelompok yang menginginkan Soekarno segera
dilengserkan. Aliran dana pun begitu deras mengalir pada kelompok-kelompok “makar”
tersebut.
Pelbagai ujicoba
pembunuhan pada Soekarno pun tercatat sejarah. Tetapi Soekarno bukan sembarangan
orang, ia pelaku spiritual. Ia pun pernah bertapa di Candi Wesi di lereng Gunung
Arjuna. Dan kita tahu, pelaku spiritual kerap mendapat bimbingan dari Guru
Sejati (Gusti). Pun kerap eling lan
waspodo seperti ajaran Ronggowarsito. Kemudian kita ingat, tak ada manusia
yang sempurna. Begitu paradoks memang kehidupan dunia. Soekarno pun jatuh,
ditandai dengan selembar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan disambut
dengan tragedi 65 atas pembantaian PKI termasuk Gerwani.
Mahasiswa
bergerak cepat untuk menurunkan Soekarno dengan pelbagai dalih dan dalil
kegagalan pemerintah. Soeharto yang gagah di mata mahasiswa pun menjadi
pengganti Soekarno untuk melangsungkan pemerintahan. Mahasiswa tak sadar bahwa
kelak pemerintahan Soeharto menjadi pemerintahan tirani yang menakutkan. Riwayat
hilang dan kematian aktivis mahsiswa juga buruh tak terhitung. Mereka pun sadar
bertapa Soekarno sangat menghormati Perguruan Tinggi dan melarang militer
dengan semena-mena memasukinya. Hal ini berlawanan dengan masa Orde Baru di
mana militer sampai berani membawa tank memasuki gerbang Perguruan Tinggi
ataupun sekedar menciduk mahasiswa.
Orde Baru
begitu ketat mengawasi masyarakatnya. Pers pun hampir tak berkutik. Sekian media
dibredel seperti halnya Koran Indonesia Raya milik Muchtar Lubis karena begitu
aktif mengkritiki kebijakan mahasiswa. Misal pada kebijakan larangan rambut
gondrong karena memicu kriminalitas. Indonesia Raya menyajikan fakta bahwa
justru manusia rapi, berdasi, dan wangi yang kerap korupsi.
Mentalitas Orba
Dan begitulah
watak manusia, semakin dilarang semakin tertantang. Orde Baru pun tak berhasil
mendiamkan mahasiswa dan buruh walau tembang kematian berdendang begitu keras.
Alhasil, umur Orde Baru hanya 32 tahun. Soeharto berhasil dilengserkan. Lagu
Buruh Tani dinyanyikan dengan begitu bahagia. Mahasiswa seolah berhasil membalas
“kesalahannya” atas pelengseran Orde Lama. Ternyata, mentalitas Orde Baru tak
begitu saja hilang. Karakter yang ditanamkan selama sekian puluh tahun sangat
membekas pada tatanan pemerintahan kita. Korupsi masih begitu genit untuk
diabaikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu kualahan menghapus
kegenitan tersebut. Sedang kita, mahasiswa, masih disibukkan dengan tugas-tugas
kampus agar tak … ah sudahlah. Kita begitu sibuk. Jangankan mengurusi
pemerintahan, membaca buku (non pelajaran) saja mungkin tak sempat. Akhirnya
kita alpa sejarah.