“Sekolah
peninggalan kompeni, hanya akan melahirkan ijazah untuk menjadi buruh.”
—Suwardi
Suryaningrat
Peringatan
penting Suwardi atau yang lebih dikenal bernama Ki Hajar Dewantara (KHD), tidak
terbaca penting. Barangkali, gema suaranya sama sekali tak terdengar keras dan
melengking. Riwayat gagasan KHD seolah berhenti di baju seragam; tut wuri handayani. Riwayat perjuangan
di jalur pendidikannya pun seolah berhenti oleh gelar pahlawan dan berjuluk
Bapak Pendidikan Nasional. Selesai. Tak ada lagi yang bisa dibicarakan lebih
luas. Atau kita masih beruntung, memiliki ingatan yang barangkali disusul imaji
bahwa di bulan Juli tahun 1913, negeri ini dikagetkan dengan tulisan dalam
harian De Express dengan judul “Als ik
eens Nederlander was…” yang artinya “Seandainya saya orang Belanda…” Dan
tentu, tulisan KHD sebagai protes serius pada kolonial yang mengajakpaksa
pribumi merayakan peringatan kemerdekaan Belanda dari Prancis.
Dampak
dari tak terbacanya gagasan KHD dengan lengkap dan cermat, melahirkan mindset
bahwa bersekolah itu penting. Sekolah sebagai politik etis Belanda memang
memiliki doktrin; siapa bisa lulus sekolah, bakal diberi pekerjaan. Perbandingan
lulusan sekolah dan tidak, bisa dibaca di buku Ubah Takdir Lewat Baca dan Tulis
Buku (2011) garapan Suparto Brata.
Buku berkisah perbandingan upah atau gaji bagi siapa yang bekerja tanpa bisa
baca-tulis, tentu dalam huruf latin, dan yang tidak bisa baca-tulis sebab tak
bersekolah. Upah bagi yang bisa baca-tulis berlipat-lipat lebih besar dan lebih
“nyaman” tidak berjibaku dengan pacul, palu, linggis, dan sebagainya, melainkan
memegang pena.
Snouck Hugronje (sumber:wikipedia) |
Dan
mindset semacam itu, tak lain jebakan Snouck Hurgronje sebagai pakar proxy
untuk mengganti konsep perang simetris menjadi asimetris. Perang tak lagi
berdarah-darah tapi racun-racun yang diberikan di bangku sekolah seolah menyatu
dengan sel-sel darah. Dan tentu, rawan mendarahdaging. Alhasil, orang tua yang
tak pernah kuliah bisa dengan yakin berkata pada anaknya bahwa kuliah itu
sangat penting untuk masa depan(anak)nya. Pesantren tanpa sekolah menjadi sepi
santri. Orang tua tak mau beresiko menitipkan nasib anaknya di pesantren
“tradisional”. Beberapa pesantren mendadak tutup, terlepas dari kegagalan
mendapat santri atau memang sengaja ditutup sebab sadar kehadiran modernitas
yang didukung Pemeritah Orde Baru bahwa semua anak wajib sekolah 9 tahun.
Sehingga ijazah diniyah terabaikan baik untuk melamar pekerjaan di pemerintahan
maupun perusahaan swasta.
Sekolah
dalam Buku
Sekolah
ala pemerintah tentu berbeda dengan Sokola yang digagas Butet Manurung. Sokola
tidak diadakan sebagai produk proxy entah pengaburan sejarah atau penanaman
doktrin-doktrin yang beracun. Salah satu tujuan Butet, selain pemerataan
pendidikan, adalah membebaskan Suku Anak Dalam dari hitungan yang palsu di mana
mereka menjual kayu atau pun hasil dalam hutan ke orang luar tanpa hitungan
yang benar. Dan selalu saja dibodohi dan dirugikan. Kisah diceritakan apik
dalam novel yang berangkat dari cacatan harian Butet dengan judul Sokola Rimba (2013).
Dengan
hadirnya sekolah, sejarah lebih mudah dirubah. Sebab sekolah seolah mengajarkan
kebenaran. Dan kekuasan Orde Baru yang mencapai 32 tahun, tentu menikmati
sekolah sebagai produk proxy yang istimewah. Program-program seperti wajib
sekolah dan jargon pembangunan disusupkan pada naskah cerita buku-buku sekolah.
Akhirnya, kita tak heran membaca buku-buku sekolah terbitan Pemerintah Orde
Baru memiliki intimitas dengan kata “pembangunan” dan “wajib sekolah”. Di tahun
2014, Bilik Literasi atau rumah joglo milik kritikus sastra Bandung Mawardi
mengadakan obrolan tentang buku anak dalam acara Tiga Hari Berhuruf. Peserta
disuguhi buku-buku lawas yang didominasi terbitan masa Orde Baru. Menariknya,
satu buku memaksakan kata “sekolah” masuk dalam cerita pewayangan. Alhasil,
dalam sebuah cerita, Arjuna dikisahkan bersekolah pada Resi Durna. Dan sebab
sekolah itulah, Arjuna bisa menjadi sakti. Wah!
Buku
apik tentang sekolah pada masa Orde Baru bisa kita temui dengan judul Totto Chan (1981) garapan Tetsuko
Kuroyanagi. Tentu saja bukan buku
Indonesia melainkan Jepang. Buku dengan judul asli Madogiwa no Totto-Chan tersebut baru masuk Indoneisa tahun 2008 dan
diterbitkan Penerbit Gramedia dengan judul Totto
Chan: Gadis Cilik di Jendela. Novel ditulis berdasarkan kisah nyata tentan
seorang tokoh kecil bernama Totto Chan yang dikeluarkan dari sekolah “formal”.
Seorang anak kecil yang suka menggambar di kertas sampai tak ada ruang kosong
dalam kertas tersebut sehingga merembet pada meja, harus dikeluarkan dari
sekolah. Di sekolah baru Totto Chan menghadap Kepala Sekolah dan disuruh
bercerita tentang apa yang ia sukai. Selama empat jam penuh kepala sekolah
mendengarkan cerita sambil tertawa, mengangguk kepala, dan berkata “lalu” setiap
Totto Chan berhenti cerita. Di sekolah dari gerbong kereta itu, murid yang
memang hanya sedikit dibebaskan belajar apa saban harinya. Dan murid yang
sedikit itu kelak jadi penyair, dokter, tentara, pengusaha, dan Totto Chan
sendiri menjadi penulis dengan pelbagai penghargaan juga mendirikan teater
professional pertama di Jepang untuk tunarungu.
Buku
apik lainnya berjudul Saga no Gabai
Bachan dan tentu masih seputar Jepang. Novel garapan Yoshichi Shimada yang
diterbitkan dalam bahasa Indoensia oleh Penerbit Kansha Book tahun 2011 ini
berkisah tentang tokoh Akihiro dan neneknya. Di mana kesulitan atau masalah
yang dihadapi Akihiro di sekolahnya bisa diatasi neneknya. Misal saja, nilai
jelek Akihiro pada sebuah bahasa Jepang tertentu. Neneknya dengan santai berkata
“Ya tidak apa-apa kan kita tidak pakai bahasa itu.” Akihiro adalah korban bom
Hiroshima dan ia harus dititipkan dengan neneknya, Aosi. Oleh alasan itu, Nenek
Aosi tak ingin sama sekali Akihiro menanggung kesedihan lainnya. Jika tak
berlebihan, novel ini berkisah sekolah sebagai pemberi masalah dan Nenek Aosi
sebagai pemberi solusinya. Pesan kontroversi Nenek Aosi pada Akihiro adalah
“Jangan sering-sering belajar, nanti jadi kebiasaan”. Nenek yang bijak. Duh!
Proxy
dalam Pramistara
Dalam Pramistara (Pesantren Ramadhan
Islam Nusantara) yang ke-5, sekolah sebagai produk proxy kolonial dijelaskan
lebih mendetail oleh K.Ng.H. Agus Sunyoto. Acara yang berlangsung selama 4
hari, 5-8 Mei 2019, diikuti oleh 40 santri yang diseleksi dari pelbagai
pendaftar. Materi disampaikan dengan begitu luwes dari sejarah sampai
perkembangannya terkini. Bagaimana jaringan kaki tangan kolonial dan
kapitalisme global kemudian bergerak menduduki kursi pemerintahan. Kita kemudian
membaca sejarah; Semasa Orde Baru perusahaan swasta bebas hutang luar negeri
dan terjamin pemerintah, rupiah anjlok sedangkan dolar melonjak, Indonesia
membuka hutang pada IMF, Freeport digerus dengan nama kontrak tembaga bukan
emas, perusahaan luar bebas menanam modal di Indonesia, dsb dll dst. Jaringan
sudah ditata sedemikian rupa dengan pelbagai skenario sulit diambrukkan. Gus
Dur yang mencoba mengambrukkan pun justru diambrukkan. Dilengserkan dari kursi
kepresidenan.
Dalam Pramistara V, Romo Agus
memperkenalkan nama-nama tokoh produk sekolah yang sebenarnya tidak asing dalam
khazanah sejarah. Menjadi mengejutkan karena ada pemilahan tokoh yang
benar-benar berjasa untuk Indonesia dan tokoh yang sebenarnya kaki tangan
kolonial dan kapitalisme global. Beberapa nama disampaikan; H. Agus Salim,
Soemitro, Sultan Syahrir Alisyahbana, Sjahrir, Amir Syaifuddin, Dr. Rajiman
Wedyodiningrat, Sema’un, Darsono, dan Soeharto, dikenalkan sebagai tokoh kaki
tangan kolonial dan kapitalisme global. Bahkan H. Agus Salim (HAS) adalah intel
jaringan mereka. Pernyataan tentu tidak ngawur. Data HAS sebagai intelijen
ditemukan di catatan Snouck H dan buku Seratus
Tahun Haji Agus Salim (1984).
Selain sekolah sebagai produk proxy,
ada pula beberapa naskah yang patut dihindari atau dibaca dengan segala
kesadaran bahwa naskah itu sebuah karya proxy. Ada Serat Darmogandul yang
ditulis Ki Tunggulwulung, misionaris Kristen, untuk melemahkan Islam. Hampir
secara keseluruhan berisi tentang pandangan negatif akan Islam. Salah satu
kisah di dalamnya menceritakan tentang percakapan Brawijaya V yang baru memeluk
Islam dengan pamomongnya yang bernama Sabda Palon dan Naya Genggong. Percakapan
membahas detail tentang islam dan subtansinya. Sampai pada akhirnya, Brawijaya
V menyesal telah masuk Islam. Naskah proxy lainnya, Suluk Gatoloco yang
berkisah percakapan santri bernama Gatoloco dengan seorang ulama besar bernama
Kiai Hasan Besari. Dalam suluk ini, terjadi perdebatan tentang islam dan
kesejatian dan Kiai Hasan kalah. Naskah yang tak kalah seru dimengerti sebagai
produk proxy adalah Kidung Sunda yang andil memecah Jawa-Sunda dengan dendam
atas Perang Bubat yang lebih dikisahkan sebagai pembantaian keluarga kerajaan
Sunda oleh Gajah Mada.
Akhirnya
Bung Karno yang membaca pergerakan
atau perubahan konsep perang pun dengan lantang mewariskan pesan serius:
Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan
lebih berat karena melawan bangsa sendiri. Dan kita, benar-benar sedang melawan
saudara sebangsa kita sendiri untuk mempertahankan identitas bangsa kita dari agenda
kapitalisme global; menghapus segala lokalitas sebagai identitas bangsa. Dan
mereka (jaringan kapitalisme global) barangkali membaca buku Architects of Deception: The Concealed
History of Freemansonry (2004) garapan Juri Lina. Di dalamnya dipaparkan
cara melemahkan bangsa: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti
sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan (3) putuskan hubungan
mereka dengan leluhurnya, katakana bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Dan
ketiganya benar dialami Nusantara kita.
Pesan
Bung Karno secara implisit mengabarkan adanya pergeseran dari perang simteris
menuju asimetris. Selain dari pesan Bung Karno, adanya penjajahan tak langsung bisa
terbaca pula dalam buku berjudul Jejak
Pangan: Sejarah Silang Budaya dan Masa Depan (2009) garapan Andreas
Maryoto. Ia menuliskan sebuah kegelisahan akan fakta agraria bahwa
petani-petani yang dulunya membuat Ratu Belanda kaya raya, kini tetap miskin
setelah merdeka. Barangkali sampai saat ini, tujuh puluh empat tahun pasca proklamasi,
petani-petani tetap miskin.