Di
sorga, sedang mendung. Doa rerumputan yang ingin mengobrol dengan hujan
terkabul. Adam masih termenung, tapi tapi tapi tanpa murung. Ia telah keluar
dari lingkaran segitiga ketuhanannya. Sebesit angan membuatnya mengambil
keputusan ini: turun menjadi tubuh serta memasuki dimensi ruang dan waktu. Ia tiba-tiba
ada di puncak gunung Himalaya kuno bernama Pawitraan. Kelak, Himalaya dan
Pawitraan dipisah demi keseimbangan bumi. Sebagai kunci keseimbangan, Pawitraan
akhirnya dikunci empat gunung kecil berpakem mata angin. Semenjak itu, Pawitraan
menjadi penanggung gejolak alam bumi.
Adam
telah diam bersila selama tujuh kali musim hujan. Adam menjelajah bumi yang ada
di dalam dirinya. Di sana, perjalanannya dimulai dari dasar laut yang gelap
seperti lorong panjang dan lebar tak berbatas. Di awal perjalanan, ia kerap
membuka mata sebab takut tersesat pada lorong gelap. Ia hanya memastikan bisa
keluar. Dari nafasnya, ia mengenali lebih detail mana pintu masuk dan keluar
yang ternyata hanya dibedakan aksara kuno kembar tetapi beda eja. Atau, pintu itu
sebenarnya satu dan aksara tereja beda oleh pikiran yang berbeda. Satu pintu
terbaca sebagai Kun. Satunya lagi, atau yang sama tapi beda eja, terbaca
sebagai Fayakun.
Adam
mengolah nafas menyeimbangkan antara hirup dan hembus. Ia tak sama sekali ingat
mana yang lebih dulu dilakukan. Seingatnya hembus. Seyogyanya hirup. Apa yang
dihembuskan jika tak berisi hirupan? Tapi tapi tapi Adam teringat samar bahwa
memang hembus dulu. Tapi tapi tapi sungguh sulit dinalar. Lalu Adam menyimpulkannya
secara manusiawi, sebab ia tak lagi berada dalam lingkaran ketuhanan yang
segitiga tadi, bahwa pada saat itu yang terjadi adalah Tuhan menghembus dan
menjadi hirupan manusia. Hirup di luar waktu, menjelma hembus di dalam waktu. Dan
itu itu itu peristiwa itu itu itu sangatlah cepat terjadi dan selesai. Dan kita
ingat kalimat ini kemudian: Ia tiba-tiba
ada di puncak gunung Himalaya kuno bernama Pawitraan.
***
Di
lingkaran ketuhanan yang segitiga, Amad dan Aamd masih diam. Mereka masih
Mahatahu dan tahu kalau Adam tak lagi Mahatahu karena keluar lingkaran. Tapi tapi
tapi, ia sudah berpamit terlebih dulu sebelum benar-benar menghembuskan dzatnya
yang kekal menjadi hirup yang fanak. Adam kini tak tahu menahu dan ia berusaha
mencari pengetahuan. Itulah keputusan Adam yang dipandang Amad dan Aamd sebagai
kecerobohan. Aamd bersabda, Adam telah ceroboh membedakan angan dan angin. Amad
bersabda, Adam telah tak waspada membedakan angan dan ingin. Adam bersabda,
dahulu, ini bukan inginku dan ini adalah inginnya semesta yang ingin kita sambang.
Ciptaan mana yang tak ingin bertemu Sang Pencipta sebagai sesama ciptaan?
Pertanyaan
itu abadi di lingkaran ketuhanan, sebab lahir saat Adam masih menjadi Tuhan
abadi. Kelak, Amad pun memasuki dimensi waktu. Menghembuskan dzatnya menjadi
hirup seperti Adam. Keputusan itu diambil bukan sebab ingin sambang ciptaan
tetapi ingin membantu Adam yang telah tidak Maha mengembalikan semesta pada
yang semula walau tahu Adam telah ceroboh menghembuskan dzatnya menjadi hirup
yang lain saat berhasil melewati lorong gelap kesemestaan diri dan bertemu
dirinya yang masih Tuhan bertahta di kerajaan diri. Kelak, Aamd memuji Amad
sebagai Yang Terpuji karena keputusan mulianya. Aamd sendiri tidak pernah menghembuskan
dzatnya seperti Adam dan Amad, ia memilih masuk pada setiap diri manusia dan
membantu sisa-sisa dzat ketuhanan Yang Diam, bersabda menuntun manusia pulang
pada ketiadaan.
Aamd
hanya bersambang pada ciptaanya dan muncul sebentar di Turisina dengan dzatnya
yang hampir melebur semesta dengan silau cahaya ilahianya. Syahdan, seorang
manusia yang menyadari tugas hidupnya sebagai salah satu nabi, hampir buta
menyaksikan peristiwa itu di Turisina. Indra kemanusiaannya tak sanggup membaca
sekelebat cahaya ketuhanan. Kelak, Amad mengajarkan manusia bahwa seharusnya manusia
menemui Tuhan, bukan memanggil Tuhan menemui manusia agar semesta yang fanak
tak rusak. Bahwa Tuhan tak jauh dari diri tapi tapi tapi tak juga dekat. Tuhan ada
di luar jarak. Bahwa Tuhan tidak lebih tua dari manusia, tapi tapi tapi tak
juga lebih muda. Tuhan di luar waktu. Di mana itu? Setiap kali ditanya itu,
Amad menjawab “di sini”.
***
Adam
berhasil menjelajah semesta kediriannya. Ia bertemu dzat ketuhanannya di dalam
diri. Di sebuah ruang tengah yang dalam yang diselimuti banyak rasa; takut,
ingin, marah, senang, sedih, putus asa, hampa, dan sebagainya. Dzat Adam, Yang
Diam, bertahta di sana. Lalu, tiba-tiba muncul suara-suara bergaya puitis
sebait-sebait. Adam sedikit samar mengenal suara tanpa bunyi tanpa nada tapa
irama tanpa ritem itu milik Aamd. Sejak itu, Adam menamai tempat itu sebagai
Bait Aamd [hampir lupa dijelaskan bahwa manusia tidak bisa mengeja Aamd dan
selalu saja terucap Aala. Maka, Bait Aamd tereja sebagai Bait Aala].
(sumber gambar: bioenergi.co.id) |
Setelah
lama berdiam dan menerjemah bait-bait di Bait Aamd, Adam mampu menjadi Tuhan
dan bisa kembali masuk lingkaran dan meninggalkan tubuh manusianya di puncak
Pawitraan, tapi tapi tapi Adam kembali ke lingkaran hanya sebentar saja, sangat
sangat sangat sebentar, hanya satu hembusan. Adam kembali menghembus pada waktu
dan menjadi hirup manusia lain yang kemudian dinamai Haua. Tiba-tiba Adam
tersadar dari diamnya dan mendapati bagian Adam yang lain di dekatnya bernama
Haua. Nama itu sebenarnya muncul dari kekagetan Adam dan berkata “Haua” saat
menyaksikan dirinya menjadi dua.
Kesadaran
akan ketuhanan yang sedikit pada Haua menjadikannya tak tahu menahu apa yang
sebenarnya terjadi. Sederet pertanyaan muncul: siapa aku, kenapa aku di sini,
untuk apa aku ada, siapa dia (Adam), kenapa dia ada juga di sini, untuk apa dia
ada bersamaku?. Aadm memberikan sebait peringatan pada Adam, dan suara ini
sangat lirih sebab Adam sedang tersadar di Pawitraan bukan di Bait Aamd. Jika di
Bait Aamd, walau tanpa bunyi pun akan tertangkap jelas bait-baitnya tapi tapi
tapi ini memang sulit dinalar. Sebait dari Aamd tereja: jangan dekati pohon [Haua] itu atau dzatmu akan bercecer menjadi banyak
manusia dan kau akan kualahan menjemput masing-masing darinya sebab tugas hidup
manusia yang tercipta adalah menjemput rasa yang menjelma manusia lalu
mengajaknya pulang pada ketiadaan.
Adam
tak yakin suara itu benar dari Aamd. Ia mendekati Haua. Tapi tapi tapi Haua
ketakutan dan berlari tak karuan hingga terpeleset dan terjatuh pada sungai
kecil aliran sumber yang membawa Haua menuju air terjun dan terbawa arus entah
ke mana. Adam tak berhasil memegang tangan Haua yang terseret arus sungai
deras. Adam termenung: Hilang ke mana rasaku? Harus kujemput ke mana ia lalu? Harus
jalan ke mana aku lebih dulu?
Adam
kembali mengatur napas dan bersila memasuki diri menuju Bait Aamd. Di sana ia bertaubat:
mengakui kecerobohannya tak mempercayai pendengaran hatinya tentang sebait
peringatan. Lalu ia kini lebih hati-hati mendengar dan waspada menafsir
bait-bait yang berdatangan. Sebait lagi turun: maka keluarlah dari sorga dan mencari rasamu itu, jemput ia pulang pada
dirimu sebagai asalnya, lalu pulanglah pada kami [Aamd dan Amad] sebagai asalmu
karena sejatimu adalah kami dan kami adalah kamu.
Akhirnya,
Adam turun dari sorga (sebutannya pada puncak Pawitraan) untuk menjemput Haua. Ia
menuruni gunung penanggung segala gunung itu dengan hati sedih. Di sepanjang
jalan, ia terhibur, sebab diajari banyak nama-nama oleh Yang Diam di dalam
dirinya sendiri: oh ini namanya rumput
yang berdoa hujan dulu, oh ini namanya batu yang berdoa diam sepanjang waktu,
oh ini namanya kelapa yang berdoa dengan tarian angin, oh ini namanya rindu. Aku
rindu pada Haua, diriku yang lain itu.
[[bersambung…]]
***
Separagraf Catatan:
Dongeng
ini digubah sebagai zakat tulisan dengan keyakinan bahwa segalanya memiliki
zakat dan atas kesadaran terlahir sebagai manusia yang diperintah membaca. Bukankah
pembaca wajib berzakat tulisan seperti wajibnya pendengar berzakat ucapan? Maka,
jika zakat ini dirasa kurang layak atau pantas bagai para penerima zakat, mohon
berlapang memafkan dan lekas memaklumi. Jika panjang umur, dongeng ini bakal
diteruskan segera. Jika tidak sabar, kalian bisa mencari di dalam masing-masing
diri tapi tentu berbeda bahasa dan mungkin versi. Karena dongeng ini
bersaripati beberapa kitab, salah satunya dipakai judul di atas: Sirmoyo. Kitab
ini tidak akan ditemui secara aksara karena memang tidak boleh (patut)
dituliskan. Sirmoyo dari dua kata, Sir yang berarti rahasia dan Moyo berarti
samar. Artinya, memang kitab ini adalah kitab yang berisi kerahasisan yang samar.
Adanya, hanya di dalam diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar