“Pemuda adalah sebaik-baik tempat
untuk menanamkan cita-cita”
-M. Yamin
Setelah shalat magrib, tepatnya
setelah diumumkannya lebaran, kesibukkan nampak di mana-mana. Di kampungku,
nampak bocah-bocah sibuk menyiapkan obor untuk “Takbir Keliling” yang akan
dimulai setelah shalat isya’. Juga bocah-bocah bermain petasan di lapangan atau
pematang sawah. Tapi aku meragukan kalau ramainya petasan tersebut sebagai
perayaan hari kemenangan, Idul Fitri. Sedang pemuda yang tergabung sebagai
Remaja Masjid (Remas) nampak sibuk menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk “Takbir
Keliling”. Di sisi lain dari semua itu, pemuda-pemuda semacamku lebih memilih
menjauh dari keramaian desa. Bukan kami tidak suka keramaian. Kami hanya ingin
keramaian yang lebih ramai, maka dari itu kami beramai-ramai ke kota. Dari
gambaran di atas, tentu bisa dipahami keramaian apa yang akan terjadi di desa
kami. Mari bayangkan. Jangan, tentunya klise sekali. Berkeliling kampung
membawa obor dengan menggemakan takbir.
Di sana, yang kami sebut sebagai
kota, akan ada sebuah keramaian yang nyata. Akan terdengar suara yang mengagetkan,
tetapi bukan petasan. Suara senapan polisi untuk membubarkan tawuran. Akan
terjadi pula semacam konvoi, bukan karena “Takbir Keliling” melainkan dikejar
Satpol PP. Dan akan terjadi pemukulan pula tetapi bukan pemukulan jidor. Pemukulan antarpemuda dalam
sebuah tawuran. Semua itu bermula dari awal lebaran, setelah magrib. Pemuda-pemuda
akan berkumpul di beberapa titik keramaian kota. Salah satunya adalah Taman
pinang–Gading Fajar, taman kota yang diapit dua jalan panjang. Di sana akan
berjajar pemuda dengan motornya, yang sebagian knalpotnya dimodif sedemikian
rupa agar semakin keras bunyinya. Yang nantinya akan saling mencari perkara
satu sama lainnya demi sebuah kata keren atau memang dendam. Perlu diketahui
bahwa di kotaku, Sidoarjo, sering terjadi tawuran antarpemudakampung, antarpendukungkesebelasan,
dan antargengmotor. Maka tempat semacam itu akan menjadi titik pertemuan dan
pecahnya tawuran.
Tentunya aku tak mau ikut tawuran
semacam itu. Aku tak sefanatik mereka. Aku tak tahu pasti penyebab mereka
fanatik. Barangkali mereka terdoktrin Multatuli dalam garapannya, Max Haveelar (2013), yang mengatakan
“Setengah-setengah itu tidak akan mengahsilkan apa-apa. Setengah itu tidak
baik. Setengah benar sama saja dengan tidak benar”. Tapi kurasa bukan itu
penyebabnya. Atau sebab perkataan R.A. Kartini “Pikiran adalah puisi dan
penggeraknya adalah seni” sehingga mereka definisikan tawuran sebagai seni bela
diri. Dan akhirnya muncul propaganda semacam itu. Tapi kurasa bukan itu pula
penyebabnya karena sedikit sekali dari mereka yang mengobrolkan buku saat
berkumpul atau bahkan nihil.
Semua itu hanya nostalgia masa
putih abu-abuku. Semenjak lulus SMA, aku berpaling dari dunia semacam itu ke
dunia “perdamaian”. Aku menjadi seorang anak vespa, Scooterist, dan tak lagi mampu menikmati tawuran semacam itu. Bukan
karena tawurannya tidak sehebat perang saudara antara Kurawa dan Pandawa dalam
etos Mahabarata. Perang yang berlangsung ratusan hari, perang yang meminum
ribuan atau jutaan darah manusia, perang anatara lima Pandawa yang didalangi
Krisna dan menang melawan seratus Kurawa yang didalangi Sangkuni, juga perang
bersenjatakan senjata para dewa, tentulah tak sebanding dengan tawuran di
kotaku. Tawuran yang bersenjatakan batu dan kayu dengan pelindung kepala berupa
helm.
Selanjutnya, lebaran ditemani oleh
secangkir kopi entah di bengkel vespa atau di warung kopi. Tapi jangan
dibayangkan kami meminum kopi spesial di hari spesial semacam itu. Hanya kopi
hitam seperti biasa. Tidak ada bermacam-macam kopi buatan Dee dalam karyanya, Filosofi Kopi. Dan tentu tidak ada
secarik kertas penjelas kopi yang telah kami minum dari pengaduknya. Waktu pun
cepat berlalu, malam telah digusur fajar. Ibuku memasak air sebagai campuran
air kamar mandi agar tak terlalu dingin nantinya. Bergantian, penghuni rumah
mandi kemudian shalat subuh. Sekejab, pakaian baru sudah menempel di badan. Ibu
menyediakan minuman hangat seperti teh manis dan kopi, sebelum kami berangkat
ke masjid untuk shalat ‘ied. Konon,
“Kalau lebaran sunnah pakai pakaian baru” kata abangku menasehati “tapi kalau
jumatan sunnah pakai pakaian putih”. Setelah ritual shalat ‘ied selesai, ada ritual “minta maaf”. Mula-mula meminta maaf
kepada kedua orang tua, lalu sanak kelarga, lalu para tetangga. Dan akhirnya, “Ngaturaken sedanten kelepatan kulo, mugi
jenengan kerso ngapuro”.