Ijinkan
aku berbicara ngelantur atau omong kosong atau apalah untuk malam ini. Percayakah
kau bahwa dalam secangkir kopi ada banyak kata yang sulit dimengerti? Malam ini
aku sedang duduk dengan secangkir kopi, dan tentu ada wi-fi yang menjadi
pasangan warung-warung kopi modern. Kopi ini mengajak bincang-bincang prihal
dunia bahwa:
Awalnya
Tuhan hidup sendiri, murni tiada kawan atau pun lawan. Ia yang awal dan yang
akhir. Maka, ia menciptakan makhluk yang tak lain dari cahayanya sendiri. Dalam
bahasa Arab, kita mengenalnya dengan istilah Nur Muhammad yang artinya cahaya
terpuji dan dalam bahasa lain kita mengenalnya dengan istilah Roh Kudus atau
jiwa yang suci. Dalam tulisan ini, yang kupakai adalah Nur Muhammad saja,
karena bakal berhubungan dengan syahadat dan lainnya.
Seiring
berjalannya waktu, Nur tersebut mengalami perjalanan syahadat. Pertama, ia bersaksi bahwa tiada Tuhan. Ia demikian
karena hanya melihat dirinya. Barulah saat melihat Allah, ia bersaksi tiada
Tuhan kecuali Allah dan dirinya yang terpuji adalah utusan-Nya. Maka, saat
itulah Tuhan menjadi Khalik atau Pencipta. Apakah Tuhan bisa disebut Khalik
tanpa adanya makhluk? Ah, tak usah kujawab, karena kau berhak atas jawabanmu
sendiri.
Suatu
ketika, Tuhan menciptakan manusia dan kau pun tahu Tuhan menggunakan mantra
terkenal-Nya yakni Kun Fayakun. Jika kau pisah, bakal kau temui bahwa Kun itu
sebuah kepalsuan dan Fayakun adalah lebih nyata meskipun bagiku juga sebenarnya
palsu. Ada jeda di antara Kun dan Fayakun yang mesti dilihat pelan-pelan. Dan
Tuhan meniupkan ruh pada manusia sehingga ia hidup. Kau tahu, ruh yang dimaksud
adalah roh kudus atau Nur Muhammad yang ku tuliskan di atas.
Apa
kau pernah mendengar bahwa Nabi Muhammad saat ditanya prihal dirinya, menjawab “Ana
ahmadun bila mim waa ana ‘arobun bila ‘ain” artinya aku adalah ahmadun tanpa
mim (ahad) dan aku adalah ‘arobun tanpa ‘ain (robbun). Dan kau tahu apa arti
semua itu? Muhammad mengakui adanya Nur Muhammad dalam dirinya. Itu adalah ilmu
tauhid yang katanya tak semua bisa mempelajari. Santri Nabi yang bernama Abu
Hurairah pun pernah mengaku “Aku diberi sekantong ilmu oleh Nabi yang mana
separuhnya diperintah menyebarkan dan separuhnya lagi tidak. Apabila yang
separuhnya kusebarkan, aku bakal dibunuh sebab dianggap halal darahku”. Dan
pernahkah kau mendengar cerita tentang manusia Jawa yang bernama Siti Jenar?
Manusia yang mengabarkan bahwa ada ilmu manunggaling kawula gusti yakni
ketauhidan.
Baiklah,
daripada kau bertanya-tanya siapa dia dan cerita yang mana, lebih baik
kuceritakan sedikit tentangnya. Ia adakah seorang wali yang masuk dalam
kelompok wali dengan nama Wali Songo (wali Sembilan). Dia memisahkan diri sebab
berbeda pemikiran dengan para wali lainnya. Ia sempat protes kenapa dalam
setiap pertemuan yang dibahas adalah penghancuran kerjaan Hindu terbesar di
Jawa yakni Majapahit. Melihat semua itu, aku pribadi meragukan niat penyebaran
islam wali songo di Jawa. Adakah niat tulus mereka yang sampai atau malah nafsu
mereka yang sampai di Jawa? Bukankah Tong Sam Chong memilih jalan setapak dalam
pengambilan kitab suci meski nafsunya yang berwujud Sun Go Kong sangat mampu
mengambilnya dengan satu lompatan?
Singkat
cerita Siti Jenar dibunuh sebab dianggap menyebarkan ajaran sesat yakni
kemanunggalan diri dengan sang pencipta. Ia mengabarkan adanya Tuhan atau lebih
spesifiknya adanya bagian dari Tuhan yakni Nur Muhammad pada dirinya. Maka ia
bersaksi bahwa dirinya adalah Allah dan Muhammad adalah utusannya. Jika ditanya
di mana Siti Jenar, ia mengaku bahwa dirinya Allah dan jika ditanya di mana
Allah ia mengaku bahwa dirinya Siti Jenar. Artinya ia sangat sadar asal usulnya
yakni ketiadaan. Bahwa manusia awalnya tiada lalu ada, maka mestinya sadar diri
dan kembali pada tiada bukan bermimpi kekal seperti Tuhan dengan membayangkan surga.
Ah, manusia terlalu hafal usholli tanpa mau menyelami makna di baliknya. Dengan
usholli mari mengasal usul diri.
Kau
masih ingin membuktikan surga dan neraka? Jangan memakai dalil adanya rukun
iman akan yang gaib lalu segala imajinasimu kau bilang bagian dari kegaiban
pada rukun iman. Surga adalah kebahagiaan bukan tempat yang membuatmu bahagia.
Bedakan kebahagiaan dan tempat yang membahagiakan! Apa kau sadar, surga yang
sudah terbayangkan dan terceritakan manis dari bibir ke bibir adalah tempat yang
sangat duniawi. Adanya bidadari yang siap melayani, apakah surga itu tempat
pelacuran semacam itu. Bagaiman dengan kata akhirat? Bagiku, akhirat adalah
kita temu saat kita terlepas dari dualitas dunia atau duniawi yakni tidak
senang ya tidak susah, tidak di Barat dan tidak di Timur, kita berdiri di
tengah segalanya. Seperti lakon Gatoloco yang diceritakan berasal dari tengah
jagat.
Begitulah
cerita singkat dari secangkir kopi asal penciptaan manusia, apa kau mengerti? Jadi
dalam diri manusia itu yang namanya Nur Muhammad yang sering dianggap sebagai
Allah itu sendiri. Dalam kitab Bayanulloh, diceritakan banyak manusia salah
kaprah dalam pencarian Tuhan, baru melihat bayangan putih saja sudah mengaku
melihat Allah, padahal itu adalah Nur Muhammad, yakni hanya cahaya-Nya saja.
Atau yang lebih lucu, mungkin bagi sebagian orang saja yang menganggap lucu,
adanya Baitullah di Arab Saudi yang pernah disinggung Siti Jenar, mana bisa
Tuhan yang sebegitu perkasanya terikat oleh geografis bumi dan hanya ada di
Arab. Bagi manusia Jawa semacamku, menganggap bahwa segalanya yang ada di luar
diri itu palsu dan yang asli ada pada masing-masing diri. Itulah sebabnya
kenapa manusia disebut sebagai jagat alit atau dunia kecil.
Jadi,
boleh kan kubayangkan seperti ini saat Ibrahim meletakkan batu di Arab sana di
depan Ismail, “Nak, batu ini kuletakkan bukan untuk apa-apa atau siapa-siapa,
melainkan hanya sebagai pengingat bahwa dalam diri manusia itu ada semacam batu
ini.” Wah puitis sekali Ibrahim dan Ismail. Apalagi saat adegan penyembelihan, “Nak,
aku bermimpi diperintah menyembelihmu”. Aku tak sanggup membayangkan seorang
Bapak yang kuat berkata demikian pada anaknya.
Ah
sudahlah, kopiku sudah mau habis, kapan-kapan dilanjut lagi di lain kopi di
lain hati,…