Kita mengingat
cerita punukawan (abdi) yang bernama Semar bersama anak-anak angkatnya; Petruk,
Gareng dan Bagong. Konon, Semar bertugas mengabdi pada manusia “baik” dan
membimbingnya tetap pada kebaikan. Di lain tugas, ada saudara Semar yang kita
kenal dengan panggilan Togog bersama kawannya yang bernama Bilung. Berkebalikan
dengan Semar, Togog mengabdi pada manusia “tidak baik” dan membimbingnya pada
kebaikan. Jika ditakar, tugas Togog mungkin lebih berat ketimbang tugas Semar. Mereka
tiga bersaudara yakni Togog (Antogo), Semar (Ismoyo) dan Manikmoyo. Sedang
Manikmoyo ditugasi memimpin Kahyangan.
Dalam pelbagai
cerita, baik Semar maupun Togog menjadi abdi yang juga sekaligus guru bagi
masing-masing tuan. Rupa mereka bisa dibilang buruk seperti wujud raksasa. Togog
digambarkan dengan mulut lebar sedang Semar bertubuh gendut. Konon, mereka
demikian akibat mengikuti sayembara yang diadakan bapaknya untuk menelan dan
memuntahkan gunung Mahasamun. Togog sebagai yang tertua mengawali sayembara dan
gunung Mahasamun meletus di mulutnya. Itulah kenapa mulut Togog digambarkan
sangat lebar. Sedang Semar, berhasil menelannya tapi tak berhasil mengeluarkan
kembali. Gunung Mahasamun tersimpan dalam perutnya. Oleh karena itu Semar
digambarkan bertubuh gendut. Mahasamun ternyata gunung perwujudan dari sikap
keserakahan. Secara tidak langsung, mereka telah belajar ilmu keserakahan dan
ditugasi turun ke Arcopodo (dunia manusia) sebagai pembimbing.
Banyak kata-kata
mereka kemudian menjadi pedoman bagi manusia Jawa dalam menjalani kehidupan. Mereka
adalah sosok yang tidak dimiliki manusia India meski kita (nusantara) dan India
punya cerita yang hampir sama baik Ramayana maupun Mahabarata. Hal ini sangat
tidak aneh, mengingat Nusantara dan India pernah dalam satu wilayah dengan nama
Jawa Dwipa (Nusantara) dan Jambu Dwipa (India).
Keberadaan sosok
Semar menjadi perdebatan yang menarik bagi penikmat sejarah maupun spiritual. Jika
ada di mana iya berada. Jika tiada kenapa ia begitu nyata diperbincangkan di
mana-mana. Di satu pendapat, Semar dikatakan tiada. Ia hanyalah perwujudan dari
jiwa yang bijaksana yang didongengkan dengan begitu baiknya seperti lakon Gatoloco
yang sebenarnya tak ada wujudnya. Di pendapat lainnya, ia dikatakan ada dan
berwujud layaknya manusia normal hanya saja dengan gambaran gendut. Ia bisa
dilacak di pelbagai cerita. Bukti lainnya ialah adanya petilasan-petilasannya. Salah
satunya Petilasan Eyang Semar di Pos III pendakian Gunung Arjuno.
Dalam naskah
kuno pun ia masih bisa dilacak seperti dalam Darmogandul. Pengakuan Sabda Palon
bahwa jati dirinya adalah pemomong raja-raja di Jawa dan telah berusia 2000
tahun lebih juga nama lain dirinya adalah Semar. Sabda Palon adalah abdi
Brawijaya V yang kemudian memisahkan diri dan memilih moksa lantaran anak
asuhnya berpindah agama dari Siwa Buddha ke Islam.
Semar
seringkali dikaitkan dengan istilah guru sejati lantaran selalu membimbing
tuannya. Guru sejati adalah guru yang ada di dalam diri. Ia dikaitkan dengan
Nur Muhammad atau Roh Kudus. Dengan kata lain, ia adalah percikan sang ilahi yang tak lain bagian dari sang ilahi itu sendiri. Maka, dalam keyakinan ajaran Jawa, Surga ataupun Neraka bukanlah alamat benar untuk kembali sebab asal kita bukan dari sana melainkan dari Sang Ilahi. Mengetahui asal adalah cara memahami jalan kembali. Dalam istilah Islam,
Nur Muhammad bisa dikatakan sebagai rembulan dan Allah adalah Matahari yakni
sumber segala cahaya. Sayangnya, banyak manusia yang takjub pada rembulan dan
enggan meneruskan perjalannya sampai pada matahari. Cahaya terang pada dirinya
langsung disembah sebagai Allah. Padahal seperti cerita Musa, ia tak kuat
melihat cahaya Allah bahkan Turisina pun hancur lebur olehnya.
Terlepas dari
semua pembahasan; ada atau tiadanya Semar ataupun adakah Semar adalah Nur Muhammad
dalam ajaran Islam dan Roh Kudus dalam ajaran Nasrani, kita mesti mengingat
bahwa bahasa sangatlah luas. Di daerah kita mungkin kotoran disebut sebagai
tai, di daerah lain bisa saja disebut tokai. Olehnya, tak usah kita sibuk
memperdebatkan bahasa, lebih baik kita sibuk memahami ajaran masing-masing. Toh
semua ajaran mengajarkan kebaikan dan tentu perdamaian. Memahami ajaran adalah
memahami bahasa masing-masing ajaran. Hal ini perlu ekstra kehati-hatian sebab
KEBENARAN BISA SAJA MENIPU seperti cerita Ibrahim dan patung yang
dihancurkannya.
Akhirnya,
selamat menunaikan ibadah ngaji; ngarah marang kang siji (mengarah pada yang
Satu)!