Sabtu, 14 Januari 2017

BUAH KULDI: INGATAN DAN PERINGATAN




Kita pernah mendengar cerita apik saat Hawa dan Adam memakan buah bernama Kuldi. Lalu diturunkan dari surga di mana ia bahagia. Konon, sepasang kekasih tersebut melanggar perjanjian dengan Tuhan lantaran terayu bujukan Iblis untuk memakan buah Kuldi. Kita sebagai anak cucu Adam, mungkin pernah mempertanyakan buah macam apa yang disebut Kuldi tersebut. Penafsir-penafsir menyajikan tawaran ide dalam kitab-kitabnya. Ada yang menyebutnya sebagai anggur dengan alasan memabukkan. Ada pula yang dengan bijaknya berpendapat bahwa buah itu hanya ada di surga pun tak bisa dijelaskan gambarannya. Artinya, kita tak pernah benar-benar memahami apa itu buah Kuldi. Kita pun enggan memaksakan pemahaman karena berhubungan dengan surga dan terlanjur percaya bahwa surga adanya setelah mati. Sedang kita, selalu saja takut mati.
Aku pun enggan mau bersusah melacak, apa itu buah Kuldi demi kepuasan pemahaman para pecinta dongeng. Sejauh ini, aku meyakini bahwa buah Kuldi itu bukanlah buah tapi simbolisasi. Di situlah, nilai sastra kitab suci. Tak gamblang menyebutkan. Selalu saja menjadi misteri yang menyajikan teka-teki. Kita sebagai manusia, mesti berani menguaknya sebab Tuhan memberi kita akal untuk berpikir. Berapa ayat yang menyindir kengangguran akal kita. Afala takkiluun (adakah kalian berakal)”. Afala tafakkaruun (adakah kalian berfikir). Lain cerita dengan malaikat, mereka tak diberi kesempatan untuk berpikir. Dengan kalimat tembakan, Tuhan berkata “ana aklamu maalaa tak lamuun (aku lebih tahu apa yang tidak kamu ketahui)”
Bagiku, jika kitab suci dipahami secara gamblang, ia akan menjadi kumpulan dongeng. Sangat menarik memang. Dan jika ia dipahami secara dalam, ia akan menjadi kumpulan pengetahuan. Sangat membingungkan memang.
Perlu diingat bahwa Islam adalah segitiga keselamatan dengan sisi sama antara alqur’an dan hadist. Jika alqur’an dipahami sebagai kumpulan dongeng, maka sisi ini akan pincang. Tak sepanjang hadist sebagai sisi akhlak. Akan kucoba gambarkan yang kumaksud dengan segitiga keselamatan:



Coba pikirkan, apa yang terjadi jika sisi literasi itu berganti dengan dongeng? Pincang, bukan? Memang menarik pemikiran Gus Dur yang terkesan prular “Selama kita berbuat baik, orang tidak akan menanyakan apa agama kita”. Senada dengannya, penyair yang suka memakai bahasa anak-anak, Joko Pinurbo pun menuliskan “Saat aku berdoa, Tuhan tidak pernah bertanya apa agamaku.”
Kalau boleh berpendapat, semua itulah yang disebut buah Kuldi yakni buah pengetahuan. Saat kita memakannya (pengetahuan) kita bakal menyadari bahwa kita punya tugas hidup dari Tuhan sebagai khalifah-nya di bumi. Maka, kita dengan kesadaran penuh akan meninggalkan surga (kebahagiaan) dan melakukan laku prihatin yang mana kata Pramoedya Ananta Toer bahwa hidup ini seimbang dan jika hanya ingin bahagia, itu pemikiran yang gila. Bukankah Tuhan Mahaadil? Kebahagiaan dan penderitaan harusnya seimbang.
Di Jawa, buah Kuldi dikenal dengan sebutan buah Budi. Ada seorang petani bernama Sabda Palon yang sudah menanam pohon Budi di perut Merapi selama 500 tahun. Sudah sekian tahun yang lalu, ia panen. Sekarang, ia sedang berjalan menyusuri Nusantara dengan maksud menyebar dan membagi buah Budi hasil panennya. Menerimanya adalah sama halnya dengan menerima pengetahuan. Menolaknya adalah sama halnya menolak pengetahuan juga sekaligus mengundang kematian. Selamat menentukan pilihan.*







*semua ini ditulis dengan separuh kesadaran, jadi jangan percaya berlebihan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar