Kita pernah
mendengar cerita apik saat Hawa dan Adam memakan buah bernama Kuldi. Lalu
diturunkan dari surga di mana ia bahagia. Konon, sepasang kekasih tersebut
melanggar perjanjian dengan Tuhan lantaran terayu bujukan Iblis untuk memakan
buah Kuldi. Kita sebagai anak cucu Adam, mungkin pernah mempertanyakan buah
macam apa yang disebut Kuldi tersebut. Penafsir-penafsir menyajikan tawaran ide
dalam kitab-kitabnya. Ada yang menyebutnya sebagai anggur dengan alasan
memabukkan. Ada pula yang dengan bijaknya berpendapat bahwa buah itu hanya ada
di surga pun tak bisa dijelaskan gambarannya. Artinya, kita tak pernah benar-benar
memahami apa itu buah Kuldi. Kita pun enggan memaksakan pemahaman karena
berhubungan dengan surga dan terlanjur percaya bahwa surga adanya setelah mati.
Sedang kita, selalu saja takut mati.
Aku pun
enggan mau bersusah melacak, apa itu buah Kuldi demi kepuasan pemahaman para
pecinta dongeng. Sejauh ini, aku meyakini bahwa buah Kuldi itu bukanlah buah
tapi simbolisasi. Di situlah, nilai sastra kitab suci. Tak gamblang menyebutkan.
Selalu saja menjadi misteri yang menyajikan teka-teki. Kita sebagai manusia,
mesti berani menguaknya sebab Tuhan memberi kita akal untuk berpikir. Berapa ayat
yang menyindir kengangguran akal kita. Afala
takkiluun (adakah kalian berakal)”. Afala
tafakkaruun (adakah kalian berfikir). Lain cerita dengan malaikat, mereka
tak diberi kesempatan untuk berpikir. Dengan kalimat tembakan, Tuhan berkata “ana aklamu maalaa tak lamuun (aku lebih
tahu apa yang tidak kamu ketahui)”
Bagiku, jika
kitab suci dipahami secara gamblang, ia akan menjadi kumpulan dongeng. Sangat menarik
memang. Dan jika ia dipahami secara dalam, ia akan menjadi kumpulan
pengetahuan. Sangat membingungkan memang.
Perlu diingat
bahwa Islam adalah segitiga keselamatan dengan sisi sama antara alqur’an dan
hadist. Jika alqur’an dipahami sebagai kumpulan dongeng, maka sisi ini akan
pincang. Tak sepanjang hadist sebagai sisi akhlak. Akan kucoba gambarkan yang
kumaksud dengan segitiga keselamatan:
Coba
pikirkan, apa yang terjadi jika sisi literasi itu berganti dengan dongeng? Pincang,
bukan? Memang menarik pemikiran Gus Dur yang terkesan prular “Selama kita
berbuat baik, orang tidak akan menanyakan apa agama kita”. Senada dengannya,
penyair yang suka memakai bahasa anak-anak, Joko Pinurbo pun menuliskan “Saat
aku berdoa, Tuhan tidak pernah bertanya apa agamaku.”
Kalau boleh
berpendapat, semua itulah yang disebut buah Kuldi yakni buah pengetahuan. Saat kita
memakannya (pengetahuan) kita bakal menyadari bahwa kita punya tugas hidup dari
Tuhan sebagai khalifah-nya di bumi. Maka,
kita dengan kesadaran penuh akan meninggalkan surga (kebahagiaan) dan melakukan
laku prihatin yang mana kata Pramoedya Ananta Toer bahwa hidup ini seimbang dan
jika hanya ingin bahagia, itu pemikiran yang gila. Bukankah Tuhan Mahaadil?
Kebahagiaan dan penderitaan harusnya seimbang.
Di Jawa,
buah Kuldi dikenal dengan sebutan buah Budi. Ada seorang petani bernama Sabda
Palon yang sudah menanam pohon Budi di perut Merapi selama 500 tahun. Sudah
sekian tahun yang lalu, ia panen. Sekarang, ia sedang berjalan menyusuri Nusantara
dengan maksud menyebar dan membagi buah Budi hasil panennya. Menerimanya adalah
sama halnya dengan menerima pengetahuan. Menolaknya adalah sama halnya menolak
pengetahuan juga sekaligus mengundang kematian. Selamat menentukan pilihan.*
*semua ini ditulis
dengan separuh kesadaran, jadi jangan percaya berlebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar