Mungkin aku beruntung, menjadi
mahasiswa di Kota Malang yang konon atmosfer pergerakannya terbilang baik. Hal ini
pun dibuktikan dengan mampunya aktivis di Malang “mendatangkan” Wiji Thukul
melalui film tentang dirinya; Istirahatlah Kata-Kata. Padahal Malang tidak
terdaftar dalam urutan kota pemutara film. Perang media dilakukan aktivis
Malang untuk “memaksa” pemutaran dengan bergerilya pada grup-grup aktivis untuk
melakukan ledakan di twitter yang menjadi media utama Istirahatlah Kata-kata. Akhirnya,
Malang terpilih dan memberikan kejutan kedua yakni dalam kurun waktu 24 jam
tiket terjual habis sebanyak 861 yang awalnya dijadwalkan hanya satu ruang
bioskop pun terpaksa menjadi lima ruang. Faktanya, aku kurang beruntung dengan
tidak kebagiannya tiket satu kursipun. Nafsukupun harus diistirahatkan.
Ledakan lain yang dilakukan aktivis
Malang adalah mengadakan Sarasehan Budaya “Wiji Thukul Kemana Sang Penyair
Kerakyatan?” di Warung Kalimetro pada Jumat (03/02). Panitia mengaku terkejut
dengan hadirnya peserta yang di luar dugaan, sehingga banyak yang harus rela
berdiri untuk tetap mengikuti Sarasehan.
Ingatan
Sosok Wiji Thukul di Malang tidak
begitu asing sebab di tahun 1995 Wiji membacakan puisi di Aula Usman Mansyur
Universitas Islam Malang (Unisma). Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena mengabadikan
kehadiran Wiji Thukul dengan melakukan wawancara dan menerbitkannya di Majalah
LPM Fenomena edisi V tahun 1995. Mengenai isi tulisan, bisa menghubungi LPM
Fenomena FKIP Unisma atau mengintipnya di web lpmfenomenaunisma.com yang jelas
Wiji sempat bertanya pada LPM Fenomena dan meminta jawaban berupa
tulisan “Kata teman saya, LPM Fenomena apolitis. Tolong dijawab dengan tulisan”.
Kurang lebih begitu kalimat Wiji saat itu.
Aku sempat mengobrol dengan Mas
Mamak yakni alumni LPM Fenomena sekaligus mahasiswa Unisma yang nekad
mendatangkan Wiji di tahun 1995. Sebenarnya, kedatanganku ke rumahnya untuk
mencari sejarah LPM Fenomena tetapi akupun dapat bonus cerita tentang Wiji
Thukul. Konon, proposal acaranya ditolak dekanat FKIP Unisma karena nama Wiji
Thukul masa itu sudah mulai “berbahaya” tetapi Mamak terus memaksa. Pihak dekanat
tidak mau membiayainya, akhirnya Mamak meminta izin acara, mengenai biaya dia
akan mencari sendiri. Mahasiswa yang dari dulu sampai sekarang berambut
gondrong tersebut akhirnya berangkat ke Solo bersama satu temannya untuk
mencari rumah Wiji dengan berbekal alamat sekadarnya. Singkat cerita, tubuh dan
pikiran seorang Wiji hadir di Unisma. Puisi-puisi dibacakannya di Aula yang
sampai sekarang masih menjadi tempat favorit aktivis Unisma untuk menggelar
acara.
Aku sedang berkordinasi dengan
pengurus LPM Fenomena yang sekarang untuk mau mengagendakan sarasehan budaya di
Unisma dengan mendatangkan Mamak untuk menceritakan perjalanannya mengundang
Wiji ke Unisma dan apa yang diobrolkan saat itu agar cerita kedatangan Wiji tak
lekas menjadi misteri seperti hilangnya penyair tersebut. Respon baik diberikan
pengurus LPM Fenomena, kita tinggal berdoa akan hari tersebut.
Gunawan Maryanto selaku pemeran
Wiji Thukul dalam Istirahatlah Kata-Kata berbagi gelisah pada sarasehan Jumat
kemarin. Ia mengakui kegelisahannya saat ditawari memerankan sosok Wiji. Butuh berhari-hari
untuk sekedar menyampaikan keputusan antara mau dan tidak mau. Gelisah lainnya
adalah saat pertama kali film tersebut diputar dan ditonton keluarga Wiji yakni
istri dan anak-anknya. Pelbagai pertanyaan muncul, adakah film tersebut bakal
membuka luka lama? Adakah keluarga bisa menerima caranya menjadi Wiji dalam film
tersebut? dsb.
Selain Gunawan Maryanto, sarasehan tersebut
dihadiri sederet nama-nama sebagai pembicara seperti Melati Noer Fajri (Pegiat
Anak Singa Film), Permata Ariani (Pegiat Komunitas Kalimetro), Utomo Bahardjo
(Orang tua Bima Petrus, korban penghilangan paksa). Melati berbagi kisah
bagaimana perjuangannya mendatangkan film Istirahatlah Kata-Kata di Malang.
Permata Aini atau yang disapa Puput menyampaikan perbandingan rezim, adakah
rezim sekarang masih takut kata-kata seperti masa Wiji atau sudah kebal. Utomo menyampaikan
kisah perjuangannya mengawal kasus hilangnya 13 aktivis di tahun 1998.
Pelbagai pemikiran dihadirkan di
sesi diskusi tanya jawab. Ada pula yang menyampaikan undangan untuk hadir di
acara Kamisan untuk mengawal kasus Munir oleh aktivis HAM di Malang. Akhirnya,
acara ditutup dengan penampilan-penampilan musikalisasi puisi, MC pun
mempersilahkan siapa saja untuk membacakan puisi. Sayangnya, tiba-tiba sekian
besar peserta membubarkan diri. Padahal, saat itu masih sekitar pukul 17.30
WIB.
Aku sempat gelisah, kenapa
tiba-tiba bubar saat sesi puisi. Adakah mereka hanya tertarik diskusi; menyampaikan
dan mendengarkan pendapat? Bahkan aku mulai takut, jangan-jangan mereka lebih
melihat Wiji Thukul sebagai aktivis daripada penyair. Jika benar, itu celaka. Bagiku,
Wiji Thukul itu penyair yang beraksi bukan aktivis puisi. Sebagai penyair, Wiji
memiliki intimitas dengan puisi. Tanpa menghadirkan tubuh, Wiji seringkali
hadir dalam puisi di pelbagai aksi. Lawan. Kegelisahan lain adalah, sebagian
besar yang hadir adalah mahasiswa, lantas bagaimana bisa mereka meninggalkan
puisi. Terlepas paham atau tidaknya puisi, mereka adalah manusia yang berproses
di universitas yang makna aslinya adalah antologi puisi. Universitas adalah
kata serapan dari university yang akar katanya adalah universe yakni gabungan antara uni (sekumpulan) dan verse
(saja). Maka, seharusnya, manusia yang ada di dalam universitas menjadi manusia
yang paham akan puisi-puisi. Faktanya, universitas miskin puisi. Mahasiswa seringkali
membatasi diri dengan puisi.
Barangkali, maksud Wiji akan
istirahatlah kata-kata adalah kematian puisi. Manusia tak lagi paham kata-kata
atau kita hanya berkata-kata tanpa pernah berbahasa. Berkata dan berbahasa
tentu dua hal yang berbeda. Selamat mengistirahatkan kata-kata dan menghidupkan
bahasa.