Kamis, 02 Februari 2017

MEMAHAMI SURAT AYAHNYA AMEL



Terlambat? Tak apalah, aku hanya memberi jeda untuk rindu. Bukankah tepat waktu seringkali menolak rindu? Baiklah kusajikan puisiku saja sebagai sarapan hari ini “SAJA”:
Untung saja kau tak datang tepat waktu, jadi aku masih sempat untuk rindu// Selamat datang// Baru saja, sekitar lima menit yang lalu, aku merindukanmu/
Surat ayahnya Amel. Mungkin kita semua telah mendengar berita surat izin tidak masuk sekolah dikarenakan sakit yang ditulis begitu puitis oleh ayahnya “Amel”. Izinkan aku mengutip penuh bagian isinya:
Alangkah indahnya pagi ini, matahari bersinar terang, burung-burungpun bernyanyi riang.
Bunga-bunga semerbak di taman mewangi dan bermekaran, tapi hanya satu yang terlihat paling indah dan menawan.
Tapi ibarat bunga, ada satu yang layu, yaitu Amel.
Hari ini, Kamis 26 Januari 2017 dia tidak masuk sekolah dikarenakan sakit.
Semoga ibu guru Amel tetap menjadi bunga yang paling indah menawan.

ibu guru dan surat ayahnya Amel (diambil dari Tribunstyle.com)

Sekilas dibaca memang sangat nyeleneh isi suratnya. Tak seperti pada umumnya. Tapi sebab itulah aku mau lebih memahaminya. Bagiku tulisan semacam itulah adalah wujud dari kemerdekaan. Tidak melulu mengikuti hukum kebiasaan. Kita bisa simpulkan bahwa hukum kebiasaan tidak menjamin kebenaran dengan adanya frase “salah kaprah”.

Alangkah indahnya pagi ini, matahari bersinar terang, burung-burungpun bernyanyi riang.
Gambaran pagi disampaikan dengan begitu sederhana. Jika semua itu adalah kenyataan yang ditulis gamblang, maka beruntung sekali keluarga Amel bisa menikmati matahari pagi ditemani ditemani kicau burung di negeri yang semakin padat bangunan ini. Jika semua itu hanyalah metafora, kita bisa menduga kalimat tersebut wujud kenangan historis penulis atau ayahnya Amel di masa lalu yang akrab akan keindahan semacam itu. Bisa pula, penulis menyampaikan pemahaman kata indah yang memiliki intimitas dengan alam yakni matahari dan burung-burung. Hal ini akan menjadi sebuah paradok yang menyindir para penikmat harta bahwa keindahan itu bukan pandangan akan mobil mewah atau rumah megah.
Bunga-bunga semerbak di taman mewangi dan bermekaran, tapi hanya satu yang terlihat paling indah dan menawan.
Bagiku, penulis sangat memahami dunia pendidikan. Terlebih yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara yakni Taman SIswa. Diksi yang dipilih KHD adalah taman bukan rumah ataupun gedung. Maka, penulis memilih memetaforakan siswa dan guru sebagai bunga-bunga dan sekolah sebagai taman. Pembagian bunga pun sudah begitu bagus. Siswa dikelompokkan pada bunga-bunga yang wangi dan mekar. Sedang gurunya, yang tentu sudah melewati masa pemekaran, disebut sebagai yang paling indah dan menawan. Dengan kata lain, siswa masih dalam proses mekar (belajar) dan guru sudah mekar dan menawan (mengajar). Selain itu, frase untuk gurunya bisa diartikan sebagai penghormatan karena boleh saja penulis memetaforakan guru sebagai tukang kebun yang merawat bunga-bunga. Sebenarnya objek “hanya satu” bakal menjadi misteri jika tak diperjelas di akhir surat yakni “ibu gurunya Amel”.
Tapi ibarat bunga, ada satu yang layu, yaitu Amel.
Setelah berbagi keindahan dan pujian-pujian, akhirnya penulis menyuguhkan keprihatinan pada pembaca dengan metafora bunga layu yakni Amel. Di negeri ini, memang akrab dengan basa-basi. Untuk meminjam uang yang sebetulnya membutuhkan waktu dua menit saja, kita bisa habiskan satu jam dengan berbagai cerita basa-basi. Bahkan pada Tuhan Mahatahu saja kita masih berani berbasa-basi dengan segala puji, barulah kita mengajukan sekian permintaan dalam doa-doa.
Hari ini, Kamis 26 Januari 2017 dia tidak masuk sekolah dikarenakan sakit.
Sebagai penjelas kata “layu” penulis memberikan kalimat gamblang tanpa metafora apapun. Inilah inti dari seluruh rangkaian kata dalam surat tersebut. Sebagai yang inti, tentu penulis menghindari ambiguitas demi pemahaman sempurna. Jadi, pembaca tak perlu banyak tafsir untuk memahami satu kalimat inti tersebut.
Semoga ibu guru Amel tetap menjadi bunga yang paling indah menawan.
Bagian isi surat diakhiri oleh doa. Jika dipahami, penulis memiliki tata karma yang menakjubkan. Pujian sebagai pembuka dan doa sebagai penutup. Frase bunga yang indah dan menawan pun dipilih sebagai penjelas kalimat sebelumnya “hanya satu”. Sengaja disamakatakan dengannya agar pembaca tak mengalami safari makna. Juga, sebagai ganti akan kata “layu” agar tak monoton karena maksud doanya adalah agar ibu gurunya Amel tidak layu-tidak sakit. Semoga ibunya Amel tidak memahaminya sebagai modus rayuan tetapi sebuah etika yang mengagumkan.

Akhirnya, semoga kita berani merdeka dalam tulisan. Selamat menulis!

3 komentar:

  1. Kebanyakan orang memang memahami tulisan itu ya secara tekstual, maka menjadi suatu kewajaran bila selembar kertas itu diperbincangkan orang. Dan memang terkadang orang melihat penulis itu secara kasat mata, yang karena itu bapak dari seorang siswa dikiranya tidak tahu apa-apa, padahal bisa jadi si bapak seorang sastrawan, seniman, atau dosen atau guru, atau bisa jadi petani yang sering bersama alam. Sungguh itu menarik difahami secara mendalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maka dari itu, kita perlu berbagi pemahaman agar kaya pengetahuan.

      Hapus
  2. saya baru tau ada surat izin tidak sekolah semacam ini. Wow, menarik. Anti mainstream adalah suatu bentuk menikmati kemerdekaan.

    BalasHapus