Terlambat? Tak
apalah, aku hanya memberi jeda untuk rindu. Bukankah tepat waktu seringkali
menolak rindu? Baiklah kusajikan puisiku saja sebagai sarapan hari ini “SAJA”:
Untung saja
kau tak datang tepat waktu, jadi aku masih sempat untuk rindu// Selamat
datang// Baru saja, sekitar lima menit yang lalu, aku merindukanmu/
Surat
ayahnya Amel. Mungkin kita semua telah mendengar berita surat izin tidak masuk
sekolah dikarenakan sakit yang ditulis begitu puitis oleh ayahnya “Amel”. Izinkan
aku mengutip penuh bagian isinya:
…
Alangkah indahnya pagi ini, matahari bersinar terang,
burung-burungpun bernyanyi riang.
Bunga-bunga semerbak di taman mewangi dan bermekaran, tapi hanya
satu yang terlihat paling indah dan menawan.
Tapi ibarat bunga, ada satu yang layu, yaitu Amel.
Hari ini, Kamis 26 Januari 2017 dia tidak masuk sekolah
dikarenakan sakit.
Semoga ibu guru Amel tetap menjadi bunga yang paling indah
menawan.
ibu guru dan surat ayahnya Amel (diambil dari Tribunstyle.com) |
…
Sekilas
dibaca memang sangat nyeleneh isi
suratnya. Tak seperti pada umumnya. Tapi sebab itulah aku mau lebih memahaminya.
Bagiku tulisan semacam itulah adalah wujud dari kemerdekaan. Tidak melulu
mengikuti hukum kebiasaan. Kita bisa simpulkan bahwa hukum kebiasaan tidak
menjamin kebenaran dengan adanya frase “salah kaprah”.
Alangkah indahnya pagi ini, matahari bersinar terang, burung-burungpun bernyanyi riang.
Gambaran pagi
disampaikan dengan begitu sederhana. Jika semua itu adalah kenyataan yang
ditulis gamblang, maka beruntung sekali keluarga Amel bisa menikmati matahari
pagi ditemani ditemani kicau burung di negeri yang semakin padat bangunan ini. Jika
semua itu hanyalah metafora, kita bisa menduga kalimat tersebut wujud kenangan
historis penulis atau ayahnya Amel di masa lalu yang akrab akan keindahan semacam
itu. Bisa pula, penulis menyampaikan pemahaman kata indah yang memiliki
intimitas dengan alam yakni matahari dan burung-burung. Hal ini akan menjadi
sebuah paradok yang menyindir para penikmat harta bahwa keindahan itu bukan
pandangan akan mobil mewah atau rumah megah.
Bunga-bunga semerbak di taman mewangi dan bermekaran, tapi hanya
satu yang terlihat paling indah dan menawan.
Bagiku,
penulis sangat memahami dunia pendidikan. Terlebih yang dicita-citakan Ki Hajar
Dewantara yakni Taman SIswa. Diksi yang dipilih KHD adalah taman bukan rumah
ataupun gedung. Maka, penulis memilih memetaforakan siswa dan guru sebagai
bunga-bunga dan sekolah sebagai taman. Pembagian bunga pun sudah begitu bagus. Siswa
dikelompokkan pada bunga-bunga yang wangi dan mekar. Sedang gurunya, yang tentu
sudah melewati masa pemekaran, disebut sebagai yang paling indah dan menawan. Dengan
kata lain, siswa masih dalam proses mekar (belajar) dan guru sudah mekar dan
menawan (mengajar). Selain itu, frase untuk gurunya bisa diartikan sebagai
penghormatan karena boleh saja penulis memetaforakan guru sebagai tukang kebun
yang merawat bunga-bunga. Sebenarnya objek “hanya satu” bakal menjadi misteri
jika tak diperjelas di akhir surat yakni “ibu gurunya Amel”.
Tapi ibarat bunga, ada satu yang layu, yaitu Amel.
Setelah berbagi
keindahan dan pujian-pujian, akhirnya penulis menyuguhkan keprihatinan pada
pembaca dengan metafora bunga layu yakni Amel. Di negeri ini, memang akrab
dengan basa-basi. Untuk meminjam uang yang sebetulnya membutuhkan waktu dua
menit saja, kita bisa habiskan satu jam dengan berbagai cerita basa-basi. Bahkan
pada Tuhan Mahatahu saja kita masih berani berbasa-basi dengan segala puji,
barulah kita mengajukan sekian permintaan dalam doa-doa.
Hari ini, Kamis 26 Januari 2017 dia tidak masuk sekolah
dikarenakan sakit.
Sebagai penjelas
kata “layu” penulis memberikan kalimat gamblang tanpa metafora apapun. Inilah inti
dari seluruh rangkaian kata dalam surat tersebut. Sebagai yang inti, tentu
penulis menghindari ambiguitas demi pemahaman sempurna. Jadi, pembaca tak perlu
banyak tafsir untuk memahami satu kalimat inti tersebut.
Semoga ibu guru Amel tetap menjadi bunga yang paling indah
menawan.
Bagian isi
surat diakhiri oleh doa. Jika dipahami, penulis memiliki tata karma yang
menakjubkan. Pujian sebagai pembuka dan doa sebagai penutup. Frase bunga yang
indah dan menawan pun dipilih sebagai penjelas kalimat sebelumnya “hanya satu”.
Sengaja disamakatakan dengannya agar pembaca tak mengalami safari makna. Juga,
sebagai ganti akan kata “layu” agar tak monoton karena maksud doanya adalah
agar ibu gurunya Amel tidak layu-tidak sakit. Semoga ibunya Amel tidak
memahaminya sebagai modus rayuan tetapi sebuah etika yang mengagumkan.
Akhirnya,
semoga kita berani merdeka dalam tulisan. Selamat menulis!
Kebanyakan orang memang memahami tulisan itu ya secara tekstual, maka menjadi suatu kewajaran bila selembar kertas itu diperbincangkan orang. Dan memang terkadang orang melihat penulis itu secara kasat mata, yang karena itu bapak dari seorang siswa dikiranya tidak tahu apa-apa, padahal bisa jadi si bapak seorang sastrawan, seniman, atau dosen atau guru, atau bisa jadi petani yang sering bersama alam. Sungguh itu menarik difahami secara mendalam.
BalasHapusMaka dari itu, kita perlu berbagi pemahaman agar kaya pengetahuan.
Hapussaya baru tau ada surat izin tidak sekolah semacam ini. Wow, menarik. Anti mainstream adalah suatu bentuk menikmati kemerdekaan.
BalasHapus