“Huruf-huruf
membuat setiap kata mendapatkan kaki dan ladangnya.”
—Afrizal Malna
Perjalan diri menjadi perjalanan puisi. Kesepian tak
selalu mengajak diri berakhir dengan tangisan, kegalauan, maupun curhatan di
media sosial. Kesepian bisa berakhir dengan puisi. Laku berdamai dengan sepi
diikhtiarkan Citra Pertiwi Amru (CPA) dan barangkali berhasil dengan terbitnya
antologi puisi Kisah Kelana (Penerbit
Mlaku: 2018). Buku setipis 50 halaman berisi 29 puisi yang berkisah perjalanan
diri. Buku diterbitkan dan dipersembahkan untuk guru bahasanya yang diakhiri
kalimat keraguan: apa ia mau menerima?
Hidup adalah perjalanan kata. Barangkali begitu
suguhan pengantar dari Uun Nurcahyanti, “Perjalanan sepi bersaut kata dan tanda baca, lantas
melahirkan puisi. Puisi menjadi titian penting pencatatan ulang sepi yang
terbangun di mazhab keriuhan.” Tulisan juga menjadi peringatan bahwa buku ini
berkisah perjalanan sepi. Membaca Kisah
Kelana berarti membaca kisah perjalanan manusia kesepian, melawan sepi, dan
berdamai dengan sepi.
Perjalanan Sepi
Perenungan
tentang sepi dimulai oleh jeda diri. Setelah sekian kesibukan dalam sebuah
rutinitas, CPA berkesempatan istirahat; memberi jeda untuk membaca diri. Kita
simak cuplikan puisi pembuka “Kecupan Juang”: Gunungan kesibukan menunggui/ di awal pagi/ kau dan aku tenggelam dalam
gunungan kesibukan/ hingga mereka lupa kembali pada nurani/ inilah kesibukan
melingkari manusia-manusia sekarang/. Rutinitas menjadi kesibukan yang
melingkar dan sekian banyak manusia tenggelam dalam putaran rutinitas, termasuk
CPA. Keinsyafan menuntunnya pada pembacaan diri. Membaca diri barangkali tak
semudah mengeja buku. Tubuh menyimpan kitab sejarah. Membaca diri tak bisa
dengan sekedar niat, melainkan butuh perjuangan. Puisi ditutup bait kesadaran
jalan juang: …kisah–kisah nenek moyang
tidur dalam singgahsananya/ Menunggu kecup manis seorang juang/.
Sampul depan bergambar Prabu Arjuna (koleksi Universitas Leiden, Belanda) |
Kembali
pada diri berarti kembali mempertanyaan hal-hal ke-diri-an. Dalam puisi
berjudul “Tubuh Sepi”, penyair menyajikan pertanyaan sepeleh namun serius: Siapa aku?/ Siapa aku?/ Jangan-jangan aku
hanya roh meminjam tubuh sesiapa?/ Jangan-jangan aku merasai sepi karena tak
tahu diriku siapa?/ . Kesepian tak melulu berkisah tentang kesendirian dari
pasangan ataupun kekasih. Sepi bisa berarti asing dengan diri sendiri. Menjawab
pertanyaan siapa dalam imajinasi memang tak semudah menjawab siapa dalam
buku-buku sekolah seperti Lembar Kerja Siswa (LKS). Waktu semalaman belum tentu
cukup untuk menjawab pertanyaan sepeleh itu. Di bait akhir, CPA berkisah
kegagalan menjawabnya: Malam menelanjangi
waktu yang kupunya/ mampuslah aku berperang dengan sepi/ aku benar-benar tak
mengenal siapa aku/ aku dan tubuhku belum saling mengenal/ aku ini siapa?/ aku
mau kemana?/. Pertarungan melawan sepi menambah kegelisahan diri,
memperkeras suara tanya tentang siapa aku. Pertanyaan tak terjawab dan justru
bertambah luas; aku mau kemana?
Di
puncak segala putus asa, manusia seringkali bertemu pasrah. Pamrih menjawab
pertanyaan diri yang gagal, melemaskan diri dan bahasa. Dalam puisi yang
judulnya dipakai judul buku ini; Kisah Kelana, penyair mengabarkan kepasrahan
di bait penutup: Biarlah aku papa ditikam
sepi/ supaya kelak sawahmu tak lagi/ menahan tangis/ dan rumah menjadi tempatmu
pulang/ sehabis kelana/. Penyair mengalah dan memilih berumah pada sepi.
Barangkali di waktu yang sama, CPA menyudahi peperangan anatar diri dan sepi.
Damai!
Menjawab
Siapa Aku
Pasrah
bisa jadi jalan kebersyukuran di mana Tuhan berjanji memberi kejutan tambahan
nikmat. Dalam falsafah Jawa kita mengenal kalimat nerimo ing pandum (menerima dengan lapang dada pembagian Tuhan).
Kepasrahan CPA, barangkali menjadi penyebab ia dibanjiri jawaban atas “Siapa
aku?”. Tafsir-tafsir keakuan dihadirkan. Kita simak cuplikan puisi setelah
Kisah Kelana dengan judul Bilangan Monyet: Mereka
bilang saya monyet/ karena pandai bersyukur/ bukan itu/ sekali lagi bukan/
bukan karena bersyukur tetapi terlalu/ puas akan setitik paham/. Sepuluh
hari setelah kepasrahannya, Kisah Kelana ditanggali 9 Maret 2017 dan Bilangan
Monyet ditanggali 19 Maret 2017, penyair mengaku mendapati setitik paham walau
bernada getir: Mereka bilang saya monyet.
CPA menjawab “Siapa aku?” dengan dari diri lain: kata mereka.
Sedikit demi sedikit, penyair
mendapati jawaban jati dirinya. Tentu saja versi hati nuraninya. Kisah
kelahirannya diceritakan di puisi “Malammu”: Aku lahir dari 26 huruf/ terangkai menjadi kata/ entah jelmaanku
menjadi frasa, kalimat/ atau paragraf/ bahkan nanti aku menjelma/menjadi puisi
untukmu/. Jalan sepi yang dilaluinya berbekal bahasa menjadikannya merasa
terlahir sebagi huruf, frasa, kalimat, paragraf, juga puisi. Komponen bahasa
dari yang paling sederhana berkembang dalam gabungan-gabungan. Ia yang awalnya
huruf, menjadi kata. Ia masih berpikir menjadi kata dan entah nantinya bakal
menjadi frase, kalimat ataupun doa seperti yang dituliskannya dalam puisi Iqro’:
Huruf-huruf yang berhimpitan menulis/ rangkaian doa/
doa orang yang bebas dari pikirannya/ doa orang yang terbelenggu dari/ pikirannya/
jari-jariku turut mengaminkan beberapa/ bait-bait doa/.
Puisi
tiba-tiba bergelimang doa. Kita tidak perlu membenarsalahkan jawaban penyair
atas pertanyaannya sendiri. Kita pun sangat boleh mengamini doa-doa yang
dipanjatkan Citra Pertiwi Amru dalam puisinya, terlepas apapun maksud hatinya.
Amin.