Senin, 02 April 2018

Toilet



Kamar mandi menjadi rumah kecil di dalam rumah. Kita bisa me-masuk-keluar-inya lebih dari tiga kali dalam sehari. Mandi, buang air kecil atau air yang lebih besar dari kecil, atau pula sekadar membasuh muka menjadi rutinitas laku di dalam rumah kecil kita. Kamar mandi menjadi ruang penting di dalam rumah. Seberapa penting kamar mandi, dijelaskan pepatah yang ditulisingatkan Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam Kentut Kosmopolitan (Penerbit Koekoesan: 2008: 128), “Pepatah kuno, jangan menilai pemilik rumah dari ruang tamunya, tetapi dari kamar mandi dan WC-nya,…” Wah, pepatah yang sangar. Ruang kamar mandi menjadi penentu penilaian orang pada pemiliknya. Kamar mandi, istimewah dan penting!

Kita bisa tidur di tenda, mobil, bus, emperan toko, dsb. tetapi apa kita bisa buang air kecil ataupun besar di sembarang tempat? Sebagian kita, bisa. Sebagian lainnya, tidak. Harus di ruang tertutup yang aman dari mata-mata genit yang tertarik dengan bentuk-bentuk bokong. Ruang sepi di mana kita bisa khusyuk menunaikan ibadah buang hajat. Urusan di dalam kamar mandi, mesti diselesaikan sendiri. Begitu kira-kira cuplikan peringatan penyair kita, Joko Pinurbo (Baju Bulan, 2013), Antar Aku ke Kamar Mandi: maka kuantar kau ziarah ke kamar mandi/ dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki// kau menunggu di luar saja// ada yang harus kuselesaikan sendiri/.

Frase buang hajat sebenarnya agak aduhai. Buang ya buang, hajat ya kebutuhan. Lantas, membuang kebutuhan? Atau kebutuhan membuang? Tetapi tulisan ini tidak dihadirkan untuk memperkarakan bahasa, seperti biasanya. Aku ingin berbagi perkaraku dengan toilet yang tak lain prihal modelnya. Modernitas mengajak memodernisasi segala hal dari yang besar dan pelik sampai yang sederhana dan sepeleh. Cara beribadah di dalam kamar mandi kita pun diurusi modernitas dari yang Buang Air Besar (BAB) sembari jongkok, kini diajak berganti duduk. Aku tak mau! Di dalam kamar mandi dengan toilet duduk pun aku masih nekad berjongkok. Sekalipun hal itu masuk kategori dholim, tidak meletakkan sesuai tempatnya di mana desain toilet duduk sangat halus dan diperuntukkan untuk pantat tetapi kupakai untuk kaki, aku sulit bertaubat dari kedholiman itu. Maha suci Tuhan pemilik segala toilet.

beribadah eek dan ikrok (sumber: brilio.com)


Di kampusku, cara mengetahui mana bangunan lama dan mana bangunan baru—jika sama-sama diperbarui catnya—adalah melihat isi kamar mandinya. Toilet jongkok berarti bangunan lama dan toilet duduk berarti bangunan baru. Begitu. Tapi… ini hanya cara imajinatif, belum dilakukan penelitian dengan sekian validasi. Pasangan dari toilet duduk adalah tempat kencing berdiri, dan aku belum bisa sampai sekarang. Jadi, kalau buang air kecil, aku lebih memilih masuk toilet. Toh tidak ada himbauan: ruang khusus buang air besar, jika airnya ternyata kecil, maka dikenakan denda. Kalau itu terjadi, mungkin kutambahkan pertanyaan di bawahnya: seberapa besar yang tidak terdenda dan seberapa kecil yang terdenda?. Dan pernyataan protes: jika tidak ada ukuran yang akurat, aku bebas keluar-masuk loh!

Awalnya kupikir aku saja yang tidak bisa menuruti kemauan toilet duduk. Setelah mengobrol dengan kawan, kekasih, saudara, ternyata beberapa dari mereka juga sama; tak suka toilet duduk. Ada yang memilih menghindarinya, ada pula yang sepertiku memakainya dengan berjongkok. Maaf toilet, ini fakta, kau mesti lapang dada menerima kaki walau yang kau harap adalah bokong terlebih yang semok. Aku legah. Bagaimana pun kegagalan berhajat dengan duduk jika terjadi padaku saja, bisa disebut sebuah kelainan. Menjadi semakin legah setelah membaca kumpulan puisi berjudul Mbeling (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia: 2004) garapan Apo Manampiring atau Diano Nimkan atau Unggal Walangati atau S.A. Atmodirono atau Juliana C. Panda atau Dova Zila atau Alif Danya Munsyi atau Yapi Tambayong atau Remy Sylado. Penyair dengan nama samara sangat banyak tersebut memang terkenal mbeling. Kita simak cuplikan puisi yang semakin melegahkanku dengan judul Ciri-ciri Orang Indonesia: di semua toilet bandara internasional/ orang-orang Barat duduk dan kelihatan kakinya/ orang-orang Indonesia tak kelihatan kakinya/ berjongkok di atas cuma melepaskan sepatu/.
 
Puisi digubah tahun 1982. Duh, ternyata jongkok dan duduk di dalam toilet, berpengaruh pada kecirikhasan Indonesia di masa Orde Baru. Apakah masih berlaku? Entahlah. Andai saja puisi digubah di tahun ini, mungkin toilet kampusku kuberi sekalimat peringatan: Berhajat sambil jongkok adalah bukti sikap nasionalisme kita, Bung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar