Kamar
mandi menjadi rumah kecil di dalam rumah. Kita bisa me-masuk-keluar-inya lebih dari
tiga kali dalam sehari. Mandi, buang air kecil atau air yang lebih besar dari
kecil, atau pula sekadar membasuh muka menjadi rutinitas laku di dalam rumah
kecil kita. Kamar mandi menjadi ruang penting di dalam rumah. Seberapa penting
kamar mandi, dijelaskan pepatah yang ditulisingatkan Seno Gumira Ajidarma (SGA)
dalam Kentut Kosmopolitan (Penerbit
Koekoesan: 2008: 128), “Pepatah kuno, jangan menilai pemilik rumah dari ruang
tamunya, tetapi dari kamar mandi dan WC-nya,…” Wah, pepatah yang sangar. Ruang
kamar mandi menjadi penentu penilaian orang pada pemiliknya. Kamar mandi,
istimewah dan penting!
Kita
bisa tidur di tenda, mobil, bus, emperan toko, dsb. tetapi apa kita bisa buang
air kecil ataupun besar di sembarang tempat? Sebagian kita, bisa. Sebagian lainnya,
tidak. Harus di ruang tertutup yang aman dari mata-mata genit yang tertarik
dengan bentuk-bentuk bokong. Ruang sepi di mana kita bisa khusyuk menunaikan
ibadah buang hajat. Urusan di dalam kamar mandi, mesti diselesaikan sendiri. Begitu
kira-kira cuplikan peringatan penyair kita, Joko Pinurbo (Baju Bulan, 2013), Antar Aku ke Kamar Mandi: maka kuantar kau ziarah ke kamar mandi/ dengan tubuh tercantik yang
masih kaumiliki// kau menunggu di luar saja// ada yang harus kuselesaikan
sendiri/.
Frase
buang hajat sebenarnya agak aduhai. Buang ya buang, hajat ya kebutuhan. Lantas,
membuang kebutuhan? Atau kebutuhan membuang? Tetapi tulisan ini tidak
dihadirkan untuk memperkarakan bahasa, seperti biasanya. Aku ingin berbagi
perkaraku dengan toilet yang tak lain prihal modelnya. Modernitas mengajak
memodernisasi segala hal dari yang besar dan pelik sampai yang sederhana dan
sepeleh. Cara beribadah di dalam kamar mandi kita pun diurusi modernitas dari
yang Buang Air Besar (BAB) sembari jongkok, kini diajak berganti duduk. Aku tak
mau! Di dalam kamar mandi dengan toilet duduk pun aku masih nekad berjongkok. Sekalipun
hal itu masuk kategori dholim, tidak meletakkan sesuai tempatnya di mana desain
toilet duduk sangat halus dan diperuntukkan untuk pantat tetapi kupakai untuk
kaki, aku sulit bertaubat dari kedholiman itu. Maha suci Tuhan pemilik segala
toilet.
beribadah eek dan ikrok (sumber: brilio.com) |
Di
kampusku, cara mengetahui mana bangunan lama dan mana bangunan baru—jika
sama-sama diperbarui catnya—adalah melihat isi kamar mandinya. Toilet jongkok berarti
bangunan lama dan toilet duduk berarti bangunan baru. Begitu. Tapi… ini hanya cara
imajinatif, belum dilakukan penelitian dengan sekian validasi. Pasangan dari
toilet duduk adalah tempat kencing berdiri, dan aku belum bisa sampai sekarang.
Jadi, kalau buang air kecil, aku lebih memilih masuk toilet. Toh tidak ada
himbauan: ruang khusus buang air besar,
jika airnya ternyata kecil, maka dikenakan denda. Kalau itu terjadi,
mungkin kutambahkan pertanyaan di bawahnya: seberapa
besar yang tidak terdenda dan seberapa kecil yang terdenda?. Dan pernyataan
protes: jika tidak ada ukuran yang
akurat, aku bebas keluar-masuk loh!
Awalnya
kupikir aku saja yang tidak bisa menuruti kemauan toilet duduk. Setelah mengobrol
dengan kawan, kekasih, saudara, ternyata beberapa dari mereka juga sama; tak
suka toilet duduk. Ada yang memilih menghindarinya, ada pula yang sepertiku
memakainya dengan berjongkok. Maaf toilet, ini fakta, kau mesti lapang dada
menerima kaki walau yang kau harap adalah bokong terlebih yang semok. Aku legah.
Bagaimana pun kegagalan berhajat dengan duduk jika terjadi padaku saja, bisa
disebut sebuah kelainan. Menjadi semakin legah setelah membaca kumpulan puisi berjudul
Mbeling (Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia: 2004) garapan Apo Manampiring atau Diano Nimkan atau Unggal Walangati
atau S.A. Atmodirono atau Juliana C. Panda atau Dova Zila atau Alif Danya
Munsyi atau Yapi Tambayong atau Remy Sylado. Penyair dengan nama samara sangat
banyak tersebut memang terkenal mbeling.
Kita simak cuplikan puisi yang semakin melegahkanku dengan judul Ciri-ciri
Orang Indonesia: di semua toilet bandara
internasional/ orang-orang Barat duduk dan kelihatan kakinya/ orang-orang
Indonesia tak kelihatan kakinya/ berjongkok di atas cuma melepaskan sepatu/.
Puisi
digubah tahun 1982. Duh, ternyata jongkok dan duduk di dalam toilet,
berpengaruh pada kecirikhasan Indonesia di masa Orde Baru. Apakah masih
berlaku? Entahlah. Andai saja puisi digubah di tahun ini, mungkin toilet kampusku
kuberi sekalimat peringatan: Berhajat sambil
jongkok adalah bukti sikap nasionalisme kita, Bung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar