Ini
adalah bukit atau puncak di mana saudaraku menaruh sesembahan dulu. Aku
mengetahuinya dari napasku: napak tilasku. Aku mengunjungi semua puncak
gunung-gunung di negeri ini dengan meraba yang ada di dalam diri terlebih
dahulu. Inilah puncak Janaka yang dikisahkan kitab-kitab tentang
saudara-saudara serasaku. Letaknya tepat di samping gunung Pawitraan. Namaku
Sys. Aku anak keempatpuluhsatu Adam dan Haua. Memang, sejarah terlanjur
mencatat empat puluh bayi [tanpaku] dan kesemuannya terlahir
berpasang-pasangan. Aku memang lahir di luar rahim, aku terproses di dalam
wadah dari rasa Bapak dan Biyungku. Kelahiranku disebabkan perdebatan cara
pernikahan dari keempatpuluh saudaraku. Bapak ingin menyilangkan mereka dengan
dalih tak baik menikahi saudara kembar. Sedangkan Biyung berpikir bahwa itu
sudah kehendak Sang Kuasa menjodohkan mereka di dalam rahim.
Aku
adalah bayi rasa yang disempurnakan Bapak, sebab Biyungku mencoba mewujudkanku
terlebih dulu dan hanya mampu terwujud separuh. Bapak beruntung, mendapat
kesempatan kedua sehingga seolah-olah ia berhasil atas keseluruhannya. Padahal,
masing-masing mereka hanya akan mewujudkan separuh sesuai kodrat Sang Kuasa.
Akhirnya, keputusan diwenangkan pada Bapak dan terjadi pernikahan silang,
mula-mula dari keempat saudaraku yang pertama. Pasangan kembar pertama bernama Hobil
dan Hikh dan pasangan kedua bernama Habil dan Hyl. Persilangannya menjadi Habil
dengan Hikh dan Hobil dengan Hyl. Hobil adalah saudaraku yang pendiam. Ia lahir
bersaripati rindu yang bisu, begitupun Hikh. Mereka wujud rindu antara Bapak
dan Biyung yang terpisah lama. Sedangkan Habil dan Hyl bersaripati aksara sebab
Bapak kala itu rajin mengajarkan pengetahuan pada Biyung.
“Jika boleh jujur, rasaku sudah terikat
bersamanya (Hikh) sejak di dalam rahim Biyung, Pak.” Kata Hobil pada suatu
malam purnama, sehari setelah pengumuman perjodohan silang dari Bapaknya. Sebagai
Bapak, Adam mengerti masksud anaknya. Tiba-tiba ia meragu dalam diri: apa jangan-jangan keputusanku kurang tepat
dan Haua justru benar sebagai pengandung mereka selama hampir setahun yang
tentu turut merasakan proses perjodohan di dalam diri. Adam diam. Semua
terlanjur. Hikh berparas lebih ayu dari saudarinya, Hyl. Maklumlah, ia bayi
rindu. Sedangkan Hyl adalah bayi aksara.
***
Kala
semua itu berlangsung, aku masih menjadi bayi rasa yang diam seolah di dalam
kandungan walau sebenarnya aku di dalam wadah atau cupu. Aku tidak turut andil
dalam perjodohan silang itu. Aku tak berpendapat apa-apa. Jika katamu: ya sebab kau masih bayi mana bisa
berpendapat, tentu saja kau salah. Aku bisa berpendapat dengan tangis. Aku
akan menolak perjodohan silang itu dengan tangisan dan Biyung pastilah mengerti
sedikit banyak bahasa bayi. Tapi Sang Kuasa menyuruhku diam. Akupun akhirnya
diam.
Bapakku
entah apa yang direncanakannya, ia tidak lekas pulang pada ketiadaan setelah
Biyung yang tak lain rasanya telah ditemu. Ia justru terkesan mengumbar rasa
dan menjadi empat puluh pasang bayi kembar. Kesemuanya terproses di dalam rahim
dari yang awalnya setetes air mani, menjadi bayi daging yang berisi rasa. Aku,
bayi keempat puluh satu dan tidak terproses sama seperti saudara-saudaraku dan
mungkin sebab itu tidak pula dicatat sejarah. Tapi, aku tetap bersyukur,
setidaknya aku bisa mengulang sejarah Bapakku yakni sendiri dan akhirnya berdua
dengan rasaku sendiri hingga Sang Kuasa memanggilku pulang.
***
Dua
hari setelah pengumuman, tepatnya sehari setelah Hobil menyampaikan rasanya
tentang Hikh pada Bapak, muncul pengumuman baru bahwa Sang Kuasa akan
memutuskan perjodohan dengan cara penerimaan sesembahan. Keduanya, baik Hobil
maupun Habil diberi waktu empat puluh hari. Hobil memilih bertanam bebuahan dan
Habil berternak hehewanan. Hobil beruntung, tanah sangat subur, sehingga ia
tidak perlu repot-repot menyirami taman buah yang dibuatnya di pinggiran
sungai. Ia memiliki banyak waktu luang dan dimanfaatkannya mengobrol dengan
tetumbuhan baik yang ditanam maupun yang tumbuh liar. Sedangkan Habil sibuk
menjaga hewan ternaknya, baik domba, ayam, bebek, dan sebagainya dari binatang
buas.
Di
hari ketiga puluh tiga, taman buah Hobil diserang sekawanan monyet yang
menghabiskan buah pisang dan mangga. Padahal, buah-buah itu yang paling
terlihat segar dan berisi. [Memang sulit dipercaya, pisang dan mangga sudah
berbuah lebat hanya dalam kurun satu bulan, tetapi itu benar-benar terjadi dan
kau harus ingat bahwa sebelum banyak manusia, bumi sangatlah subur]. Padahal
ada sepohon pisang yang seolah-olah bisa mengobrol nyambung dengan Hobil dan karena
itulah Hobil semakin bersedih.
Hobil
menyandarkan kepalanya pada pohon pisang termaksud dan hanya diam beberapa
waktu lamanya. Antara sadar dan tidak, Hobil mendapati dirinya di tempat lain
dan pohon pisang itu bermata, bermulut, dan berbicara: Mengapa kamu bersedih, Hobil? Kami dicipta memang sebagai makanan dan
boleh dimakan siapa saja termasuk kera-kera itu. Kami adalah mata rantai
makanan pertama yang artinya hanya memberi; dimakan tanpa memakan. Hobil
mulai sedikit mengerti tentang persembahan. Bahwa hidup bagi tetumbuhan adalah
seutuhnya persembahan. Dan kini, ia sedang diperintah Sang Kuasa untuk
memberikan persembahan. Apa lagi yang bisa dipersembahkannya ketika bebuahan
yang dirasainya telah hilang. Sedangkan waktu tidak mau memperlambat diri
menunggu munculnya buah-buah baru.
Di
tengah sungai, Hobil duduk diam di atas sebuah batu besar. Ia menikmati nada
yang tercipta dari gemericik air sungai. Ia semakin tenang. Ia mula-mula
menyesuaikan napasnya dengan nada-nada tertentu. Ia merasa terseret sebuah
napas dan tiba-tiba terbawa arus sungai di sepanjang gelap. Hingga tiba pada
sebuah tempat yang maha luas tiada batas. Entah bagaimana ia langsung menyukai
tempat itu. Ia berdiri dan mendapati dirinya masih duduk. Ia kebingungan,
menyadari dirinya menjadi dua. Dan kedua-duanya hidup. Keduanya saling pandang
dalam diam. Hobil mengingat pesan Bapaknya saat ia masih menjadi Hobil kecil
yang mengagumi bulan. Adam berpesan: segalanya
yang kau lihat adalah palsu dan yang asli terangkum di dalam diri. Saat Hobil
menanyakan maksud, Adam menjawab: simpan
saja kalimat itu, kelak ada waktu perjodohanmu dengan maknanya dan tiba-tiba
mengerti maksudnya. Segala kata memiliki kala untuk membuka rahasia.
***
Aku
tidak tahu, apa yang diobrolkan Hobil dengan dirinya sendiri yang kata Bapak
adalah wujud Yang Maha Diam. Aku sendiri baru berhasil memasuki diriku menaiki
napas ketika berumur dua puluh tujuh tahun. Yang kemudian kutahu adalah Hobil
telah mendapati ilmu sejati tentang persembahan. Bahwa persembahan seharusnya
adalah laku memberikan apa yang paling kita rasai. Hobil, saudaraku yang kataku
pendiam, telah benar-benar belajar dari dirinya yang sejati. Ia kemudian sadar
bahwa buah-buahan itu memang tak layak menjadi persembahan utama. Sebab, hanya
mengikat sekian rasanya. Ikatan terbesar rasa Hobil adalah Hikh seperti apa
yang disampaikan pada Bapakku, Adam: Jika
boleh jujur, rasaku sudah terikat bersamanya (Hikh) sejak di dalam rahim
Biyung, Pak.
Iya,
kau benar! Hobil akhirnya mempersembahkan Hikh pada Tuhan Sang Kuasa. Aku pun
sulit mempercayainya, begitupun sejarah. Kelak, sejarah mengatakan bahwa Hobil
adalah pecundang yang membunuh saudaranya sendiri sebab cemburu dan iri.
***
Hobil
berdoa: Tuhan semesta alam, kini kupaham
arti persembahan. Terima kasih Engkau kirimkan kera-kera untuk membuatku
belajar padaMu yang berdiam di dalam diri. Kupersembahkan Hikh, perempuan yang
terikat rasa olehku, untukMu yang mungkin akan Engkau berikan pada saudaraku,
Habil. Aku rela, Tuhan. Inilah wujud sembahku. Sudilah Engkau menerima, Tuan
Sang Tuhan.
(sumber gambar: pondokislami.com) |
Bapak
dan Biyung memandangi kedua saudaraku dari jauh. Hobil menaruh sesembahan
berupa bebuahan yang belum terlalu masak di atas bukit berbatu Puncak Janaka. Sedangkan
Habil memberikan sesembahan domba dan ayam di atas bukit bertanah. Entah doa
apa yang dipanjatkan Habil. Kata Bapakku kelak, Habil hanya berdoa singkat: Oh Tuhan, terimalah sesemabahanku ini.
dan Hobil tidak terlihat berdoa, hanya diam beberapa saat. Lalu mereka semua
pergi dan menunggu esok untuk menengok.
Malam
tiba dan terjadi badai di Puncak Janaka. Suara anginnya mencengkam malam
persemabahan itu. Bapakku memberanikan diri menyampaikan keraguan atas
keputusannya tentang perjodohan silang. Awalnya, Biyungku kaget tapi akhirnya
tanpa diduga justru bisa menenangkan Bapakku dengan kalimat manisnya: Tidak apa sayang, keputusanmu juga mungkin
bagian dari takdir itu sendiri. Awalnya aku pun berpikir bagaimana jika
perjodohan ini kliru dan terbalik. Tapi, seolah diriku sendiri berkata di dalam
hati bahwa berjodohan itu seperti sepasang kaki. Jika lelaki adalah kaki kanan,
maka perempuan adalah kaki kiri. Setidaknya tetap bisa berjalan walau besar
kecilnya berebeda, atau walau tinggi rendahnya kurang sama. Yang benar-benar
tidak boleh adalah lelaki bersama lelaki dan perempuan bersama perempuan. Bagaimana
kita bisa berjalan dengan dua kaki kiri atau dua kaki kanan saja. Bapakku terhening
sesaat, lalu mencium kening Biyungku kuat-kuat.
***
Bagian
ini sulit kuterima tetapi aku tetap harus menceritakannya. Bahwa sesembahan Habil,
kabur sebab dinginnya badai. Entah bagaiman caranya hewan-hewan itu bisa kabur
padahal sudah diikatkan pada sebuah pohon kecil di sana. Sedangkan persemabahan
Hobil, masih utuh di lingkaran batu Puncak Janaka. Lalu… Iya, kau benar! Sejarah
akhirnya mencatat bahwa persembahan Habil lah yang diterima Tuhan semesta alam
dengan dalih tiada lagi di tempat persemabahan.
***
Hobil
menangis. Entah mengapa ia tiba-tiba menangis. Adakah sedih sebab Hikh
benar-benar dinikahkan dengan Habil atau senang sebab persembahannya yang
asli, Hikh, telah diterima Tuhan semesta alam. Air mata memang selalu bermakna
ganda. Dan Hobil sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Sedih dan
senang seolah bercampur. Yang ia tahu kemudian adalah bahwa persembahan sejati
selalu dibarengi air mata. Selalu.
Kelak,
Habil yang tahu cerita asli itu akan meminta Hobil meluluskan hidupnya dengan
ikatan sumpah yang rumit dan Hobil tiba-tiba mesti membunuh Habil, lagi-lagi
sebagai persemabahannya untuk Sang Kuasa. Kalimat Hobil yang tulus masih
diingatnya: Jika benar persembahanmu
adalah Hikh, maka sejujurnya aku tak mencintai Hikh dan rasaku terikat pada
Hyl. Maka, aku ingin mempersembahkan diriku sendiri untuk Sang Kuasa dengan
bantuanmu, saudaraku Hobil. Sebab,
Hyl telah terlambat untuk kupersembahkan. Maka, kini dirikulah yang jadi
sesembahan. Bunuhlah aku, tolonglah aku tuk memberikan persembahan sejati pada
Tuhanku.
Hobil
akhirnya meluluskan permintaan saudaranya itu. Dan kemudian ia tersadar bahwa semua
itu kliru. Mengakhiri hidup dengan sia-sia bukanlah bagian sebuah persembahan. Dan
semuanya sudah terlambat. Ia dikutuk dirinya sendiri. Dan sejarah, telah
dibohonginya bahwa ia sengaja membunuh saudaranya sebab api cemburu. Ia ingin
dirinya terkutuk abadi dan saudaranya terus wangi. Rasa amarahnya menjelma
burung gagak hitam yang mencabik gagak hitam (rasanya yang lain) sampai mati. Setelah
amarahnya selesai. Kini, ia berpikir bagaiman caranya meminta maaf pada
saudaranya itu. Dan peristiwa terkenal itu terjadi, burung gagak mengajarinya
bagaimana meminta maaf kepada yang sudah mati. Tiada lain selain menguburkannya
dengan doa-doa. Dan Hobil akhirnya meniru rasanya itu.