:tulisan
ini hanya realitas belaka, jika ada nama tokoh dan tempat yang sama tentu bukan
suatau kebetulan.
Aku
tidak punya TV di tempat rantauhan tapi aku punya hati untuk sekedar melihat
realita meski dengan kadar keterlambatan. Aku teringat kata Nusron Wahid dalam
acara ILC dulu, “Kita orang Indonesia yang beragama islam bukan orang islam
yang ada di Indonesia”. Kalimat tersebut disampaikan dengan gaya khasnya yang
agak tegang seperti orang marah meski mungkin memang marah tapi tetap kuduga
semua itu bagian dari gayanya bukan wujud amarah. Aku tak berniat ketemu Nusron
Wahid sama sekali, aku hanya sedang mencari tentang FPI sebab saat itu, acara
diskusi kami dibubarkan orang-orang tak dikenal, sebagian berpakaian preman
sebagian memakai putih-putih seperti ciri FPI. Padahal, kami melaksanakan
diskusi ilmuan yang diadakan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Malang) dengan
tema Merawat Ingatan Marxisme dan Kekerasan 65. Sayangnya, tulisanku tidak
berbicara tentang diskusi itu, tetapi kembali pada Nusron Wahid.
ILC
kala itu membahas demonstrasi yang dilakukan FPI yang berujung ricuh dengan
aparat. FPI menyarakan penolakan terhada Ahok atas nama agama. Dengat kata
lain, FPI tak mau Jakarta dipimpin oleh manusia non-muslim. Maka, kalimat
Nusron Wahid di atas sebenarnya lebih dari cukup untuk memberikan tamparan kita
bahwa ini Indonesia, negara pancasila! Sekarang bumi Indonesia ramai lagi
dengan sesuatu yang hampir sama, Ahok dan Islam dan kali ini bukanlagi dengan
FPI melainkan MUI. Ironis memang, perselisihan atas nama agama. Obrolan ILC
kali ini membahas kalimat Ahok yang katanya menghina agama islam, alquran, ahli
tafsir prihal surat al-maidah dalam alquran. Perwakilan MUI yang notabennya
ulama pun terlihat emosional dalam menyampaikan pendapat hasil rapat dan
(mungkin) pribadi. Bahkan ia pun sampaikan hokum islam meski tidak dengan tuntutan
yakni di antaranya adalah diusir dari Negara dan bahkan dihukum mati. Barangkali
kalimat-kalimat dari MUI lah yang juga menular pada emosional Nusron Wahid yang
akhirnya menegaskan bahwa segala teks itu bebas makna termasuk alqur’an dan
yang paling paham tafsir surat almaidah adalah Allah dan Rasulullah bukan MUI
atau siapapun.
Asik,
ada sedikit kelucuan bagiku pribadi sebab atmosfer terasa panas meski aku
meraba hanya dari intonasi dan mimik wajah para peserta ILC. Aku teringat
tulisanku tentang setan yang terbuat dari api yang termasuk bagian dari unsur
dalam diri manusia baik pada versi empat unsur; tanah, air, api, dan angin atau
pun versi Pancamahabuta yakni lima unsur yang ketambahan unsur ruang. Artinya,
kita berpotensi jadi setan itu sendiri dan tak seharusnya terus-terusan
menyalahkan setan atas kelalaian kita. Aku katakana lucu karena Nusron berbicara
tentang ilmu tafsir dan MUI berbicara tentang ilmu fiqih dan berdebat
menanggapi Ahok yang berbicara ilmu politik. Ini sama halnya seperti temanku
yang mengajak berbicara prihal Tuhan tapi ia berbicara tentang agama dan
menjurus ke fiqih bukan tauhid.
Setelah
lahir kalimat tandingan untuk MUI tersebut, Nusron Wahid panen kalimat yang
bermakna sindiran, cacian, dan barangkali pujian. Gus Dur pernah mengatakan,
semua agama menyampaikan pesan damai tetapi kaum ekstrimis memutarbalikannya. Dari
kalimat itu, kita mundur lagi pada sejarah Majapahit, versi Damar Shashangka,
bahwa saat kaum islam putihan dipimpin Raden Fatah yakni pihak Sunan Giri
berhasil meruntuhkan Majapahit, Raden Fatah mendatangi janda atau Nyai Ampel
dan mengabarkan berita penting tersebut. Bukannya senang atas pencapaian islam,
Nyai malahan marah dan berpendapat bahwa Raden Fatah sangat bersalah yakni
salah karena melawan pemimpin resmi Negara, melanggar wasiat Sunan Ampel yang
melarang menyerang Majapahit seperti yang dilakukan Giri Kedaton yakni kelompok
islam putihan yang bersebrangan pendapat dengan islam abangan seperti Sunan
Kalijaga dan Siti Jenar, dan salah karena menyerang dan mengusir ayahnya
sendiri yakni Brawijaya V.
Pendapat
Nusron Wahid sangat menarik yang mengajak manusia islam di Indonesia berfikir
merdeka akan makna. Senada dengan itu, aku pernah menyampaikan dalam forum RAB
(Rumah Anak Bangsa) di Pare saat seorang teman yang hafal alquran menanyakan
makna ayat yang berhubungan dengan tema perempuan “Alqur’an bukan milik orang
islam, Injil bukan milik orang Kristen, begitupun kitab lainnya Taurat, Zabur
dsb. bukan milik golongan tetapi milik siapa saja yang mau membaca dan
memaknainya.” Kita pun mengingat Kartini yang dalam suratnya bercerita bahwa
dirinya tidak mau membaca alqur’an karena dilarang memahami (pada masa itu
memang Belanda hanya mengizinkan membaca).
Di
lain kata, Gus Mus berpesan dengan bijak, “Kalau tidak mengerti politik, mbok
sudah, rela saja tidak usah berpolitik, daripada membawa-bawa agama.” Ironis
memang saat kaum agamis berpolitik dengan ilmu agama. Lucu bukan? Meski bukan
lelucon! Lagi, kata Gus Mus, “ada yang sibuk memperdebatkan ibadah sampai lupa
beribadah”. Selamat menunaikan ibadah apa saja atau sama denganku, beraksara
dan berpuisi.
(hanya tulisan iseng, jangan dianggap serius nanti sakit hati sebab obatnya susah dicari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar