Minggu, 18 Desember 2016

Pemaksaan Simbolisasi Final Piala AFF




Bagi sebagian orang, yang dinamakan juara adalah nomor satu. Tidak dua, apalagi tiga. Begitu pula yang terjadi dalam persepakbolaan, juara dua adalah ia yang dikalahkan juara satu. Indonesia, yang menjadi juara dua Piala AFF pun lebih banyak disebut sebagai “pihak kalah” dariapada “juara dua” itu sendiri. Juara satu adalah harapan hampir seluruh masyarakat pecinta sepak bola di tanah air. Maka, wajar-wajar saja kita mendapati kekecewaan bersamaan mendapati kekalahan Timnas Indonesia.
Terlepas dari semua itu, Indonesia menjadi negeri yang suka akan prediksi-prediksi akan sebuah hubungan-hubungan. Khususnya kaum mayoritas negeri ini yakni muslim. Kasus penistaan agama dan aksi-aksi pembelaan berhasil dihubungkan dengan pelbagai ayat pada kitab suci Alqur’an. Piala AFF pun tak lepas dari penghubungan. Menjelang final, kita mendapati perhubungan antara Thailand vs Indonesia dengan ayat alqur’an yang menceritakan peristiwa pasukan gajah yang diserang pasukan burung.

Peristiwa Historis dan Lapangan
Diceritakan, pada peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW, makkah digempur pasukan gajah yang mencoba mengahancurleburkan ka’bah—bangunan bersejarah Nabi Ibrahim—yang dipimpin Raja Abrahah. Dalam penyerangannya, pasukan gajah tiba-tiba diserang pasukan burung yang diyakini sebagai utusan Tuhan dan membawa batu dari neraka. Burung-burung menjatuhkan batu-batu yang diceritakan begitu panasnya dan membunuh pasukan gajah. Tahun di mana peristiwa itu terjadi, disebut “Tahun Gajah”.
Cerita tersebut dihubungkan dengan final Piala AFF dengan simbolisasi “Gajah” sebagai Thailand, dan “Garuda” atau burung sebagai Indonesia. Final yang mempertemukan dua Negara tersebut, kemudian diprediksikan dengan kemenangan pasukan burung atas pasukan gajah. Pada babak pertama, kita melihat “pasukan gajah” menyerang pertahanan “pasukan burung” terus menerus. Pasukan burung lebih terlihat bertahan. Barangkali sebab dengan skor imbang pun, pasukan burung akan keluar jadi pemenang. Hal ini kemudian menjadi awal kehancuran pasukan burung, sebab lama kelamaan pasukan gajah menemukan cela untuk “penghancuran”. Mereka berhasil membaca. Goal pun tercipta.
Babak kedua datang, goal baru pun tercipta lagi. Mentalitas pasukan burung benar-benar diuji, tetapi toh mereka tak menyerah ataupun putus asa. Gairah menyerang, datang. Jadilah keduanya saling menyerang. Permainan menjadi menarik. Sayang, memang kita kalah sabar dalam membawa bola. Barangkali skor dua kosong menjadi beban pikiran pasukan burung. Pasukan gajah yang menyadari dirinya menang pun, memilih berbalik arah yakni bertahan. Mereka diuntungkan, karena pasukan burung sudah kelelahan dan terganggu beban pikiran. Berbeda dengan pasukan burung saat bertahan di awal pertandingan, pasukan gajah masih semangat dengan waktu yang kian panjang. Kini, waktu tinggal bebapa menit saja. Pasukan gajah pun terlihat mengulur waktu dengan cidera “manja” dan pergantian pemain. Akhirya, tak satupun serangan pasukan burung berhasil menjebol gawang pasukan gajah.

Pemaksaan Simbolisasi
Lantas, bagaiman dengan simbolisasi yang terlanjur menyebar sekian luasnya bahwa pasukan burung pastilah menang atas pasukan gajah? Barangkali memang prediksi manusia sekarang tak seakurat manusia dulu seperti Prabu Jayabaya dalam Jangka Jayabaya, Prabu Siliwangi dalam Wangsit Siliwangi, dan Sabda Palon dalam Darmogandul. Ada semacam pemaksaan simbolisasi. Peristiwa yang terjadi di tanah Arab, dipaksasamakan dengan tanah Jawa. Burung Ababil pun disamakan dengan burung garuda. Apakah memang keduanya sama? Entahlah.
Sebenarnya, di Jawa kita sudah jauh-jauh hari mengenal simbol garuda dan gajah sebelum Islam masuk. Dalam Hindu ataupun Siwa Buddha yang sudah tumbuh kian lamanya di tanah Jawa, simbol garuda, dikenal sebagai Dewa Wisnu dan simbol gajah dikenal sebagai Dewa Ganesha. Dewa Wisnu adalah dewa kelahiran yang menjaga kelestarian alam semesta. Ia dikenal sebagai salah satu dewa dalam Trimurti yakni Wisnu, Brahma dan Siwa. Trimurti adalah keyakinan tiga dalam satu. Sedang Ganesha adalah dewa pengetahuan yang diyakini anak dari Dewa Siwa dan Parwati. Sebenarnya ia berkepala manusia tetapi kemudian dipenggal Siwa dengan maksud menghilangkan kesombongan Ganesha. Akhirnya, kepalanya digantikan kepala gajah.
Jika ingin ada pemaksaan simbolisasi, mungkin kita bisa mencoba sambungkan peperangan antara Wisnu dan Siwa yang merupakan bapak dari Ganesha. Dalam sebuah peperangan, Wisnu kalah dari Siwa yang berhasil menancapkan Trisula (senjata Siwa) pada dadanya Wisnu. Maka, kesimpulannya, kubuh gajah akan menang dari kubu garuda. Tetapi toh itu tidaklah akurat, kita tidak mampu memberi alasan-alasan rasional akan perhubungan keduanya. Dan barangkali, semua ini hanya dugaan yang kebetulan. Mungkin saja, itu terjadi pada banyak perhubungan lainnya; kasus penistaan agama dan aksi-aksi pembelaan agama. Jika bukan kebetulan, kenapa garuda kalah setelah diprediksi sekian cantiknya? Barangkali demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar