Saya seringkali
teriming-iming edaran acara pembacaan puisi seperti Malam Sastra, Malam Puisi,
ataupun malam-malam lainnya. Dalam imajinasi saya, malam demikian layaknya
malam purnama dan barangkali layak disebut malam Lailatul Kodar. Terlebih, saya
ingin menghadiri pembacaan puisi daerah, pastinya bakal sangat memukau meski
saya nantinya rawan gagal memahami isi puisi. Bagi saya, bukanlah masalah
rumit, seperti saya mendengar seseorang tadarus alqur’an di bulan Ramadhan yang
menyejukkan meski tak sampai pemahaman. Justru menjengkelkan ketika sampai
pemahaman, misal afala tafakkarun
(tidakkah kalian berfikir) atau afala ta’kilun
(tidakkah kalian berakal).
Suatu malam,
saya menghadiri salah satu Malam Sastra di Malang yang diadakan aktivis mahasiswa
di kampusnya. Tempatnya sederhana, di sekitar salah satu gedung fakultas. Kursi
berjajar rapi dengan manusia yang berdesakan. Dalam hati, saya simpulkan
acaranya meriah meski konsepnya sangat sederhana. Lalu saya merapikan diri;
duduk teratur, menyiapkan diri menghayati puisi-puisi yang dibacakan. Saya gagal.
Saya lebih ke pembacaan alam sekitar. Gerak tubuh, suara, ekspresi wajah, dan
kata.
Ternyata, tak
ada puisi malam itu. Puisi-puisi mati. Hanya berhasil dibacakan, bukan
dihadirkan apalagi dihidupkan. Manusia-manusia yang hadir tak mampu (baca: mau)
mendengarkan puisi sepenuh hati. Justru, mereka lebih tertarik membaca puisi. “Mbak,
apakah masih bisa daftar, teman saya mau membacakan juga? Kalau bisa ia segera
menuju lokasi” kata seorang pada panitia. Bagi saya, kalimat itu mengerikan
sekali. Pertanyaan yang sombong sekali, pertanyaan yang bersyarat “jika”. Artinya,
jika tak ada kesempatan membaca, ia (yang dibicarakan) tak sudi datang. Barangkali,
panitia keliru memberi nama, seharusnya Malam Eksistensi bukan Malam Sastra
(Puisi).
Saya yang
duduk dan hanya berjarak sekian meter dari panggung (tempat pembacaan meski tak
berpanggung) tak bisa mendengar puisi karena suara-suara manusia di sekitar
saya. Ada yang bertukar sapa dan ada yang bertukar cerita. Barangkali mereka
menyamaartikan Malam Puisi dengan Malam Reuni. Tempat bertemu, bertukar kata
dan tawa.
Sejujurnya,
ada segelintir puisi yang bisa hidup karena dibaca (baca: hadir) sepenuh hati. Tapi
saya memilih pulang sebelum terlalu sakit hati. Saya memilih berdamai dengan
secangkir kopi. Mengobrolkan puisi-puisi. Meruwat ingatan-ingatan. Sampailah saya
teringat kawan saya yang sedang memperjuangkan literasi di Jeneponto, Fajar Dg.
Rasang selaku ketua Teater di Makassar, yang sering diundang dalam sinau
pembacaan puisi. “Sebenarnya tak ada rumus atau aturan dalam membacakan puisi,
kita cukup mencumbui puisi lalu membacakannya” katanya beberapa tahun yang lalu
pada saya.
Memang ketika
saya mengamati setiap membacakan puisi, ia lebur. Ia merasuk pada puisi. Tak ada
lagi seorang Fajar, yang ada hanyalah puisi. Barangkali itu yang disebut
memuisikan puisi bukan membaca puisi.
Seringkali kita
takut dalam membacakan puisi karena tak yakin bisa mengeraskan suara (semacam
teriak) dengan penuh ekspresi. Padahal, kita tahu bahwa penyair-penyair seperti
Gus Mus, Sapardi Djoko Damono, Djoko Pinurbo tak pernah berteriak dalam
membacakan puisi. Dan puisi-puisinya berhasil memasuki tubuh-tubuh manusia yang
mendengarnya. Bukan sebab mereka penyair besar, tetapi karena keikhlasan dan
kekhusyukan pendengar dalam menerima setiap puisi.
Kalau Sapardi
mengatakan “Orang marah tidak usah menulis puisi, tapi demo sajalah”, maka
bolehlah saya mengatakan “Aktivis tidak usah membaca puisi, orasi sajalah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar