Sabtu, 18 Maret 2017

KETIKA AKTIVIS MEMBACA PUISI




Saya seringkali teriming-iming edaran acara pembacaan puisi seperti Malam Sastra, Malam Puisi, ataupun malam-malam lainnya. Dalam imajinasi saya, malam demikian layaknya malam purnama dan barangkali layak disebut malam Lailatul Kodar. Terlebih, saya ingin menghadiri pembacaan puisi daerah, pastinya bakal sangat memukau meski saya nantinya rawan gagal memahami isi puisi. Bagi saya, bukanlah masalah rumit, seperti saya mendengar seseorang tadarus alqur’an di bulan Ramadhan yang menyejukkan meski tak sampai pemahaman. Justru menjengkelkan ketika sampai pemahaman, misal afala tafakkarun (tidakkah kalian berfikir) atau afala ta’kilun (tidakkah kalian berakal).

Suatu malam, saya menghadiri salah satu Malam Sastra di Malang yang diadakan aktivis mahasiswa di kampusnya. Tempatnya sederhana, di sekitar salah satu gedung fakultas. Kursi berjajar rapi dengan manusia yang berdesakan. Dalam hati, saya simpulkan acaranya meriah meski konsepnya sangat sederhana. Lalu saya merapikan diri; duduk teratur, menyiapkan diri menghayati puisi-puisi yang dibacakan. Saya gagal. Saya lebih ke pembacaan alam sekitar. Gerak tubuh, suara, ekspresi wajah, dan kata.
 
Sumber Gambar: (CNN Indonesia Rights Free/Dok. Bunga Yuridespita)
Ternyata, tak ada puisi malam itu. Puisi-puisi mati. Hanya berhasil dibacakan, bukan dihadirkan apalagi dihidupkan. Manusia-manusia yang hadir tak mampu (baca: mau) mendengarkan puisi sepenuh hati. Justru, mereka lebih tertarik membaca puisi. “Mbak, apakah masih bisa daftar, teman saya mau membacakan juga? Kalau bisa ia segera menuju lokasi” kata seorang pada panitia. Bagi saya, kalimat itu mengerikan sekali. Pertanyaan yang sombong sekali, pertanyaan yang bersyarat “jika”. Artinya, jika tak ada kesempatan membaca, ia (yang dibicarakan) tak sudi datang. Barangkali, panitia keliru memberi nama, seharusnya Malam Eksistensi bukan Malam Sastra (Puisi).

Saya yang duduk dan hanya berjarak sekian meter dari panggung (tempat pembacaan meski tak berpanggung) tak bisa mendengar puisi karena suara-suara manusia di sekitar saya. Ada yang bertukar sapa dan ada yang bertukar cerita. Barangkali mereka menyamaartikan Malam Puisi dengan Malam Reuni. Tempat bertemu, bertukar kata dan tawa.

Sejujurnya, ada segelintir puisi yang bisa hidup karena dibaca (baca: hadir) sepenuh hati. Tapi saya memilih pulang sebelum terlalu sakit hati. Saya memilih berdamai dengan secangkir kopi. Mengobrolkan puisi-puisi. Meruwat ingatan-ingatan. Sampailah saya teringat kawan saya yang sedang memperjuangkan literasi di Jeneponto, Fajar Dg. Rasang selaku ketua Teater di Makassar, yang sering diundang dalam sinau pembacaan puisi. “Sebenarnya tak ada rumus atau aturan dalam membacakan puisi, kita cukup mencumbui puisi lalu membacakannya” katanya beberapa tahun yang lalu pada saya.

Memang ketika saya mengamati setiap membacakan puisi, ia lebur. Ia merasuk pada puisi. Tak ada lagi seorang Fajar, yang ada hanyalah puisi. Barangkali itu yang disebut memuisikan puisi bukan membaca puisi.

Seringkali kita takut dalam membacakan puisi karena tak yakin bisa mengeraskan suara (semacam teriak) dengan penuh ekspresi. Padahal, kita tahu bahwa penyair-penyair seperti Gus Mus, Sapardi Djoko Damono, Djoko Pinurbo tak pernah berteriak dalam membacakan puisi. Dan puisi-puisinya berhasil memasuki tubuh-tubuh manusia yang mendengarnya. Bukan sebab mereka penyair besar, tetapi karena keikhlasan dan kekhusyukan pendengar dalam menerima setiap puisi.

Kalau Sapardi mengatakan “Orang marah tidak usah menulis puisi, tapi demo sajalah”, maka bolehlah saya mengatakan “Aktivis tidak usah membaca puisi, orasi sajalah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar