Sejarah di
negeri kita acapkali terlihat buram. Cerita-cerita memiliki pelbagai versi. Mengingat
ulang cerita Syeh Siti Jenar, membawa kita pada ruang dan waktu yang
benar-benar buta. Bukan hanya kematiannya yang masih dipertanyakan,
kelahirannya pun seperti Gajah Mada tak terjamah sejarah. Apa negeri ini
benar-benar negeri dongeng seperti yang didongengkan?
Konon,
Siti Jenar mulanya seekor cacing yang mendengarkan ajaran penting Sunan Bonang
kepada Sunan Kalijaga dan akhirnya disabda Sunan Bonang menjadi manusia. Meskipun
cerita demikian tak bisa disentuh nalar, kita mafhum saja karena kita percaya
seorang wali memiliki karomah atau keajaiban semacam mukjizat yang dimiliki
seorang Nabi. Tentu tingkatan karomah di bawah mukjizat. Seperti cerita Sunan
Giri yang diceritakan memiliki pena yang bisa berubah menjadi lebah yang
kemudian menyerang prajurit-prajurit Majapahit. Lalu, sembari
mengangguk-anggukkan kepala, kita percaya sebab ia seorang wali.
Metafora dan Tafsiran
Bagaimana
jika karomah itu kita pahami sebagai metafora? Tentu kemudian kita terkejut
membaca tafsiran Damar Shasangka, bahwa pena dan lebah hanyalah metafora puitika
seorang pujangga. Sebenarnya — kata Damar dalam ebook-nya, Runtuhnya
Majapahit (2010) — Sunan Giri hanyalah menulis artikel-artikel propaganda
keislaman untuk menggrogoti Majapahit. Tentu dengan pelbagai dalil sebab ia
seorang wali. Akhinrya, muncul gerakan-gerakan radikal kecil yang mencoba
“jihad” melawan Majapahit. Seberapa kecil, jika banyak tentu bisa merepotkan
prajurit Majapahit.
Damar
Shasangka, penulis novel sejarah Sabda
Palon (2011), memberi tafsiran yang bisa diterima akal sebab Sunan Giri
adalah wali yang tergolong dalam Islam
Putihan (islam putih) dan bercita-citakan mengislamkan Jawa. Bahkan ia
sempat menjadikan pesantrennya — yang mestinya mengajarkan ilmu agama, justru
menjadi politik pemerintahan — sebagai kerajaan yang bernama Giri Kedaton. Ia
sendiri bergelar Prabu Satmata. Tentu kerajaan kecil dengan arogansi besar tak
bisa berumur lama di dalam kerajaan sebesar Majapahit.
Memang
saat itu, para wali sendiri terbagi dalam dua golongan; Islam Putihan dan Islam
Abangan. Islam Putihan adalah golongan wali yang begitu fanatik terhadap Islam.
Sedang Islam Abangan adalah golongan wali yang tidak sama sekali berniat
menyerang Majapahit sebab memahami diizinkannya Islam berkembang di Nusantara
saja sudah perlu disyukuri toh wasiat
Sunan Ampel adalah orang-orang Islam dilarang menyerang Majapahit. Brawijaya V
adalah pemimpin negeri yang syah.
Islam
Abangan dipimpin Sunan Kalijaga. Tak heran, selain dalam berbusana yang tidak
kearab-araban, dalam berdakwah ia bisa berakulturasi baik dengan budaya Jawa.
Selain Sunan Kalijaga, nama Siti Jenar pun seringkali dikaitkan golongan Islam
Abangan ini. Sebab yang menentang pertama kali rencana penyerangan Majapahit
adalah dirinya. Justu ia berpesan sebaiknya Masjid Demak dihancurkan karena
bakal menjebak umat dalam syariat.
Konon,
demi misi penting penghancuran Majapahit, para wali menghukum mati Siti Jenar
atas nama agama. Ia didakwah sebagai wali yang menyimpang dan mengajarkan
kesesatan dengan bukti ia menganggap dirinya sebagai Allah. Tak heran, ajarannya
lebih dikenal dengan frase Manunggaling
Kawula Gusti (menyatunya hamba kepada Tuhan).
Sumber gambar: ahmadkalimntan.blogspot.com |
Kisah
dramatis kematian Siti Jenar dituliskan Moelyono Sastronaryatmo dalam Babad Jaka Tingkir Babad Pajang (Balai
Pustakan: 1981). Konon, tubuhnya mengeluarkan beberapa warna darah dan kembali
pada tubuhnya. Ia tak mati. Ia kemudian moksa. Tiba-tiba penuh cahaya kemilau,
lalu hilang. Ia hanya membuktikan bahwa pemahamannyalah yang benar. Cerita
lainnya, ia mati seperti manusia umumnya. Sangat biasa.
Bahasa
Siti
Jenar, kemudian kita tahu menjadi pemikir penting bagi pengembara spiritual.
Pemikiran-pemikirannya tidak pernah usai dikaji kembali. Ia sosok wali yang
memahami bahasa. Ia menyampuradukkan bahasa Arab dan Jawa demi mencapai
pemahaman yang sempurna. Lalu apakah benar ia seekor cacing?
Kita
tentu sangat setuju kalau cacing adalah hewan yang hidup di dalam tanah meski
sekali-kali muncul di permukaan tanah. Bukankah Jawa memiliki ajaran bumi
(tanah) bernama Siwa Buda? Lantas, tidakkah kita curiga bahwa semua itu
hanyalah metafora. Siti Jenar adalah wali yang sembari berguru pada Sunan
Bonang, ia mendalami ajaran leluhur di mana tanah diinjaknya. Memahami Islam
sekaligus Siwa Buda.
Apakah
para wali berbohong? Barangkali tidak. Dengan metafora, kita terlepas dari
kebohongan. Itu hanyalah seni dalam berbahasa. Maka, celakalah siapa yang tidak
paham bahasa. Tetapi jangan kemudian kita lebih sibuk memperdebatkan bahasa
karena bahasa semestinya membantu kita menuju pemahaman. Seperti kata “Tuhan”.
Manusia yang memberi nama, jangan sampai terjebak nama-nama. Siti Jenar alias
Syeh Lemah Abang pernah berkata: bahasa memang penting tetapi menjadi tidak
penting ketika hanya diperdebatkan.
Sekali
lagi, ini bukan negeri dongeng. Ini adalah negeri yang kaya akan metafora,
warisan dari para pujangga.
*Tulisan terbit
hari ini di buletin sinau mingguan Aksara Edisi 6, 16 April 2017.