Sabtu, 15 April 2017

SITI JENAR: KELAHIRAN METAFORA




Sejarah di negeri kita acapkali terlihat buram. Cerita-cerita memiliki pelbagai versi. Mengingat ulang cerita Syeh Siti Jenar, membawa kita pada ruang dan waktu yang benar-benar buta. Bukan hanya kematiannya yang masih dipertanyakan, kelahirannya pun seperti Gajah Mada tak terjamah sejarah. Apa negeri ini benar-benar negeri dongeng seperti yang didongengkan?

Konon, Siti Jenar mulanya seekor cacing yang mendengarkan ajaran penting Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga dan akhirnya disabda Sunan Bonang menjadi manusia. Meskipun cerita demikian tak bisa disentuh nalar, kita mafhum saja karena kita percaya seorang wali memiliki karomah atau keajaiban semacam mukjizat yang dimiliki seorang Nabi. Tentu tingkatan karomah di bawah mukjizat. Seperti cerita Sunan Giri yang diceritakan memiliki pena yang bisa berubah menjadi lebah yang kemudian menyerang prajurit-prajurit Majapahit. Lalu, sembari mengangguk-anggukkan kepala, kita percaya sebab ia seorang wali.

Metafora dan Tafsiran
Bagaimana jika karomah itu kita pahami sebagai metafora? Tentu kemudian kita terkejut membaca tafsiran Damar Shasangka, bahwa pena dan lebah hanyalah metafora puitika seorang pujangga. Sebenarnya — kata Damar dalam ebook-nya, Runtuhnya Majapahit (2010) — Sunan Giri hanyalah menulis artikel-artikel propaganda keislaman untuk menggrogoti Majapahit. Tentu dengan pelbagai dalil sebab ia seorang wali. Akhinrya, muncul gerakan-gerakan radikal kecil yang mencoba “jihad” melawan Majapahit. Seberapa kecil, jika banyak tentu bisa merepotkan prajurit Majapahit.

Damar Shasangka, penulis novel sejarah Sabda Palon (2011), memberi tafsiran yang bisa diterima akal sebab Sunan Giri adalah wali yang tergolong dalam Islam Putihan (islam putih) dan bercita-citakan mengislamkan Jawa. Bahkan ia sempat menjadikan pesantrennya — yang mestinya mengajarkan ilmu agama, justru menjadi politik pemerintahan — sebagai kerajaan yang bernama Giri Kedaton. Ia sendiri bergelar Prabu Satmata. Tentu kerajaan kecil dengan arogansi besar tak bisa berumur lama di dalam kerajaan sebesar Majapahit.

Memang saat itu, para wali sendiri terbagi dalam dua golongan; Islam Putihan dan Islam Abangan. Islam Putihan adalah golongan wali yang begitu fanatik terhadap Islam. Sedang Islam Abangan adalah golongan wali yang tidak sama sekali berniat menyerang Majapahit sebab memahami diizinkannya Islam berkembang di Nusantara saja sudah perlu disyukuri toh wasiat Sunan Ampel adalah orang-orang Islam dilarang menyerang Majapahit. Brawijaya V adalah pemimpin negeri yang syah.

Islam Abangan dipimpin Sunan Kalijaga. Tak heran, selain dalam berbusana yang tidak kearab-araban, dalam berdakwah ia bisa berakulturasi baik dengan budaya Jawa. Selain Sunan Kalijaga, nama Siti Jenar pun seringkali dikaitkan golongan Islam Abangan ini. Sebab yang menentang pertama kali rencana penyerangan Majapahit adalah dirinya. Justu ia berpesan sebaiknya Masjid Demak dihancurkan karena bakal menjebak umat dalam syariat.

Konon, demi misi penting penghancuran Majapahit, para wali menghukum mati Siti Jenar atas nama agama. Ia didakwah sebagai wali yang menyimpang dan mengajarkan kesesatan dengan bukti ia menganggap dirinya sebagai Allah. Tak heran, ajarannya lebih dikenal dengan frase Manunggaling Kawula Gusti (menyatunya hamba kepada Tuhan). 

Sumber gambar: ahmadkalimntan.blogspot.com
Kisah dramatis kematian Siti Jenar dituliskan Moelyono Sastronaryatmo dalam Babad Jaka Tingkir Babad Pajang (Balai Pustakan: 1981). Konon, tubuhnya mengeluarkan beberapa warna darah dan kembali pada tubuhnya. Ia tak mati. Ia kemudian moksa. Tiba-tiba penuh cahaya kemilau, lalu hilang. Ia hanya membuktikan bahwa pemahamannyalah yang benar. Cerita lainnya, ia mati seperti manusia umumnya. Sangat biasa.

Bahasa
Siti Jenar, kemudian kita tahu menjadi pemikir penting bagi pengembara spiritual. Pemikiran-pemikirannya tidak pernah usai dikaji kembali. Ia sosok wali yang memahami bahasa. Ia menyampuradukkan bahasa Arab dan Jawa demi mencapai pemahaman yang sempurna. Lalu apakah benar ia seekor cacing?

Kita tentu sangat setuju kalau cacing adalah hewan yang hidup di dalam tanah meski sekali-kali muncul di permukaan tanah. Bukankah Jawa memiliki ajaran bumi (tanah) bernama Siwa Buda? Lantas, tidakkah kita curiga bahwa semua itu hanyalah metafora. Siti Jenar adalah wali yang sembari berguru pada Sunan Bonang, ia mendalami ajaran leluhur di mana tanah diinjaknya. Memahami Islam sekaligus Siwa Buda.

Apakah para wali berbohong? Barangkali tidak. Dengan metafora, kita terlepas dari kebohongan. Itu hanyalah seni dalam berbahasa. Maka, celakalah siapa yang tidak paham bahasa. Tetapi jangan kemudian kita lebih sibuk memperdebatkan bahasa karena bahasa semestinya membantu kita menuju pemahaman. Seperti kata “Tuhan”. Manusia yang memberi nama, jangan sampai terjebak nama-nama. Siti Jenar alias Syeh Lemah Abang pernah berkata: bahasa memang penting tetapi menjadi tidak penting ketika hanya diperdebatkan.

Sekali lagi, ini bukan negeri dongeng. Ini adalah negeri yang kaya akan metafora, warisan dari para pujangga.












*Tulisan terbit hari ini di buletin sinau mingguan Aksara Edisi 6, 16 April 2017.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar