Memasuki
ruang yang hampir tiga tahun setengah tak pernah saya sambangi, memberi
nostalgia tersendiri. Bangunan tua itu menjadi rumah bagi mahasiswa yang
tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian lebih disebut
sebagai Komisariat At Tsawrah. Waktu itu, saya hanya menumpang tidur selama
masa Oshika Maba Unisma mengikuti ajakan teman saya yang merupakan anggota di
sana. Saya sempat memiliki semacam janji pada salah satu senior di tahun 2014,
suatu ketika nanti saya masuk HMI dan hari ini semoga janji saya lunas meski
kata “masuk” mengalami safari makna. Bukan lagi menjadi anggota terdaftar tapi
sekedar menjadi seorang pengantar. Saya diundang menjadi pegantar sebuah kajian
yang bertemakan “Menuangkan Ide dan Gagasan Dalam Karya Tulis”. Tahun lalu,
ketika saya masih menjabat Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, saya
sempat dimintai mengisi di HMI prihal pelatihan jurnalistik, tapi saya dengan
pelbagai pertimbangan, akhirnya menolak. Saya berpikir pelatihan jurnalistik
bukanlah kapasitas saya. Justru, saya masih belajar di LPM Fenomena.
Kali ini,
saya melihat tema sebagai bagian dari wilayah literasi, bukan lagi sempit pada
jurnalistik. Selain sebagai pelunasan “hutang”, saya mesti menghormati niat sinau
teman-teman HMI pada dunia kepenulisan. Tentu, saya senang. Daripada seperti
tahun-tahun lalu, saya hanya melihat OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus)
di Unisma beberapa kali bentrok dalam “pergerakan” mereka. Sayangnya, atau
lebih tepatnya untungnya, saya melarang anggota LPM Fenomena meliput kegiatan
apapun dari OMEK. “Biarkan mereka berkreasi” ucap saya waktu itu. Saya merasa
kami belum siap terjun ke wilayah OMEK, kami belum menguasai betul yang namanya
kode etik dan itu sungguh bahaya. Apalagi saya melihat potensi besar pada
pergesekan dan saya bakal menyalahkan diri sendiri sebagai sumber
ketidakharmonisan anggota saya dengan aktivis OMEK. Satu lagi, saya kawatir
media saya menyuguhkan berita-berita acara salah satu OMEK dan tentu akan
banyak dugaan-dugaan muncul terkait independensi LPM Fenomena ataupun izin
kegiatan OMEK di dalam kampus. Terlepas apapun, kita sama-sama telah memilih
organisasi untuk mengembangkan diri dan tentu itu langkah yang bagus.
Obrolan
Malam itu
(Selasa, 11/04) saya datang terlambat beberapa menit karena ternyata bensin
saya kosong. Sesampainya di sana saya masih mengobrol dengan teman-teman yang
tergabung dalam HMI At Tsawrah sembari menunggu anggota sinau yang belum
datang. “Kok ya seperti pulang ke rumah sendiri” kesan saya, meski banyak teman
senior yang lebih saya kenal tidak hadir. Obrolan dibuka moderator yang
mengingatkan tema dan memperkenalkan diri saya memakai kata “beliau”. Meskipun
terkait tata karma atau apa saja namanya, saya takut bakal menambah jarak antara
saya dan peserta sinau.
Saya katakan
di awal bahwa saya tidak suka diskusi formal yang mana pengantar memberi ulasan
panjang, lalu moderator mempersilahkan pertanyaan-pertanyaan diajukan. Saya
mempersilahkan siapa saja memotong penjelasan untuk bertanya atau bertukar
pemikiran. “Tema teman-teman malam ini adalah fungsi bahasa yakni berkomunikasi
tetapi difokuskan pada tulisan. Sebenarnya tidak ada teori pasti dalam menulis.
Jika teman-teman ingin menulis artikel atau esai, ya silahkan baca buku-buku artikel
atau esai. Jika teman-teman ingin menulis puisi, ya silahkan baca buku-buku
puisi. Begitu pun pada cerpen, dsb. Jika teman-teman ingin menulis pada
korang-koran, ya harus membaca tulisan pada korang-koran yang dimaksudkan
karena Jawa Pos, Kompas, Tempo punya kriteria sendiri untuk tulisan yang
dimuat. Lebih mudahnya, undang orang-orang mereka untuk mengisi pelatihan
sembari mencari relasi” kata saya sedikit panjang di awal, dan sebenarnya
itulah inti pembahasan di kajian kali ini.
Mau menulis,
ya menulis saja. Masing-masing kita punya karakter sendiri. Begitupun pembaca
punya selera sendiri. Jadi, seperti kalimat yang sering saya ulang, “Kata milik
penulis tetapi makna milik pembaca”. Artinya, ya menulis saja masalah diterima
pembaca atau tidaknya itu hak mereka. Bisa saja kata si A baik dan kata si B
tidak baik. Kita mengingat Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa karyanya
memiliki riwayat hidup sendiri, ia tidak bisa mengatakan mana yang terbaik.
Senada dengannya, penyair Joko Pinurbo mengatakan bahwa seringkali ia mesti
menafsiri puisinya sendiri sebagai orang lain. Kesemuanya karena penulis
melepaskan karya mereka. Penulis menyadari bahwa mereka hanya menulis, terlepas
tulisannya abadi ataupun tidak bukanlah tujuan mereka menulis, apalagi terkait
eksistensi – tujuan yang bagi saya, hina.
Saya sedikit
tertusuk ketika salah satu penanya menyampaikan kegelisahannya bahwa ia dan
kebanyakan peserta sinau tidak mengenal nama-nama yang saya sebutkan; Goenawan
Muhamad, Bandung Mawardi, mungkin juga Seno Gumiro Ajidarma, Sapardi Djoko
Damono, Joko Pinurbo. Ia menawarkan nama yang katanya lebih terkenal dan
berhasil seperti Pramoedya Ananata Toer, Soe Hok Gie, mungkin juga Tan Malaka.
Akhirnya, saya sadar bahwa saya memasuki ruang mahasiswa pergerakan. Wajar jika
bacaan mereka buku-buku pergerakan. Ia heran kenapa kemudian buku-buku roman
picisan lebih laris seperti Dilan
daripa buku-buku Pram. Apa yang sebenarnya terjadi?
Saya
katakan saja bahwa inilah wajah Indonesia yang sekarang. Sebenarnya saya mau
kaitkan kefanatikan mereka pada buku-buku kiri sampai tak mengenal sosok
Goenawan Muhammad pendiri Tempo dan penulis buku penting Catatan Pinggir (Grafitipers: 1982) yang terbit berjilid-jilid
sampai sekarang berlanjut, sosok Bandung Mawardi budayawan dan kritikus sastra
yang mengasuh Bilik Literasi dan menerbitkan bacaan penting Macaisme (Jagat Abjad: 2011), dsb tetapi
saya urungkan. Saya maklum, mereka mahasiswa pergerakan! Faktor lain realita
larisnya buku Dilan adalah terkait
selera pembaca dan ilmu promosi penerbitnya. Bagaimanapun, malam itu, banyak
hal yang berhasil kami obrolkan. Menarik, jika kemudian setiap peserta yang
berkisar 20 menuliskan masing-masing perolehan. Bisa terbit sebuah buku sebagai
refleksi sinau malam itu.
Pasca Sinau Bersama
Pukul
sembilan, sinau ditutup moderator karena beberapa kos terikat jam malam.
Obrolan bisa berlanjut santai. Saya yang memaklumi diri suka nyeplos pun sempat meminta maaf jika ada
dirasa salah kata. Beberapa mahasiswa mendekatkan diri dan mengobrolkan banyak hal
dengan saya. Salah satunya realita budaya diskusi yang mendahului budaya baca.
Lalu apa yang diobrolkan dalam diskusi tanpa pemahaman dari buku-buku?
Saya tertarik
ketika mengetahui beberapa dari mereka yang aktif masilah mahasiswa semester
awal. Artinya, mereka masih memiliki waktu cukup untuk benar-benar
memperjuangkan literasi – bukan formalitas program literasi. Saya menduga,
malam itu banyak yang menghadirkan tubuh sebagai ritual formalitas atau mungkin
ada absensi kehadiran. Bisa jadi, tema kepenulisan yang tidak menarik atau
membosankan. Bagaimanapun (katanya) mereka punya buletin yang terbit seminggu
dua kali. Itu sudah cukup bukti bahwa mereka serius berliterasi. Semua dugaan
boleh digugurkan.
Akhirnya,
Orde Baru sudah tumbang tak ada lagi perang fisik yang signifikan, mari mengikuti
jejak Ronggo Warsito dengan perang wacana. Maka, selamat membaca; menghadirkan
tamu-tamu pada tubuh pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar