Rabu, 12 April 2017

“MASUK” HMI




Memasuki ruang yang hampir tiga tahun setengah tak pernah saya sambangi, memberi nostalgia tersendiri. Bangunan tua itu menjadi rumah bagi mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kemudian lebih disebut sebagai Komisariat At Tsawrah. Waktu itu, saya hanya menumpang tidur selama masa Oshika Maba Unisma mengikuti ajakan teman saya yang merupakan anggota di sana. Saya sempat memiliki semacam janji pada salah satu senior di tahun 2014, suatu ketika nanti saya masuk HMI dan hari ini semoga janji saya lunas meski kata “masuk” mengalami safari makna. Bukan lagi menjadi anggota terdaftar tapi sekedar menjadi seorang pengantar. Saya diundang menjadi pegantar sebuah kajian yang bertemakan “Menuangkan Ide dan Gagasan Dalam Karya Tulis”. Tahun lalu, ketika saya masih menjabat Pimpinan Umum Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, saya sempat dimintai mengisi di HMI prihal pelatihan jurnalistik, tapi saya dengan pelbagai pertimbangan, akhirnya menolak. Saya berpikir pelatihan jurnalistik bukanlah kapasitas saya. Justru, saya masih belajar di LPM Fenomena.

Kali ini, saya melihat tema sebagai bagian dari wilayah literasi, bukan lagi sempit pada jurnalistik. Selain sebagai pelunasan “hutang”, saya mesti menghormati niat sinau teman-teman HMI pada dunia kepenulisan. Tentu, saya senang. Daripada seperti tahun-tahun lalu, saya hanya melihat OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus) di Unisma beberapa kali bentrok dalam “pergerakan” mereka. Sayangnya, atau lebih tepatnya untungnya, saya melarang anggota LPM Fenomena meliput kegiatan apapun dari OMEK. “Biarkan mereka berkreasi” ucap saya waktu itu. Saya merasa kami belum siap terjun ke wilayah OMEK, kami belum menguasai betul yang namanya kode etik dan itu sungguh bahaya. Apalagi saya melihat potensi besar pada pergesekan dan saya bakal menyalahkan diri sendiri sebagai sumber ketidakharmonisan anggota saya dengan aktivis OMEK. Satu lagi, saya kawatir media saya menyuguhkan berita-berita acara salah satu OMEK dan tentu akan banyak dugaan-dugaan muncul terkait independensi LPM Fenomena ataupun izin kegiatan OMEK di dalam kampus. Terlepas apapun, kita sama-sama telah memilih organisasi untuk mengembangkan diri dan tentu itu langkah yang bagus.

Obrolan
Malam itu (Selasa, 11/04) saya datang terlambat beberapa menit karena ternyata bensin saya kosong. Sesampainya di sana saya masih mengobrol dengan teman-teman yang tergabung dalam HMI At Tsawrah sembari menunggu anggota sinau yang belum datang. “Kok ya seperti pulang ke rumah sendiri” kesan saya, meski banyak teman senior yang lebih saya kenal tidak hadir. Obrolan dibuka moderator yang mengingatkan tema dan memperkenalkan diri saya memakai kata “beliau”. Meskipun terkait tata karma atau apa saja namanya, saya takut bakal menambah jarak antara saya dan peserta sinau.

Saya katakan di awal bahwa saya tidak suka diskusi formal yang mana pengantar memberi ulasan panjang, lalu moderator mempersilahkan pertanyaan-pertanyaan diajukan. Saya mempersilahkan siapa saja memotong penjelasan untuk bertanya atau bertukar pemikiran. “Tema teman-teman malam ini adalah fungsi bahasa yakni berkomunikasi tetapi difokuskan pada tulisan. Sebenarnya tidak ada teori pasti dalam menulis. Jika teman-teman ingin menulis artikel atau esai, ya silahkan baca buku-buku artikel atau esai. Jika teman-teman ingin menulis puisi, ya silahkan baca buku-buku puisi. Begitu pun pada cerpen, dsb. Jika teman-teman ingin menulis pada korang-koran, ya harus membaca tulisan pada korang-koran yang dimaksudkan karena Jawa Pos, Kompas, Tempo punya kriteria sendiri untuk tulisan yang dimuat. Lebih mudahnya, undang orang-orang mereka untuk mengisi pelatihan sembari mencari relasi” kata saya sedikit panjang di awal, dan sebenarnya itulah inti pembahasan di kajian kali ini.

Mau menulis, ya menulis saja. Masing-masing kita punya karakter sendiri. Begitupun pembaca punya selera sendiri. Jadi, seperti kalimat yang sering saya ulang, “Kata milik penulis tetapi makna milik pembaca”. Artinya, ya menulis saja masalah diterima pembaca atau tidaknya itu hak mereka. Bisa saja kata si A baik dan kata si B tidak baik. Kita mengingat Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa karyanya memiliki riwayat hidup sendiri, ia tidak bisa mengatakan mana yang terbaik. Senada dengannya, penyair Joko Pinurbo mengatakan bahwa seringkali ia mesti menafsiri puisinya sendiri sebagai orang lain. Kesemuanya karena penulis melepaskan karya mereka. Penulis menyadari bahwa mereka hanya menulis, terlepas tulisannya abadi ataupun tidak bukanlah tujuan mereka menulis, apalagi terkait eksistensi – tujuan yang bagi saya, hina.

Saya sedikit tertusuk ketika salah satu penanya menyampaikan kegelisahannya bahwa ia dan kebanyakan peserta sinau tidak mengenal nama-nama yang saya sebutkan; Goenawan Muhamad, Bandung Mawardi, mungkin juga Seno Gumiro Ajidarma, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo. Ia menawarkan nama yang katanya lebih terkenal dan berhasil seperti Pramoedya Ananata Toer, Soe Hok Gie, mungkin juga Tan Malaka. Akhirnya, saya sadar bahwa saya memasuki ruang mahasiswa pergerakan. Wajar jika bacaan mereka buku-buku pergerakan. Ia heran kenapa kemudian buku-buku roman picisan lebih laris seperti Dilan daripa buku-buku Pram. Apa yang sebenarnya terjadi?

Saya katakan saja bahwa inilah wajah Indonesia yang sekarang. Sebenarnya saya mau kaitkan kefanatikan mereka pada buku-buku kiri sampai tak mengenal sosok Goenawan Muhammad pendiri Tempo dan penulis buku penting Catatan Pinggir (Grafitipers: 1982) yang terbit berjilid-jilid sampai sekarang berlanjut, sosok Bandung Mawardi budayawan dan kritikus sastra yang mengasuh Bilik Literasi dan menerbitkan bacaan penting Macaisme (Jagat Abjad: 2011), dsb tetapi saya urungkan. Saya maklum, mereka mahasiswa pergerakan! Faktor lain realita larisnya buku Dilan adalah terkait selera pembaca dan ilmu promosi penerbitnya. Bagaimanapun, malam itu, banyak hal yang berhasil kami obrolkan. Menarik, jika kemudian setiap peserta yang berkisar 20 menuliskan masing-masing perolehan. Bisa terbit sebuah buku sebagai refleksi sinau malam itu.

Pasca Sinau Bersama
Pukul sembilan, sinau ditutup moderator karena beberapa kos terikat jam malam. Obrolan bisa berlanjut santai. Saya yang memaklumi diri suka nyeplos pun sempat meminta maaf jika ada dirasa salah kata. Beberapa mahasiswa mendekatkan diri dan mengobrolkan banyak hal dengan saya. Salah satunya realita budaya diskusi yang mendahului budaya baca. Lalu apa yang diobrolkan dalam diskusi tanpa pemahaman dari buku-buku?

Saya tertarik ketika mengetahui beberapa dari mereka yang aktif masilah mahasiswa semester awal. Artinya, mereka masih memiliki waktu cukup untuk benar-benar memperjuangkan literasi – bukan formalitas program literasi. Saya menduga, malam itu banyak yang menghadirkan tubuh sebagai ritual formalitas atau mungkin ada absensi kehadiran. Bisa jadi, tema kepenulisan yang tidak menarik atau membosankan. Bagaimanapun (katanya) mereka punya buletin yang terbit seminggu dua kali. Itu sudah cukup bukti bahwa mereka serius berliterasi. Semua dugaan boleh digugurkan. 

Akhirnya, Orde Baru sudah tumbang tak ada lagi perang fisik yang signifikan, mari mengikuti jejak Ronggo Warsito dengan perang wacana. Maka, selamat membaca; menghadirkan tamu-tamu pada tubuh pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar