Dunia
puisi adalah dunia kemerdekaan kata. Dalam menuliskan puisi, manusia seolah
benar-benar bebas memilih diksi. Puisi tidak memandang derajat manusia untuk
bisa rukun dan gembira, mulai dari kalangan bangsawan sampai pribumi, dari
perempuan sampai lelaki, dari yang normal sampai cacat fisik, bahkan Tuhan pun
turut berpuisi. Akhirnya istilah untuk bumi pun pernah berganti dengan jagat
puisi juga semesta puisi.
Konon,
di negeri Saudi seorang bernama Muhammad mendapati hinaan bahkan ancaman karena
ketidaksiapan masyarakat setempat yang terkenal ahli puisi menerima kitab
puitis bernama alqur’an. Hal ini kian mengguncang mengingat Muhammad adalah
keturunan dari keluarga imigran, bukan murni berdarah penyair Makkah. Negeri ini
pun memiliki riwayat tragis antara manusia yang dianggap rendahan dengan
puisi-puisi yang menggemparkan. Kita mengingat nama Wiji Thukul yang tiba-tiba
membacakan puisinya di sebuah acara besar pertemuan penyair-penyair kondang.
Apa yang aneh dari pembacaan puisi pada pertemuan penyair? Hal ini menjadi aneh
karena Wiji Thukul datang tanpa diundang sebagai penyair, ia sebagai rakyat
biasa yang melsayakan ritual “ngamen puisi”. Setelahnya, ia menjadi penyair
yang paling digandrungi aktivis karena puisi-puisinya yang jujur, lugas, dan
menggetarkan.
Perjalanan Puisi
Buku
puisi pertama yang saya beli adalah Sound
of Psyche (Penerbit Graudhawaca: 2013) garapan Sartika Dian Nuraini. Sekian.
Di lembar depan ada kalimat untukku: “Untuk Kancil, saya percaya bahwa puisi
hanya terlahir dari jiwa yang merdeka”. Lalu, tanda tangan dan nama. Sekian puisi
di dalamnya pernah dimuat pelbagai media cetak seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Basis, dsb. Di sampul belakang, ada foto
wajah penulis yang sedang merokok. Di umur saya yang baru keluar dari SMA,
tentu semakin takjub dengan perempuan manis yang merokok. Sekarang, saya tak
kunjung sadar sejak kapan buku itu hilang atau dipinjam tanpa niatan
mengembalikan. Buku telah hilang dan tidak perlu dipermasalahkan. Toh bukan
buku itu saja yang hilang, ada Max
Haveelar, B.J. Habibie, Catatan Pinggir 2, Sastra Bergelimang Makna, Ettiquete,
dan banyak lagi. Bagaimana pun pembaca buku di Indonesia memang masih genit,
posesif, dan agresif.
Dari
kalimat sapaan Dian, saya semakin mengimani bahwa puisi tidak serumit di
pelajaran sekolah atau teori-teori sastra perkuliahan. Barangkali sebab
teori-teori semacam itu membuat Perguruan Tinggi sepi puisi. Sejak 2013, saya
mulai giat menulis puisi dan setidaknya saat ini sudah terkumpul tiga buku
puisi; Suket (Penerbit Worldwidereaders:
2016), Hening Sunyi dan Omah Suwung yang masih mencari
penerbitan. Salah satu puisi mendapati Juara 2 di Unisma dan lainnya pernah
singgah di majalah dan beberapa buletin. Selain puisi, saya sempat menulis dua
cerpen Sihir Merpati Pematung Gagak (termuat di antologi cerpen gagasan Duta
Pariwisata) dan satunya entah lupa judulnya. Ternyata tanpa sadar saya gemar
menulis setelah menggemarkan diri dengan buku-buku.
sumber gambar: www.getscoop.com |
Tiga
buku puisi saya lahri bukan semerta-merta kalimat sapaan Dian untuk memasuki
dunia puisi tetapi juga guru bahasa saya, Uun Nurcahyanti, yang meminta saya
menerbitkan puisi “Kau harus menerbitkan buku puisi, Cil. Kutunggu”. Juga dalam
sebuah sinau, kami pernah menulis dan membacakan janji di depan pengasuh Bilik
Literasi, Bandung Mawardi, dan saya berkata “Saya berjanji sisa-sisa puisi saya
akan terbit sebelum wisuda”. Memang, puisi saya banyak yang hilang setelah dua
kali kehilangan laptop. Janji yang diamini banyak penulis itu pun menjadi
sesuatu yang aneh, dari sisa-sisa puisi ternyat merembet pada puisi lainnya dan
terlahir tiga buku sekumpulan puisi. Harapan saya, seluruh teman saya bisa
menerbitkan buku puisi karena itu bakal lebih berkesan dan barangkali bermanfaat
ketimbang skripsi.
Setelah
sinau puisi dan berhasil menulis tiga buku, saya beralih sinau esai. Sayangnya,
saya kurang tekun sehingga tak sedikit tulisan gagal diselesaikan. Ikhtiar saya
untuk menulis dan mengirimkannya pada koran-koran pun hanya ikhtiar abal-abal. Tak
begitu serius dijalankan. Dalam menulis esai, saya berguru pada Bandung Mawardi
yang bagi saya adalah manusia buku. Di depannya, saya sulit bicara dan
terbebani seolah sedang berhadapan dengan perpustakaan terbesar di Indonesia. Kalimatnya
yang masih saya ingat adalah “Jika kau terus menulis, kau akan bertemu
orang-orang yang menambah keimananmu dalam kepenulisan”.
Beberapa
tulisan memang pernah saya kirim ke Kompas
tapi selalu saja dikembalikan dengan pelbagai jawaban; topic sudah banyak yang
membicarakan, tulisan tidak sesuai untuk Kompas,
kesulitan mencari ruang tulisan, dsb. Memang saya terkesan membuang-buang
tulisan karena di Kompas hanya
menyajikan tulisan para ahli dan saya ini siapa? Tapi tujuan saya hanya
membiasakan menulis esai dan saya suka Kompas
karena ada balasan email, juga saya pelanggan koran tersebut. Bandung Mawardi
dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa ia menunggu selama 8 tahun untuk
melihat tulisannya termuat di Koran. Lantas, sudah berapa lama saya menunggu
tulisan saya? Belum setahun atau setengah tahun atau sekian bulan.
Penyair
Dari
sekian banyak penyair di negeri ini, saya masih jatuh hati kepada dua orang
saja; Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Mengenai Sapardi, Bandung Mawardi
pernah menulis: “Hari ini Spardi Djoko Damono masih menyapa kita dengan puisi.
Usia tua tak bisa jadi alasan untuk istirahat dari puisi.” (Macaisme, 2013: 196). Sapardi memang
masih terus berpuisi di usianya yang tidak muda lagi. Dari sekian puisinya,
saya terkagum dengan “Dongeng Marsinah”. Puisi yang ditulisnya selama tiga
tahun itu berkisah tentang buruh bernama Marsinah. Sapardi dalam sekian emosi
akhirnya pun bisa berdamai dan menyebut Marsinah sebagai “arloji sejati” tanpa
menyalahkan atau menuduh siapa atas kematian buruh tersebut.
Sedang
Joko Pinurbo yang tak lain murid Sapardi, adalah lelaki yang mewarisi
kesederhanaan Sapardi. Puisi-puisinya memakai bahasa anak-anak yang mudah
dipahami tetapi sarat makna dan sentilan-sentilan. Puisinya yang paling saya
kagumi adalah “Celana Ibu” yang berkisah tentang celana antara Yesus dan Bunda
Maria. Imajinasi kanak-kanaknya membawa saya untuk membaca kesederhanaan Nabi
ataupun Tuhan bagi kaum Nasrani tersebut. Bahwa sampai kapanpun kita adalah
seorang anak.
Bagi
mereka semua yang saya sebut, tidak ada alasan untuk tidak bergelut dengan
tulisan baik membaca maupun menulis. Bagaimana dengan kita?