Rabu, 07 Juni 2017

JALAN LURUS



“Bahasa adalah tubuh pikiran”.
-Uun Nurcahyanti, pengasuh Bahasa

Di zaman yang semrawut bahasanya, rawan adanya pertikaian atau bahkan perang hanya karena kesalapahaman bahasa atau memang salah berbahasa. Definisi bahasa yang disuguhkan Uun Nurcahyanti di atas memang terkesan berat. Dengan kata lain, berbahasa itu lebih dari sekadar berpikir. Untuk berbahasa seseorang mesti bertarung dengan pelbagai pemikiran dan dalil yang kerap membingungkan. Maka, apa jadinya jika manusia merasa telah berbahasa tanpa berpikir terlebih dahulu atau sekadar menafsiri bahasa tanpa menggodok sekian pemikiran?

Seperti kalimat awal tulisan ini, kegagalan bahasa melahirkan konflik dilematis. Dunia yang paling riuh adalah dunia maya. Meski setiap penghuninya sadar bahwa dunia maya itu dunia yang tak nyata, tetap saja dijiwai senyata mungkin. Semacam ada keterbalikan dunia. Generasi saat ini lebih nyata di dunia maya dari kehidupan nyatanya. Di dunia maya, kegagalan bahasa kita sangat jelas bukan hanya bukti seringkali munculnya percekcokan tak jelas, tetapi dari hal remeh manusia-manusia menjawab pertanyaan. Misal saja pertanyaan Facebook, “Apa yang Anda pikirkan?”.

Jalan Lurus
Frase jalan lurus tidaklah seasing frase jalan pulang. Dalam sekian doa, turut disebutkan frase jalan lurus. Misal saja “Oh Tuhan, tunjukkan kami jalan yang lurus”. Lalu pelbagai tafsir dan dalil bermunculan. Jalan lurus adalah jalan yang direstui Tuhan. Jalan lurus adalah agama kita, agama paling benar. Jalan lurus adalah yang diridhoi Allah SWT. Jalan lurus adalah yang diberkati Almasih. Jalan lurus adalah yang dikasihi Buddha. Kita pun tenggelam pada definisi-definisi abstrak semacam itu dan barangkali tak pernah kembali pada definisi sederhana dari bahasa.

Kita coba sederhanakan makna jalan lurus. Jalan dalam KBBI (1976) dijelaskan sebagai “tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dsb)”. Sedang lurus dijelaskan sebagai “lempang (betul, tidak bengkok atau tidak lengkung). Jadi, ketika digabungkan frase jalan lurus secara sederhana bermakna “tempat lalu lintas orang ataupun kendaraan yang tidak bengkok atau lengkung”. Secara sederhana lagi, tempat untuk berjalan secara lurus, bukan bengkok ataupun zigzag. Lantas bisakah di zaman ini kita berjalan lurus atau doa tersebut tak lagi relevan dengan zaman yang serba bangunan?

Beberapa hari lalu, seorang teman berbagi kegelisahan bahwa ia telah terjatuh pada sebuah lubang tetapi ia enggan berbagi kisah karena dirasa memalukan. Saya menjawabi seperti ini:
Lubang memang tidak mesti selalu dihindari. Ada kalanya harus kita masuki walau melukai demi bisa memahami. Seperti itulah makna sebenarnya sirotol mustakim yang lebih dikenal dengan sebutan jalan lurus. Dengan logika paling sederhana pun, jalan lurus sangat mudah dipahami. Artinya kita harus berjalan lurus walau ada bebatuan, duri, ataupun lubang. Dengan kata lain, kita pasrah dan ikhlas menerima takdir kehidupan. Jadi, tak perlu berdoa dijauhkan dari segala kesusahan. Sesederhana itu, tetapi bukan berarti saat terjatuh di lubang kita berhenti berjalan. Jalan lurus adalah juga perintah jalan terus. Di ujung jalan kau akan kembali pada titik awal yang dinamakan pulang. Kembali pada pelukan Tuhan Yang Maha Rindu. Jika kau berbelok-belok, kau akan sulit menemui titik awal. Selamat sinau jalanan.

Seperti itu, saya kerapkali tak sadar menuliskan kalimat panjang dan setelahnya akan disibukkan dengan pelbagai pertanyaan dari dan untuk diri sendiri. Karena itu pula, saya suka mengobrol untuk menambah pengetahuan dan mengeluarkan hal-hal yang tersimpan dalam diri. Tapi jelas kalimat itu bukanlah alqur’an atau hadist karena saya bukan seorang ahli literasi seperti Nabi Muhammad, juga bukanlah wangsit karena saya bukan seorang tekun bertapa seperti Resi Sabda Palon, bukan juga hagada karena saya bukan seorang yang tekun membaca seperti Ras Yahudi, itu hanya makna sederhana yang tak perlu dipaksakan jadi salah satu pegangan hidup.

sumber gambar: dakwatuna.com

Bagi saya, jalan lurus adalah jalan kembali pada titik awal untuk bisa kembali pulang. Sekian ratus tahun lalu, hidup seorang bernama Shidarta Gautama. Ia bangsawan yang memilih menjadi pertapa untuk mendapat pencerahan. Ia melakukan perjalanan bertahun-tahun dan menemui banyak hal termasuk orang-orang menyiksa dirinya sendiri karena berkeyakinan bahwa tubuh adalah cangkang dari jiwa, sedang jiwa perlu dibebaskan. Maka, mati di tengah pengembaraan spiritual adalah kematian yang mulia. Shidarta pun meniru laku menyiksa diri dengan tidak makan, bergelantungan dengan kaki diikat di ranting besar sebuah pohon, mengubur anggota tubuh dari leher sampi kaki di sarang semut, dsb.

Suara hati Shidarta menentang paradigma yang bertahan bertahun-tahun itu. Bahwa menyiksa diri sendiri itu tidaklah benar, bahwa mati di perjalanan spiritual juga tidaklah dibenarkan. Akhirnya ia memilih jalannya sendiri, ia merdeka berjalan tanpa tujuan. Akhirnya ia bersemedi di puncak bukit dan tersapu angin sampai terjatuh pada sungai dan terbawah arus. Antara hidup dan mati, ia menyatu dengan alam lalu merasa bahwa dirinya benar-benar hidup tidak gentayangan tak jelas seperti sebelumnya. Dari situ, ia menyadari bahwa hidup adalah menerima takdir secara ikhlas dan meruwat diri juga semesta adalah pengabdian pada Tuhan. Lalu, ia dikenal dengan sebutan Buddha yang artinya manusi yang memperoleh pencerahan.

Lalu, apakah kemudian jalan lurus itu dimaknai sebagai jalanan lurus tanpa sedikitpun belokan atau justru belokan-belokan adalah bagian dari jalan lurus? Silahkan disimpulkan sendiri lalu diimani dan diamini sendiri. Dalam falsafah Jawa, kita mengenal istilah “Eling asale bakal eling baline (memahami asalnya bakal memahami kembalinya)”. Bukankah memang banyak ajaran yang mengajarkan dan mengajari cara berjuang di jalan lurus? Segala ajaran pastilah baik, jika tidak maka secara bahasa ia tak disebut ajaran melainkan hasutan. Maka, sekali lagi, sudahkah kita berjalan di jalan yang lurus?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar