“Bahasa adalah tubuh
pikiran”.
-Uun Nurcahyanti,
pengasuh Bahasa
Di
zaman yang semrawut bahasanya, rawan adanya pertikaian atau bahkan perang hanya
karena kesalapahaman bahasa atau memang salah berbahasa. Definisi bahasa yang
disuguhkan Uun Nurcahyanti di atas memang terkesan berat. Dengan kata lain,
berbahasa itu lebih dari sekadar berpikir. Untuk berbahasa seseorang mesti
bertarung dengan pelbagai pemikiran dan dalil yang kerap membingungkan. Maka,
apa jadinya jika manusia merasa telah berbahasa tanpa berpikir terlebih dahulu
atau sekadar menafsiri bahasa tanpa menggodok sekian pemikiran?
Seperti
kalimat awal tulisan ini, kegagalan bahasa melahirkan konflik dilematis. Dunia yang
paling riuh adalah dunia maya. Meski setiap penghuninya sadar bahwa dunia maya
itu dunia yang tak nyata, tetap saja dijiwai senyata mungkin. Semacam ada
keterbalikan dunia. Generasi saat ini lebih nyata di dunia maya dari kehidupan
nyatanya. Di dunia maya, kegagalan bahasa kita sangat jelas bukan hanya bukti
seringkali munculnya percekcokan tak jelas, tetapi dari hal remeh
manusia-manusia menjawab pertanyaan. Misal saja pertanyaan Facebook, “Apa yang
Anda pikirkan?”.
Jalan Lurus
Frase
jalan lurus tidaklah seasing frase jalan pulang. Dalam sekian doa, turut
disebutkan frase jalan lurus. Misal saja “Oh Tuhan, tunjukkan kami jalan yang
lurus”. Lalu pelbagai tafsir dan dalil bermunculan. Jalan lurus adalah jalan
yang direstui Tuhan. Jalan lurus adalah agama kita, agama paling benar. Jalan lurus
adalah yang diridhoi Allah SWT. Jalan lurus adalah yang diberkati Almasih.
Jalan lurus adalah yang dikasihi Buddha. Kita pun tenggelam pada
definisi-definisi abstrak semacam itu dan barangkali tak pernah kembali pada
definisi sederhana dari bahasa.
Kita
coba sederhanakan makna jalan lurus. Jalan dalam KBBI (1976) dijelaskan sebagai
“tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dsb)”. Sedang lurus dijelaskan
sebagai “lempang (betul, tidak bengkok atau tidak lengkung). Jadi, ketika
digabungkan frase jalan lurus secara sederhana bermakna “tempat lalu lintas
orang ataupun kendaraan yang tidak bengkok atau lengkung”. Secara sederhana
lagi, tempat untuk berjalan secara lurus, bukan bengkok ataupun zigzag. Lantas bisakah
di zaman ini kita berjalan lurus atau doa tersebut tak lagi relevan dengan
zaman yang serba bangunan?
Beberapa
hari lalu, seorang teman berbagi kegelisahan bahwa ia telah terjatuh pada
sebuah lubang tetapi ia enggan berbagi kisah karena dirasa memalukan. Saya menjawabi
seperti ini:
Lubang memang tidak mesti selalu dihindari. Ada
kalanya harus kita masuki walau melukai demi bisa memahami. Seperti itulah
makna sebenarnya sirotol mustakim yang lebih dikenal dengan sebutan jalan
lurus. Dengan logika paling sederhana pun, jalan lurus sangat mudah dipahami. Artinya
kita harus berjalan lurus walau ada bebatuan, duri, ataupun lubang. Dengan kata
lain, kita pasrah dan ikhlas menerima takdir kehidupan. Jadi, tak perlu berdoa
dijauhkan dari segala kesusahan. Sesederhana itu, tetapi bukan berarti saat
terjatuh di lubang kita berhenti berjalan. Jalan lurus adalah juga perintah
jalan terus. Di ujung jalan kau akan kembali pada titik awal yang dinamakan
pulang. Kembali pada pelukan Tuhan Yang Maha Rindu. Jika kau berbelok-belok,
kau akan sulit menemui titik awal. Selamat sinau jalanan.
Seperti
itu, saya kerapkali tak sadar menuliskan kalimat panjang dan setelahnya akan
disibukkan dengan pelbagai pertanyaan dari dan untuk diri sendiri. Karena itu
pula, saya suka mengobrol untuk menambah pengetahuan dan mengeluarkan hal-hal
yang tersimpan dalam diri. Tapi jelas kalimat itu bukanlah alqur’an atau hadist
karena saya bukan seorang ahli literasi seperti Nabi Muhammad, juga bukanlah
wangsit karena saya bukan seorang tekun bertapa seperti Resi Sabda Palon, bukan
juga hagada karena saya bukan seorang
yang tekun membaca seperti Ras Yahudi, itu hanya makna sederhana yang tak perlu
dipaksakan jadi salah satu pegangan hidup.
sumber gambar: dakwatuna.com |
Bagi
saya, jalan lurus adalah jalan kembali pada titik awal untuk bisa kembali
pulang. Sekian ratus tahun lalu, hidup seorang bernama Shidarta Gautama. Ia bangsawan
yang memilih menjadi pertapa untuk mendapat pencerahan. Ia melakukan perjalanan
bertahun-tahun dan menemui banyak hal termasuk orang-orang menyiksa dirinya
sendiri karena berkeyakinan bahwa tubuh adalah cangkang dari jiwa, sedang jiwa
perlu dibebaskan. Maka, mati di tengah pengembaraan spiritual adalah kematian
yang mulia. Shidarta pun meniru laku menyiksa diri dengan tidak makan,
bergelantungan dengan kaki diikat di ranting besar sebuah pohon, mengubur
anggota tubuh dari leher sampi kaki di sarang semut, dsb.
Suara
hati Shidarta menentang paradigma yang bertahan bertahun-tahun itu. Bahwa
menyiksa diri sendiri itu tidaklah benar, bahwa mati di perjalanan spiritual
juga tidaklah dibenarkan. Akhirnya ia memilih jalannya sendiri, ia merdeka
berjalan tanpa tujuan. Akhirnya ia bersemedi di puncak bukit dan tersapu angin
sampai terjatuh pada sungai dan terbawah arus. Antara hidup dan mati, ia
menyatu dengan alam lalu merasa bahwa dirinya benar-benar hidup tidak
gentayangan tak jelas seperti sebelumnya. Dari situ, ia menyadari bahwa hidup
adalah menerima takdir secara ikhlas dan meruwat diri juga semesta adalah
pengabdian pada Tuhan. Lalu, ia dikenal dengan sebutan Buddha yang artinya
manusi yang memperoleh pencerahan.
Lalu,
apakah kemudian jalan lurus itu dimaknai sebagai jalanan lurus tanpa sedikitpun
belokan atau justru belokan-belokan adalah bagian dari jalan lurus? Silahkan
disimpulkan sendiri lalu diimani dan diamini sendiri. Dalam falsafah Jawa, kita
mengenal istilah “Eling asale bakal eling
baline (memahami asalnya bakal memahami kembalinya)”. Bukankah memang
banyak ajaran yang mengajarkan dan mengajari cara berjuang di jalan lurus? Segala
ajaran pastilah baik, jika tidak maka secara bahasa ia tak disebut ajaran
melainkan hasutan. Maka, sekali lagi, sudahkah kita berjalan di jalan yang
lurus?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar