Kamis, 08 Juni 2017

SAYA DAN PUISI





Dunia puisi adalah dunia kemerdekaan kata. Dalam menuliskan puisi, manusia seolah benar-benar bebas memilih diksi. Puisi tidak memandang derajat manusia untuk bisa rukun dan gembira, mulai dari kalangan bangsawan sampai pribumi, dari perempuan sampai lelaki, dari yang normal sampai cacat fisik, bahkan Tuhan pun turut berpuisi. Akhirnya istilah untuk bumi pun pernah berganti dengan jagat puisi juga semesta puisi.

Konon, di negeri Saudi seorang bernama Muhammad mendapati hinaan bahkan ancaman karena ketidaksiapan masyarakat setempat yang terkenal ahli puisi menerima kitab puitis bernama alqur’an. Hal ini kian mengguncang mengingat Muhammad adalah keturunan dari keluarga imigran, bukan murni berdarah penyair Makkah. Negeri ini pun memiliki riwayat tragis antara manusia yang dianggap rendahan dengan puisi-puisi yang menggemparkan. Kita mengingat nama Wiji Thukul yang tiba-tiba membacakan puisinya di sebuah acara besar pertemuan penyair-penyair kondang. Apa yang aneh dari pembacaan puisi pada pertemuan penyair? Hal ini menjadi aneh karena Wiji Thukul datang tanpa diundang sebagai penyair, ia sebagai rakyat biasa yang melsayakan ritual “ngamen puisi”. Setelahnya, ia menjadi penyair yang paling digandrungi aktivis karena puisi-puisinya yang jujur, lugas, dan menggetarkan.

Perjalanan Puisi
Buku puisi pertama yang saya beli adalah Sound of Psyche (Penerbit Graudhawaca: 2013) garapan Sartika Dian Nuraini. Sekian. Di lembar depan ada kalimat untukku: “Untuk Kancil, saya percaya bahwa puisi hanya terlahir dari jiwa yang merdeka”. Lalu, tanda tangan dan nama. Sekian puisi di dalamnya pernah dimuat pelbagai media cetak seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Basis, dsb. Di sampul belakang, ada foto wajah penulis yang sedang merokok. Di umur saya yang baru keluar dari SMA, tentu semakin takjub dengan perempuan manis yang merokok. Sekarang, saya tak kunjung sadar sejak kapan buku itu hilang atau dipinjam tanpa niatan mengembalikan. Buku telah hilang dan tidak perlu dipermasalahkan. Toh bukan buku itu saja yang hilang, ada Max Haveelar, B.J. Habibie, Catatan Pinggir 2, Sastra Bergelimang Makna, Ettiquete, dan banyak lagi. Bagaimana pun pembaca buku di Indonesia memang masih genit, posesif, dan agresif.

Dari kalimat sapaan Dian, saya semakin mengimani bahwa puisi tidak serumit di pelajaran sekolah atau teori-teori sastra perkuliahan. Barangkali sebab teori-teori semacam itu membuat Perguruan Tinggi sepi puisi. Sejak 2013, saya mulai giat menulis puisi dan setidaknya saat ini sudah terkumpul tiga buku puisi; Suket (Penerbit Worldwidereaders: 2016), Hening Sunyi dan Omah Suwung yang masih mencari penerbitan. Salah satu puisi mendapati Juara 2 di Unisma dan lainnya pernah singgah di majalah dan beberapa buletin. Selain puisi, saya sempat menulis dua cerpen Sihir Merpati Pematung Gagak (termuat di antologi cerpen gagasan Duta Pariwisata) dan satunya entah lupa judulnya. Ternyata tanpa sadar saya gemar menulis setelah menggemarkan diri dengan buku-buku.

sumber gambar: www.getscoop.com


Tiga buku puisi saya lahri bukan semerta-merta kalimat sapaan Dian untuk memasuki dunia puisi tetapi juga guru bahasa saya, Uun Nurcahyanti, yang meminta saya menerbitkan puisi “Kau harus menerbitkan buku puisi, Cil. Kutunggu”. Juga dalam sebuah sinau, kami pernah menulis dan membacakan janji di depan pengasuh Bilik Literasi, Bandung Mawardi, dan saya berkata “Saya berjanji sisa-sisa puisi saya akan terbit sebelum wisuda”. Memang, puisi saya banyak yang hilang setelah dua kali kehilangan laptop. Janji yang diamini banyak penulis itu pun menjadi sesuatu yang aneh, dari sisa-sisa puisi ternyat merembet pada puisi lainnya dan terlahir tiga buku sekumpulan puisi. Harapan saya, seluruh teman saya bisa menerbitkan buku puisi karena itu bakal lebih berkesan dan barangkali bermanfaat ketimbang skripsi.

Setelah sinau puisi dan berhasil menulis tiga buku, saya beralih sinau esai. Sayangnya, saya kurang tekun sehingga tak sedikit tulisan gagal diselesaikan. Ikhtiar saya untuk menulis dan mengirimkannya pada koran-koran pun hanya ikhtiar abal-abal. Tak begitu serius dijalankan. Dalam menulis esai, saya berguru pada Bandung Mawardi yang bagi saya adalah manusia buku. Di depannya, saya sulit bicara dan terbebani seolah sedang berhadapan dengan perpustakaan terbesar di Indonesia. Kalimatnya yang masih saya ingat adalah “Jika kau terus menulis, kau akan bertemu orang-orang yang menambah keimananmu dalam kepenulisan”.

Beberapa tulisan memang pernah saya kirim ke Kompas tapi selalu saja dikembalikan dengan pelbagai jawaban; topic sudah banyak yang membicarakan, tulisan tidak sesuai untuk Kompas, kesulitan mencari ruang tulisan, dsb. Memang saya terkesan membuang-buang tulisan karena di Kompas hanya menyajikan tulisan para ahli dan saya ini siapa? Tapi tujuan saya hanya membiasakan menulis esai dan saya suka Kompas karena ada balasan email, juga saya pelanggan koran tersebut. Bandung Mawardi dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa ia menunggu selama 8 tahun untuk melihat tulisannya termuat di Koran. Lantas, sudah berapa lama saya menunggu tulisan saya? Belum setahun atau setengah tahun atau sekian bulan.

Penyair
Dari sekian banyak penyair di negeri ini, saya masih jatuh hati kepada dua orang saja; Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Mengenai Sapardi, Bandung Mawardi pernah menulis: “Hari ini Spardi Djoko Damono masih menyapa kita dengan puisi. Usia tua tak bisa jadi alasan untuk istirahat dari puisi.” (Macaisme, 2013: 196). Sapardi memang masih terus berpuisi di usianya yang tidak muda lagi. Dari sekian puisinya, saya terkagum dengan “Dongeng Marsinah”. Puisi yang ditulisnya selama tiga tahun itu berkisah tentang buruh bernama Marsinah. Sapardi dalam sekian emosi akhirnya pun bisa berdamai dan menyebut Marsinah sebagai “arloji sejati” tanpa menyalahkan atau menuduh siapa atas kematian buruh tersebut.

Sedang Joko Pinurbo yang tak lain murid Sapardi, adalah lelaki yang mewarisi kesederhanaan Sapardi. Puisi-puisinya memakai bahasa anak-anak yang mudah dipahami tetapi sarat makna dan sentilan-sentilan. Puisinya yang paling saya kagumi adalah “Celana Ibu” yang berkisah tentang celana antara Yesus dan Bunda Maria. Imajinasi kanak-kanaknya membawa saya untuk membaca kesederhanaan Nabi ataupun Tuhan bagi kaum Nasrani tersebut. Bahwa sampai kapanpun kita adalah seorang anak.

Bagi mereka semua yang saya sebut, tidak ada alasan untuk tidak bergelut dengan tulisan baik membaca maupun menulis. Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar