…suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi
barang ingkang sae, sedaya kula sumanggakaken datheng Gusti…
—Raden
Mas Sosrokartono
Segala
selain Tuhan, barangkali berhak merayakan ulang tahun. Hidup harus penuh
perayaan. Tidak! Hidup mesti penuh selamatan, agar selamat. Desa, kampung, atau
apa sebutannya di mana saja, seringkali diselamati. Selamatan tidak diartikan
sempit sebagai ucapan selamat: Selamat ulang tahun, Desa. Semoga kau panjang
umur, meski kau tak semakin subur. Tidak begitu. Di kampungku, selamatan desa
diisi dengan serangkaian acara religius. Mulai khataman alqur’an di pesarehan
(baca: makam), sampai pengajian umum di tempat ibadah umum alias masjid.
Selamatan
desa dibarengi haul tokoh masyarakat, perintis atau penyebar Islam di desa. Pengajian
juga dikaitkan dengan peringatan peristiwa penting yang menyebabkan Nabi
Muhammad panen sumpah serapah; Isra’ Mikraj. Pengajian menjadi tematik. Kiyai
yang memberi kajian berasal dari Malang, pengasuh pondok pesantren
Sabilurrosyad atau yang lebih dikenal dengan sebuatan pesantren Gasek karena
terletak di desa Gasek, Karangbesuki, Sukun, Malang. Kiyai Marzuqi Mustamar,
cukup kondang sebagai tokoh Nahdatul Ulama. Pas! Di masjid kampungku, di
halaman paling depan diberi monumen Nahdatul Ulama (NU) lengkap beserta
logonya. Kampungku atau desaku, adalah NU. Ah tidak juga, ada sebagian kecil
yang berfaham Muhamadiyah dan barangkali selainnya pula.
Kiyai Marzuqi Mustamar (Sumber gambar: Arrahma.co.id) |
Wajah
dan suara Yai Marzuqi, membawa ingatan saat pertama merantau ke Malang. Aku
menyantri di sana selama kurang lebih satu tahun. Pengajian beliau sangat NU
nasionalis. Hampir di setiap pengajian, selalu terselip semboyan juang: NKRI
harga mati. Aku suka! Berjamurnya faham liberal dan radikal di Nusantara,
menjadikan beliau ketat mengawal umat khususnya warga Nahdiyin agar tidak
terseret pada doktrin-doktrin yang lengket seperti permen karet atau
pertanyaan-pertanyaan yang menjebak iman. Wah, gawat! Demi menjaga tradisi NU
yang telah diperjuangkan Kiyai-Kiyai NU yang sangat selektif dalam akulturasi
diri dengan budaya dan syariat, beliau menerbitkan buku berjudul agak panjang: Dalil-dalil Praktis Amaliah Nahdliyah (Ayat
dan Hadist Pilihan Seputar Amaliah Warga NU). Buku setebal 229 itu diadakan
Penerbit Muara Progresif di tahun 2014. Oh, aku jadi ingat, tahun itu masih
nyantri dan tinggal di pesantren Gasek.
Kita
kutip sekalimat dalam Mukaddimah atau pengantar buku: “Keraguan dalam agama
adalah musibah terbesar dalam hidup.” Wah beragama harus penuh keyakinan. Tidak
boleh setengah-setengah. Aku jadi teringat kalimat Multatuli dalam Max
Haveelar (Penerbit Qanita:2014), “Setengah-setengah itu tidak baik. Setengah benar sama saja tidak
benar.” Juga, kalimat dari Salman Rusdhie (Ayat-ayat
Setan, 1997:24) dalam mendefinisikan alqur’an secara sastrawi dan penuh
imaji, “Al-Qur’an, buku ketidakpercayaan. Terlalu final, pasti, tertutup. Pada
dirinya sendiri itu adalah suatu keyakinan keragu-raguan.” Loh Salman, loh
Rusdhie, kamu kok pakai frase “keyakinan keragu-raguan”. Kalimatmu yang
definitif, terlalu paradoks!
Kembali
pada acara Ruwah Deso saja, Kiyai Marzuqi menegaskan bahwa jangan sampai
terulang perang saudara. Ada banyak kelompok, sedang berperan sebagai Sengkuni
dan kelompok lainnya berperan sebagai Durna. Aduh! Akhirnya jama’ah pengajian
dibekali dongeng, kisah, cerita laku Rasulullah yang diamalkan warga Nahdiyin
sampai sekarang seperti qunut, takziyah, selamatan, dsb. Jama’ah juga sempat
dibuat takjub saat dituntun Kiyai Marzuqi dalam pemanjatan doa menghentikan
hujan yang tiba-tiba turun lebat. Sekejab, hujan mereda dan berhenti.
Begitulah.
Pengajian bertema Isra’ Mikraj tak melulu berkisah perjalan Nabi dan Buroq.
Barangkali sudah terlalu banyak yang hafal detail kisahnya, walau mungkin tak
semuanya mengimani peristiwa itu sebagaimana Khadija mengimaninya. Perjalanan
“hiburan” setelah duka ditinggal orang tercinta, membuat orang-orang meragukan
kewarasan Rasulullah, kecuali Khadijah. Bahkan, dalam karya Salman Rushdie yang
sudah tersebut, Rasulullah sendiri pun merasa gila, “Ketika ia pikir ia gila,
wanita itu satu-satunya yang percaya pada penglihatannya. Itu adalah malaikat
pelindung, ia berkata kepadanya ‘bukan, suatu bayangan yang keluar dari
kepalamu. Itu adalah Jibril dan engkau adalah Rasul Allah’.”
Walah,
imajinasi dan bahasa Salman Rusdhie memang berat. Barangkali manusia semacam
Dilan saja yang kuat. Kita, yang tak kuat, bersandar pada tulisan Kartini
(surat 28 Juli 1902, untuk Nyonya Abendanon) saja, “Setiap hari, yang harus
kita panjatkan kepada Tuhan adalah doa, semoga kita tetap dikaruniai kekuatan!”
—Amin.