“…setidaknya
tubuh Jokowi mampu menghadirkan harapan yang kita tunggu bersama.”
Muhammad
Milkhan (Ora Weruh, 2015: 225)
Datangnya
Presiden di sebuah kampus bisa jadi pertanda datangnya hari libur. Perkuliahan diistirahatkan.
Kampus disterilkan. Jika beruntung, bakal dipersilahkan menghadiri acara yang
dihadiri orang nomor satu di sebuah negara. Beberapa hari lalu, di lingkungan
kampus Universitas Islam Malang (Unisma) sudah terpasang spanduk penyambutan:
Selamat datang Presiden Republik Indonesia Bpk. Joko Widodo di Universias Islam
Malang Kamis 29 Maret 2018. Presiden diundang dalam peresmian Gedung Bundar Al
Assyari dan Gedung Pusat Umar Bin Khattab sekaligus sebagai Keynote Speaker
Stadium General.
Sumber gambar: www.beritaenam.com |
Mahasiswa
di Unisma terbilang beruntung, dipersilahkan mendaftarkan diri dengan kuota
kursi yang melimpah dibanding kunjungan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla di dua tahun
lalu (31/10/2015) dalam rangkah peresmian beberapa gedung yang mana kuota kursi sangat
terbatas. Pada kesempatan itu, JK dinobatkan Unisma sebagai Bapak Perdamaian. Keren! Kali ini, mahasiswa Unisma bisa jadi lebih beruntung lagi jika Presiden kita, seperti biasa,
memberikan kuis ke-Indonesia-an berhadiah sepeda. Apakah mahasiswa Unisma sudah
belajar demi mendapat sepeda? Kita tidak mengurusi hal itu. Kita abaikan saja,
ya?
Kita
mengurusi tulisan Goenawan Muhammad tertanggal 25 April 1981 yang terkumpul bersama
esai lain dalam Catatan Pinggir 1
(Penerbit Bentang: 1989) sahaja. Tulisan dengan judul “Kemanakah Para Tukang
Batu Pergi?” ditegaskan sebagai sebuah kutipan dari kalimat Bertolt Brecht: Pada malam ketika tembok Tiongkok jadi, Ke
manakah para tukang batu pergi?. Pertanyaan sama bisa kita ajukan dengan
objek berbeda: Pada hari peresmian Gedung Bundar Assyari, ke manakah tukang dan
kuli bangunan pergi? Jawaban bisa beragam ;ada di rumahnya masing-masing
melihat televisi ;ada di tempat lain untuk membangun gedung lain ;ada di kasur
dikarenakan kelelahan ;ada di tukang pijit masih proses pelemasan otot ;ada
banyak lagi jawaban lain berdasarkan imajinasi kita.
Apa
mungkin mereka diundang hadir di acara peresmian gedung yang mereka bangun? Bisa
jadi, tetapi aku ragu. Aku lebih membayangkan adegan seperti yang dijelaskan
Goenawan Muhammad (1989: 134) “Para tukang batu itu hilang tak tercatat. Hanya raja-raja
yang disebut. Sejarah memang sering kurang adil.” Kisah kerajaan, wah! Jangan-jangan
kita telah berdosa karena ceroboh membandingkan tukang dan kulia bangunan yang
dibayar dengan tukang batu kerajaan yang kemungkinan besar tak dibayar. Atau,
kita berdosa karena menjadi manusia yang sangat materialis; menuhankan uang.
Apakah
memang segala bisa selesai dengan memberikan bayaran? Mari mengingat puisi
penyair sederhana kita, Joko Pinurbo, tentang cerita menaiki ojek yang tak lain
adalah guru sejarahnya dulu yang diabadikan dengan judul “Dengan Kata Lain”
dalam buku Baju Bulan (Penerbit
Gramedia: 2013). Alkisah setelah sampai di tujuan: Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru/ sampai tak terasa ojek
sudah berhenti di depan rumah// Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan//
Dasar sial/ Belum sempat kubuka dompet, beliau/ sudah lebih dulu permisi lantas
melesat begitu saja//. Pamrih memberikan bayaran banyak, gagal. Cerita berlanjut
dengan hadirnya kalimat dari ayahnya yang sedang membaca koran di teras rumah
dan barangkali menyadari kebingungan anaknya: Tak ada angin, tak ada hujan, Ayah tiba-tiba/ bangkit berdiri dan
berseruh padaku, “Dengan kata lain-/ kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu”/.
Barangkali Jokpin benar, tidak semua bisa dibayar dengan uang. Tapi… semisal
tukang dan kuli bangunan kita tanya: Pilih mana dibayar dengan uang atau puisi?
Kemungkinan besar, mereka memilih uang.
***
Wah,
sampai lupa mengucapkan kalimat sambutan untuk Anda, Pak Jokowi: Selamat datang,
semoga selalu dipayungi keberkahan. Saya izin tidak hadir sebab rumput di sawah
sudah meninggi, saya mesti menangkasnya agar tak melebihi tinggi badan kacang
hijau kami dan terkesan menanam rumput. Juga, agar kami memanen
kepastian-kepastian bukan sekadar harapan-harapan.
Oh
iya, Pak. Jika ada mahasiswa-mahasiswa menolak kedatangan Anda, mereka sebenarnya
menolak sinau sejarah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar