Jumat, 30 Maret 2018

Berdesa dan Berkisah




suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggakaken datheng Gusti
—Raden Mas Sosrokartono


Segala selain Tuhan, barangkali berhak merayakan ulang tahun. Hidup harus penuh perayaan. Tidak! Hidup mesti penuh selamatan, agar selamat. Desa, kampung, atau apa sebutannya di mana saja, seringkali diselamati. Selamatan tidak diartikan sempit sebagai ucapan selamat: Selamat ulang tahun, Desa. Semoga kau panjang umur, meski kau tak semakin subur. Tidak begitu. Di kampungku, selamatan desa diisi dengan serangkaian acara religius. Mulai khataman alqur’an di pesarehan (baca: makam), sampai pengajian umum di tempat ibadah umum alias masjid.

Selamatan desa dibarengi haul tokoh masyarakat, perintis atau penyebar Islam di desa. Pengajian juga dikaitkan dengan peringatan peristiwa penting yang menyebabkan Nabi Muhammad panen sumpah serapah; Isra’ Mikraj. Pengajian menjadi tematik. Kiyai yang memberi kajian berasal dari Malang, pengasuh pondok pesantren Sabilurrosyad atau yang lebih dikenal dengan sebuatan pesantren Gasek karena terletak di desa Gasek, Karangbesuki, Sukun, Malang. Kiyai Marzuqi Mustamar, cukup kondang sebagai tokoh Nahdatul Ulama. Pas! Di masjid kampungku, di halaman paling depan diberi monumen Nahdatul Ulama (NU) lengkap beserta logonya. Kampungku atau desaku, adalah NU. Ah tidak juga, ada sebagian kecil yang berfaham Muhamadiyah dan barangkali selainnya pula.

Kiyai Marzuqi Mustamar (Sumber gambar: Arrahma.co.id)

Wajah dan suara Yai Marzuqi, membawa ingatan saat pertama merantau ke Malang. Aku menyantri di sana selama kurang lebih satu tahun. Pengajian beliau sangat NU nasionalis. Hampir di setiap pengajian, selalu terselip semboyan juang: NKRI harga mati. Aku suka! Berjamurnya faham liberal dan radikal di Nusantara, menjadikan beliau ketat mengawal umat khususnya warga Nahdiyin agar tidak terseret pada doktrin-doktrin yang lengket seperti permen karet atau pertanyaan-pertanyaan yang menjebak iman. Wah, gawat! Demi menjaga tradisi NU yang telah diperjuangkan Kiyai-Kiyai NU yang sangat selektif dalam akulturasi diri dengan budaya dan syariat, beliau menerbitkan buku berjudul agak panjang: Dalil-dalil Praktis Amaliah Nahdliyah (Ayat dan Hadist Pilihan Seputar Amaliah Warga NU). Buku setebal 229 itu diadakan Penerbit Muara Progresif di tahun 2014. Oh, aku jadi ingat, tahun itu masih nyantri dan tinggal di pesantren Gasek.

Kita kutip sekalimat dalam Mukaddimah atau pengantar buku: “Keraguan dalam agama adalah musibah terbesar dalam hidup.” Wah beragama harus penuh keyakinan. Tidak boleh setengah-setengah. Aku jadi teringat kalimat Multatuli dalam Max Haveelar (Penerbit Qanita:2014), “Setengah-setengah itu tidak baik. Setengah benar sama saja tidak benar.” Juga, kalimat dari Salman Rusdhie (Ayat-ayat Setan, 1997:24) dalam mendefinisikan alqur’an secara sastrawi dan penuh imaji, “Al-Qur’an, buku ketidakpercayaan. Terlalu final, pasti, tertutup. Pada dirinya sendiri itu adalah suatu keyakinan keragu-raguan.” Loh Salman, loh Rusdhie, kamu kok pakai frase “keyakinan keragu-raguan”. Kalimatmu yang definitif, terlalu paradoks!

Kembali pada acara Ruwah Deso saja, Kiyai Marzuqi menegaskan bahwa jangan sampai terulang perang saudara. Ada banyak kelompok, sedang berperan sebagai Sengkuni dan kelompok lainnya berperan sebagai Durna. Aduh! Akhirnya jama’ah pengajian dibekali dongeng, kisah, cerita laku Rasulullah yang diamalkan warga Nahdiyin sampai sekarang seperti qunut, takziyah, selamatan, dsb. Jama’ah juga sempat dibuat takjub saat dituntun Kiyai Marzuqi dalam pemanjatan doa menghentikan hujan yang tiba-tiba turun lebat. Sekejab, hujan mereda dan berhenti.

Begitulah. Pengajian bertema Isra’ Mikraj tak melulu berkisah perjalan Nabi dan Buroq. Barangkali sudah terlalu banyak yang hafal detail kisahnya, walau mungkin tak semuanya mengimani peristiwa itu sebagaimana Khadija mengimaninya. Perjalanan “hiburan” setelah duka ditinggal orang tercinta, membuat orang-orang meragukan kewarasan Rasulullah, kecuali Khadijah. Bahkan, dalam karya Salman Rushdie yang sudah tersebut, Rasulullah sendiri pun merasa gila, “Ketika ia pikir ia gila, wanita itu satu-satunya yang percaya pada penglihatannya. Itu adalah malaikat pelindung, ia berkata kepadanya ‘bukan, suatu bayangan yang keluar dari kepalamu. Itu adalah Jibril dan engkau adalah Rasul Allah’.”

Walah, imajinasi dan bahasa Salman Rusdhie memang berat. Barangkali manusia semacam Dilan saja yang kuat. Kita, yang tak kuat, bersandar pada tulisan Kartini (surat 28 Juli 1902, untuk Nyonya Abendanon) saja, “Setiap hari, yang harus kita panjatkan kepada Tuhan adalah doa, semoga kita tetap dikaruniai kekuatan!” —Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar