Aku
seorang pembelajar puisi dan aku sangat menyukai puisi bahkan lebih dari
kekasih tetapi aku belum pernah berfikir untuk membingkai sekolah dengan puisi
meskipun aku sempat buta saat pertama memasuki sekolah ini, aku buta dan tak
mampu melihat apa-apa kecuali puisi saja. Kata guru bahasaku, semesta adalah
sekumpulan puisi. Jadi, tak usah heran. Aku ingin berinsyaf dengan menafsiri
puisi siswaku (baca: guru kecilku). Puisi ini ditulisnya dalam skala waktu
sekian menit saja di sebuah lomba. Aku mencoba menjadi dirinya dan membaca apa
saja yang ada di matanya saat berbincang prihal puisi. Maka, begini jadinya.
Oleh: Hervinda
Suryaning Cahyani
Bunga-bunga
indah melukiskan sosokmu
Sang
penakluk hati generasi bangsa
SMP
Negeri 13 Malang
Namamu
terbingkai dalam kata-kata indahku
Takjub
syukurku berada dalam pelukanmu
Angin
sepoy-sepoy berhembus
Berhembus
sejuk menyayat
Jiwa
dan raga
Nyanyian
cicit cuit si burung kecil
Mengiringi
langkah kakiku
Menuju
ruang impianku
Taman
yang indah …
Lagi
tertata rapi
Menjadi
symbol makna bagianmu
Air
sungai mengalir
Membawa
hati ini
Mengikuti
arus di mana ia pergi mengarah
Surgaku
bersih …
Tanpa
kotoran yang memiriskan hati
Surgaku
suci …
Tanpa
ternodai oleh si profokator hidup
Surga
keduaku …
Menjelma
menjadi sekolah adiwiyata impianku
“Surga
Keduaku” memberikan makna positif dalam pelbagai kajian. Barangkali penulis
alias Vinda ingin mengatakan dalam bahasa panjang: Hai pembaca, aku akan
bercerita tentang surgaku, di mana aku betah berlama-lama dengan sekian teman,
guru dan kebahagiaan. Sengaja kuberi nama kedua, karena surga pertamaku adalah rahim
ibuku. Apa kau tak percaya? Maka, apakah kau pernah berfikir kenapa ia disebut
sebagai Rahim (nama lain Tuhan) yang bermakna penyanyang.
Bunga-bunga indah
melukiskan sosokmu/ Sang penakluk hati generasi bangsa/ SMP Negeri 13 Malang/ Namamu
terbingkai dalam kata-kata indahku/ Takjub syukurku berada dalam pelukanmu/
Bunga
acapkali menjadi simbol kebahagiaan, maka kita sering dikatakan berbunga-bunga.
Pada puisi ini, Vinda memilih bunga sebagai wujud sekolah yang dirasa telah
memberinya kebahagiaan. Dugaan tersebut diperkuat kalimat selanjutnya yakni “penakluk
hati”. Barangkali, sekolah, maksudku kebahagiaan yang didapati dengan teman
sekolahnya, telah berhasil meluluhkan hatinya. Maka, sebagai perwujudan rasa
syukurnya, ia membingkai SMP Negeri 13 dengan puisi. Tak heran, jika Vinda
merasa mendapati sebuah pelukan yang tentu membuatnya nyaman.
Angin sepoy-sepoy
berhembus/ Berhembus sejuk menyayat/ Jiwa dan raga
Setelah
membingkai nama sekolahnya dengan puisi, kini Vinda mengupas isi bingkai
tersebut dengan melukiskan suasana sekolahnya. Vinda mengabarkan bahwa
pepohonan dan bunga-bunga juga rerumputan di sekolah berhasil mengundang angin-angin
kecil bermain-main di antara siswa memberikan kesejukan jiwa. Barangkali kepadatan
bangunan di rumahnya, hanya memberinya pengap. Begitupun saat perjalanan ke
sekolah, berjejalan di dalam angkot dengan penumpang lain tentu tidak
memberikan kesejukan. Kuduga, Vinda mengalami episode rindu berlebihan terhadap
sejuk sampai ia memilih kata menyayat sebagai kata kerja yang mempertemukan
dirinya dengan sejuk. Jiwa dan raganya.
Nyanyian cicit cuit
si burung kecil/ Mengiringi langkah kakiku/ Menuju ruang impianku
Pelukisan
sekolah dilanjutkan Vinda dengan menghadirkan burung-burung dalam pepohonan. Dengan
kata lain, Vinda mengatakan: Hai, lihat kemari, saksiskan bahwa bukan saja aku
yang kerasan tetapi burung-burung pun kerasan bahkan bernyanyi ria. Jelas,
gambaran Vinda, bahwa dari gerbang sampai kelasnya ada banyak burung yang
menyambutnya. Untuk kelas, ia menggunakan frase ruang impian sebab di ruang itu
ia mulai mengukir impian-impiannya.
Taman yang indah …/
Lagi tertata rapi/ Menjadi symbol makna bagianmu
Gambaran
akan surga pada umumnya seolah mempengaruhi tulisan Vinda, imajinasi akan surga
yang penuh taman dan sungai mulai dihadirkan Vinda dalam beberapa kalimat
selanjutnya. Tetapi ia tak sekadar membagi imajinasi, ia berkata apa adanya
akan sekolahnya yang melingkupi, pertamanan, keindahan, dan kerapian. Vinda meyakinkan
pembaca dengan kata “bagianmu” dengan maksud pembaca tak kabur dan berfikir
bahwa semua sebatas imajinasi. Aku menduga, jika Ki Hajar Dewantara masih
hidup, ia akan memberi senyum terindahnya untuk Vinda dan sekolah. Untuk sekolah
karena mau menyediahkan taman, dan untuk Vinda karena mau menanam puisi pada
sekolahnya. Begitulah seharunya makna Taman Pendidikan.
Air sungai
mengalir/ Membawa hati ini/ Mengikuti arus di mana ia pergi mengarah
Sungai
kecil di dalam sekolahnya pun dihadirkan dalam kalimat puitis. Bahwa aliran
sungainya telah membawa serta hatinya mengalir pada arah di depannya. Barangkali
Vinda telah sepenuh hati kerasan dengan sekolahnya dan tak begitu peduli takdir
bakal menjadikannya apa, baginya yang perlu dipedulikan adalah ia masih bisa
sekolah dan bertemu teman-teman untuk bertukar kebahagiaan.
Surgaku bersih …/ Tanpa
kotoran yang memiriskan hati/ Surgaku suci …/ Tanpa ternodai oleh si profokator
hidup/ Surga keduaku …/ Menjelma menjadi sekolah adiwiyata impianku
Kata
surga kembali dihadirkan sebagai penutup puisi. Di sini, penulis memberikan
tafsiran-tafsiran kecil tentang bersih dan suci. Barangkali penulis takut
pembaca mengalami safari makna yang jauh dari yang dimaksudkan penulis. Bahwa bersih
adalah tanpa kotoran yang memiriskan hati dan suci adalah yang tak ternodai
oleh profokator hidup. Sejujurnya, aku gagal meyakini pemahamanku akan “profokator
hidup” karena frase itu lebih bisa dipahami sebagai Tuhan tetapi tidak untuk
kalimat ini. Maka, biarkan saja ia tetap sebagai profokator hidup karena
terkadang kata-kata akan semakin hilang maknanya jika dipaksakan ditafsiri
dengan kata lain.