“Dia
tidak masuk, Pak. Dengar-dengar sih cari sekolah sama bapaknya. Dia dikeluarkan
gara-gara kemarin ketahuan berantem”. Kalimat itu membakar diriku. Bagaimana
kita sebagai guru praktikan kuat mendengar kalau murid kita dikeluarkan begitu
saja. Adam adalah nama murid yang dimaksud. Ia memang sedikit nakal tetapi
masih tahu tata karma. Ia masih menghargai guru, menghormati, dsb. Cerita yang
kudengar, ia berantem dengan teman sekelasnya dan ia termasalahkan sebab
lawannya, teman sekelas yang kumaksud, menangis. Saksi teman sekelas lainnya,
yang mencari gara-gara bukanlah Adam. Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan
siapa yang salah dan benar tetapi bagaimana bisa sekolah dengan mudahnya
mengeluarkan anak didiknya.
Seketika
itu pula, aku wujudkan amarahku menjadi sebuah puisi sederhana. Bahkan sempat
aku tuliskan pada BBM-ku; Pak Presiden Yang Terhormat bolehkah saya meminjam
korek untuk membakar sekolah-sekolah di negeri anda. Maksudku negeri kita.”
Lalu, inilah puisi yang lahir oleh amarahku:
OMONG
KOSONG
:untuk
murid sekaligus temanku, Adam
Dam,
jangan
kau teteskan
air
mata sebab sekolah
mengusirmu:
Memindahmu
dengan bisu
tanpa
permisi.
Bila
perlu,
tertawalah.
Dunia ini
penuh
lelucon seperti
sekolahmu.
Maksudku
sekolah negara
yang
mengusirmu.
Kau
tahu, Dam
saat
sekolah mengusir
siswa.
itu artinya sekolah
tak
mampu mendidik
dan
perlu dipertanyakan;
Masih
diperlukankah
sekolah?
Dam,
Adam
jangan
terus tertawa
sampai
lupa meneguk
kopimu;
Agar
tak jadi dingin
dan
kau tak masuk angin.
Esoknya,
Adam terlihat bersekolah lagi dan ternyata ia tak jadi dikeluarkan, masih
diberi kesempatan. Ah puisi sudah terlanjur lahir dan tak usah kurahimkan
kembali. Bukankah puisi itu seperti bayi yang punya riwayat hidup sendiri. Jika
umurnya pendek, ia bakal lekas hilang sendiri dan jika umurnya panjang, siapa
yang mampu membunuhnya; melawan takdir Tuhan. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar