Jumat, 09 September 2016

OMONG KOSONG SEKOLAH




“Dia tidak masuk, Pak. Dengar-dengar sih cari sekolah sama bapaknya. Dia dikeluarkan gara-gara kemarin ketahuan berantem”. Kalimat itu membakar diriku. Bagaimana kita sebagai guru praktikan kuat mendengar kalau murid kita dikeluarkan begitu saja. Adam adalah nama murid yang dimaksud. Ia memang sedikit nakal tetapi masih tahu tata karma. Ia masih menghargai guru, menghormati, dsb. Cerita yang kudengar, ia berantem dengan teman sekelasnya dan ia termasalahkan sebab lawannya, teman sekelas yang kumaksud, menangis. Saksi teman sekelas lainnya, yang mencari gara-gara bukanlah Adam. Sebenarnya, aku tak mempermasalahkan siapa yang salah dan benar tetapi bagaimana bisa sekolah dengan mudahnya mengeluarkan anak didiknya.
Seketika itu pula, aku wujudkan amarahku menjadi sebuah puisi sederhana. Bahkan sempat aku tuliskan pada BBM-ku; Pak Presiden Yang Terhormat bolehkah saya meminjam korek untuk membakar sekolah-sekolah di negeri anda. Maksudku negeri kita.” Lalu, inilah puisi yang lahir oleh amarahku:

OMONG KOSONG
:untuk murid sekaligus temanku, Adam

Dam,
jangan kau teteskan
air mata sebab sekolah
mengusirmu:
Memindahmu dengan bisu
tanpa permisi.

Bila perlu,
tertawalah. Dunia ini
penuh lelucon seperti
sekolahmu.
Maksudku sekolah negara
yang mengusirmu.

Kau tahu, Dam
saat sekolah mengusir
siswa. itu artinya sekolah
tak mampu mendidik
dan perlu dipertanyakan;
Masih diperlukankah
sekolah?

Dam, Adam
jangan terus tertawa
sampai lupa meneguk
kopimu;
Agar tak jadi dingin
dan kau tak masuk angin.


Esoknya, Adam terlihat bersekolah lagi dan ternyata ia tak jadi dikeluarkan, masih diberi kesempatan. Ah puisi sudah terlanjur lahir dan tak usah kurahimkan kembali. Bukankah puisi itu seperti bayi yang punya riwayat hidup sendiri. Jika umurnya pendek, ia bakal lekas hilang sendiri dan jika umurnya panjang, siapa yang mampu membunuhnya; melawan takdir Tuhan. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar