“Tertawalah
saat orang lain jatuh. Tertawalah saat diri sendiri jatuh. Semua orang memang
lucu”
Yosichi
Shimada
Ingatkah
kita dengan cerita Ibrahim dan Ismail yang terjadi sekian banyak tahun yang
lalu yang di banyak tahun setelah membuat manusia, khususnya Islam, memiliki
ritual baru yakni berqurban dan tentu jawabannya sekian banyak persen adalah
kita masih sangat ingat sebab sekian ustadz selalu mendongengkan cerita itu. Besok
pun, prediksiku, bakal banyak penda’i yang kembali mendongengkan itu sebab
besok adalah hari Idul Adha atau Idul Qurban. Apakah kita tidak bosan? Ah,
mungkin tak semua bakal berani bilang atau berpikir demikian, takut kualat
sebab yang diceritakan adalah seorang nabi atau sebab yang menceritakan adalah
ustadz atau kyai. Tapi tenang, aku takkan menulis ulang cerita itu, aku akan
bercerita hal lain.
Lumayan
dulu, guruku berkata “Kasihan Ismail, banyak manusia melihat ritual qurban dari
sisi Ibrahim”. Maksudnya, sekian manusia sibuk memuji Ibrahim sebagai manusia
yang sangat bertaqwa kepada Tuhannya karena rela menyembelih anaknya sendiri
demi menjalankan perintah Tuhan melalui mimpinya. Tidak banyak sekali, atau
barangkali nihil, manusia yang melihat ritual qurban dari sisi Ismail dan
memikirkan jawaban atas beberapa pertanyaan: Kenapa Ismail yang dipilih sebagai
qurban? Apa keistimewaan seorang anak bernama Ismail?
Berawal
dari tamparan guru bahasaku itu, aku mulai mencoba melihat ritual qurban tidak
dari sudut pandang Ibrahim bahkan tidak pula Ismail tetapi aku melihat,
meskipun tanpa sengaja, dari sudut pandang kambing. Ya, saat itu aku di jalan,
aku melihat seekor kambing yang dibonceng seorang manusia dan tentu penuh
ikatan melilit tubuhnya. Mata kami bertatapan dan saat itulah sekian cerita
kudapatkan. Kambing itu tertawa, bahkan sedikit terbahak-bahak. Katanya,
manusia itu sangat lucu, mana mau Tuhan menerima qurban sesuatu yang tidak
tumbuh dengan kasih sayang. Barangkali manusia ingin menipu Tuhan, semacam ilmu
politik. Memanipulasi uang menjadi qurban. Bagaiman perasaan Ibrahim
menyembelih anaknya sendiri tentu tak sebanding dengan perasaan pembeli hewan
qurban saat melihat hewannya disembelih. Sebagian pengurban malah tersenyum
bahkan denga sifat riya’nya. Dan kau tahu, Tuhan Mahatahu.
Aku
sangat tertampar oleh sabda Mas Kambing tersebut, aku mencoba memasuki cerita
Ibrahim-Ismail. Benar, Ismail tumbuh dengan penuh kasih sayang. Ibrahim sangat
mencintainya. Itulah kenapa Ismail diminta jadi qurban, sebab ia adalah yang
sangat istimewah. Cerita lain tentang qurban adalah anak Adam, Qabil dan Habil.
Dan kita juga ingat, bahwa yang diterima adalah qurban binatang ternak sebab
digembala dengan kasih sayang bukan buah-buahan yang tumbuh oleh kasih sayang
ibu bumi. Ah sudahlah, kuakhiri saja tulisanku dengan puisi daripada kita
safari cerita lebih jauh lagi, dan tentu melelahkan. Semoga ada sekian penda’i
bercerita tentang ritual qurban dari sudut yang berbeda lagi, barangkali sudut
pandang Tuhan.
MIMPI IBRAHIM
Aku diperintah
menyembelihmu, Nak
dan aku bimbang terlalu
banyak jika
dalam diriku:
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
aku sudah menantang-Nya
dalam mimpi
untuk bertukar posisi
tapi sayangnya, aku
adalah
seorang Nabi.
Dan kau tahu, Nak
kenapa dan apa enakanya
menjadi
Nabi
adalah tak seorang pun
menyalahkanmu
meski menyembelih anak
sendiri.
Mengenai alasannya, aku
tak perlu
menjelaskan sebab kau
bakal menjadi Nabi
dan mengerti sendiri.
Ah, mengenai mimpi
tadi, Nak
lupakan sejenak.
Habiskan kopimu, agar
tak marah-
marah ibumu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar