Minggu, 11 September 2016

PERCAKAPANKU DENGAN KAMBING




“Tertawalah saat orang lain jatuh. Tertawalah saat diri sendiri jatuh. Semua orang memang lucu”
Yosichi Shimada
Ingatkah kita dengan cerita Ibrahim dan Ismail yang terjadi sekian banyak tahun yang lalu yang di banyak tahun setelah membuat manusia, khususnya Islam, memiliki ritual baru yakni berqurban dan tentu jawabannya sekian banyak persen adalah kita masih sangat ingat sebab sekian ustadz selalu mendongengkan cerita itu. Besok pun, prediksiku, bakal banyak penda’i yang kembali mendongengkan itu sebab besok adalah hari Idul Adha atau Idul Qurban. Apakah kita tidak bosan? Ah, mungkin tak semua bakal berani bilang atau berpikir demikian, takut kualat sebab yang diceritakan adalah seorang nabi atau sebab yang menceritakan adalah ustadz atau kyai. Tapi tenang, aku takkan menulis ulang cerita itu, aku akan bercerita hal lain.
Lumayan dulu, guruku berkata “Kasihan Ismail, banyak manusia melihat ritual qurban dari sisi Ibrahim”. Maksudnya, sekian manusia sibuk memuji Ibrahim sebagai manusia yang sangat bertaqwa kepada Tuhannya karena rela menyembelih anaknya sendiri demi menjalankan perintah Tuhan melalui mimpinya. Tidak banyak sekali, atau barangkali nihil, manusia yang melihat ritual qurban dari sisi Ismail dan memikirkan jawaban atas beberapa pertanyaan: Kenapa Ismail yang dipilih sebagai qurban? Apa keistimewaan seorang anak bernama Ismail?
Berawal dari tamparan guru bahasaku itu, aku mulai mencoba melihat ritual qurban tidak dari sudut pandang Ibrahim bahkan tidak pula Ismail tetapi aku melihat, meskipun tanpa sengaja, dari sudut pandang kambing. Ya, saat itu aku di jalan, aku melihat seekor kambing yang dibonceng seorang manusia dan tentu penuh ikatan melilit tubuhnya. Mata kami bertatapan dan saat itulah sekian cerita kudapatkan. Kambing itu tertawa, bahkan sedikit terbahak-bahak. Katanya, manusia itu sangat lucu, mana mau Tuhan menerima qurban sesuatu yang tidak tumbuh dengan kasih sayang. Barangkali manusia ingin menipu Tuhan, semacam ilmu politik. Memanipulasi uang menjadi qurban. Bagaiman perasaan Ibrahim menyembelih anaknya sendiri tentu tak sebanding dengan perasaan pembeli hewan qurban saat melihat hewannya disembelih. Sebagian pengurban malah tersenyum bahkan denga sifat riya’nya. Dan kau tahu, Tuhan Mahatahu.
Aku sangat tertampar oleh sabda Mas Kambing tersebut, aku mencoba memasuki cerita Ibrahim-Ismail. Benar, Ismail tumbuh dengan penuh kasih sayang. Ibrahim sangat mencintainya. Itulah kenapa Ismail diminta jadi qurban, sebab ia adalah yang sangat istimewah. Cerita lain tentang qurban adalah anak Adam, Qabil dan Habil. Dan kita juga ingat, bahwa yang diterima adalah qurban binatang ternak sebab digembala dengan kasih sayang bukan buah-buahan yang tumbuh oleh kasih sayang ibu bumi. Ah sudahlah, kuakhiri saja tulisanku dengan puisi daripada kita safari cerita lebih jauh lagi, dan tentu melelahkan. Semoga ada sekian penda’i bercerita tentang ritual qurban dari sudut yang berbeda lagi, barangkali sudut pandang Tuhan.

MIMPI IBRAHIM

Aku diperintah menyembelihmu, Nak
dan aku bimbang terlalu banyak jika
dalam diriku:

Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
Jika aku bukanlah Nabi
aku sudah menantang-Nya dalam mimpi
untuk bertukar posisi
tapi sayangnya, aku adalah
seorang Nabi.

Dan kau tahu, Nak
kenapa dan apa enakanya menjadi
Nabi
adalah tak seorang pun menyalahkanmu
meski menyembelih anak sendiri.
Mengenai alasannya, aku tak perlu
menjelaskan sebab kau bakal menjadi Nabi
dan mengerti sendiri.

Ah, mengenai mimpi tadi, Nak
lupakan sejenak.
Habiskan kopimu, agar tak marah-
marah ibumu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar