Rabu, 14 September 2016

AKU: SEORANG MISKIN




Saat ditanya, apa yang ingin kupinta sebagai kenang-kenangan, aku seringkali meminta kata-kata. Ya, hanya kata-kata. Terkesan sederhana dan sangat murah tapi tak semuanya ikhlas memberinya. Tapi ikhlas tidaknya hanya penilaianku terhadap kata-kata yang diberikan padaku. Faktanya, aku sekedar manusia yang tak boleh sok tahu karena hanya Tuhan Yang Mahatahu. Jadi, mari anggap saja semuanya ikhlas-iklas saja.
Aku teringat saat semua meminta tanda tangan Najwa Shihab dan berfoto, aku katakana “Mbak Nana, aku tak meminta foto bersama, hanya kata-kata saja”. Lalu Mbak Nana menuliskan “Untuk Kancil semoga berani bermimpi dan berkarya untuk negeri”. Aku memang merasa miskin kata-kata jadi aku suka ngobrol mencari kata-kata. Aku mencoba menjadikan diriku sebagai terminal kata; keluar-masuk kata-kata.
Hari ini, sesuai jadwal PPL, mengajar terakhir di kelas 7B. Sebagai seorang miskin, aku tak usah malu meminta kata-kata. Kesan, pesan, dan kritikan dituliskan siswaku yang juga guruku. Memang niat awalku adalah berguru bukan menggurui. Berguru pada siswa-siswaku. Maka, jika aku gagal memahami mereka, aku tak boleh marah-marah dan menyalahkan mereka. Mestinya, aku marah pada diriku sendiri. Perlu kuingat, bahwa dunia anak-anak adalah dunia imajinasi, dunia yang sangat jujur.
Pesan guru bahasaku, aku mesti siap-siap sebab anak-anak acapkali memberi kejutan. Dan aku sudah akrab dengan pelbagai kejutan bahkan aku selalu merindukan kejutan yang lainnya. Kau tahu, ada seorang guru yang berperan sebagai malaikat, lalu siswanya disuruh izin masuk surga. Ada seorang anak yang berjalan seolah-olah bawa cangkul dan berkata “Aku seorang petani baik, bolehkah aku masuk surga?” ada lagi yang mencoba masuk “Aku guru baik bolehkah aku masuk surge?”. Lalu, seorang anak melinting kertas seolah-olah rokok dan berjalan nyelodor tanpa berkata pada gurunya yang berperan sebagai malaikat. Maka, ditanyalah si anak tersebut “Hei, kau jadi apa kok tidak meminta izin masuk surga?”. Dengan sangat santai dan polos, si anak menjawab “Loh kenapa aku mesti meminta izin, aku kan jadi Tuhan?”. Sang guru pun sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan imajinasi anak-anak. Begitu pun denganku.
Maka, dengan tulisan ini, aku menyempatkan diri mengucapkan terima kasih pada semua teman-teman siswa yang telah bersedekah kata dan menjadi guruku dalam dua bulan terakhir. Pesanku, jangan takut berimajinasi, Einstein lebih suka berimajinasi daripada menghafal pelajaran sekolah. Tetapi kalian tak perlu menjadi Einstein. Menjadi ilmuan memang baik, tetapi lebih baik menjadi diri sendiri; mengenal diri sendiri seutuhnya.
PERCAYALAH, LAIN KALI KITA PASTI BERTEMU ENTAH DI LAIN WAKTU ATAU PUN DI LAIN RINDU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar