Di
tengah simpangsiurnya berita penistaan kitab suci alqur’an, ada yang menyentil
saya kala membuka Facebook; ada sebuah gambar dibagikan seorang pengguna yang
bertuliskan “Arabisasi Radikal Berkedok Islam vs Islam”. Tentu saja, tulisan
tak sekedar ditulis asal-asalan, mari coba kita pahami bersama tetapi jangan
nanti di antara kita menghadirkan kasus baru, bisa saja “penistaan gambar suci”
karena di dalam gambar ada beberapa foto kiyai dan kita tafsiri tanpa
mengundang ahli tafsir gambar. Maka, anggap saja kita berlatih menafsiri gambar
yang mana namanya latihan penuh dengan kemakluman. Apa yang anda pikirkan kala
melihat gambar tersebut? Bisa saja anda berpikir bahwa “ah foto itu kan Cuma editan
untuk memperpanas suasana”, “ah gambar itu tak berlandaskan apa-apa”, dsb. dst.
Bisa saja anda berpikir demikian dan tentu itu tidak dilarang.
Sejarah Islam di Nusantara
Islam
di Nusantara tumbuh subur paskah runtuhnya Majapahit yang diyakini sebagai
kerajaan Hindu meski rakyatnya dibebaskan beragama selama bisa hidup rukun dan
memang begitulah tujuan agama diciptakan; menjaga kerukunan. Mari coba selami zaman
Majapahit karena ada beberapa hal menarik di dalamnya yakni perpecahan
pemikiran Islam oleh anggota Wali Songo. Damar Shasangka di dalam blognya
berbagi ebook sejarah runtuhnya Majapahit. Ia memaparkan ada dua kubu Islam di
zaman Majapahit yakni putihan dan abangan. Konon, disebut putihan karena memang
mereka meyakini dirinya islam murni seperti yang di Arab alias tidak ada
campuran apapun. Sedang abangan adalah islam yang disesuaikan adat dan budaya
Nusantara. Di kubu putihan, ada Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan
Muria, dsb. Sedang di kubu abangan, ada Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar.
Bagi
kubu putihan, Nusantara khususnya Jawa di mana mereka berpijak harus segera
diislamkan. Artinya, Majapahit harus diruntuhkan. Maka, disiapkannya
langkah-langkah pengahncuran Majapahit. Mula-mula mendirikan pesantren Giri
yang kemudian berganti kerajaan Giri Kedaton. Brawijaya V selaku raja saat itu
memang seringkali dikatakan bersifat lembek pada permaisuri dan selirnya yang
kemudian disindir keras oleh rakyat Ponorogo dengan menampilkan tarian berwujud
macan yang dimahkotai merak yang kemudian dijelaskan bahwa macam adalah simbol raja
yakni Brawijaya V sedang merak adalah selirnya (yang meminta keistimewaan untuk
Islam seperti menjadikan Ampel sebagai pusat kajian Islam). Artinya, raja yang
seperkasa macan sekarang tak berkutik (lembek) di bawah selangkangan burung
merak yang tak lain selirnya. Ini adalah peringatan serius rakyat Ponorogo yang
kemudian memisahkan diri dari Majapahit. Sedang bagi kubu abangan, Nusantara
tak usah diislamkan karena tidak ada diskriminasi agama. Agama islam boleh
berkembang dan tokoh-tokohnya boleh menyebarkan syariat, sudah perlu disyukuri.
Nantinya, kedua tokoh abangan menjadi guru spiritual masyarakat Jawa yang
sering disebut sebagai aliran kebatinan, Kejawen, dsb.
Setelah
pesantren Giri menyebut dirinya sebagai Giri Kedaton dan mengangkat Sunan Giri
sebagai raja yang menggelari dirinya sendiri dengan sebutan Prabu Satmata atau
raja yang memiliki enam mata, Majapahit murka dan menyerang Giri Kedaton. Perlu
dijelaskan bahwa gelar Prabu Satmata adalah sindirian dan barangkali penghinaan
terhadap Hindu yang menyembah dewa bermata tiga yakni Siwa. Kemudian Sunan
Ampel, mahaguru para Wali Songo memintakan ampun pada Brawijaya yang kemudian
membebaskan Sunan Giri. Sunan Ampel pun berfatwa bahwa umat Islam dilarang
menyerang Majapahit. Konflik atas nama agama pun mereda, tetapi diam-diam kubu
putihan menyebarkan paham radikal bahwa Nusantara (baca: Jawa) harus Islam.
Pendek cerita, Sunan Ampel meninggal dunia. Brawijaya telat menyadari bahwa
wilayah Demak yang dipercayakan pada anaknya sendiri, Raden Fatah, telah
menjadi markas islam putihan yang dipakai pematangan rencana penghancuran
Majapahit.
Kehancuran
Majapahit alias keberhasilan islam putihan akan rencananya tidak membuat Nyai
Ampel senang, malahan marah karena menilai Raden Fatah melakukan
kesalahan-kesalahan yang fatal; menyerang raja selaku imam resmi semua
golongan, melanggar fatwa Sunan Ampel dan mengusir bapaknya sendiri yakni
Brawijaya V.
Islam dan Indonesia
Kejadian
di atas agaknya ada kemiripan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Yakni islam
nampak pecah, ada yang berjihad membela alqur’an dan ada yang diam berdoa
kedamaian. Sangat disayangkan karena beberapa kubu perpecahan saling
berpendapat benar bahkan saling menghina. Di kubu “jihad” mengatakan bahwa
wajib ikut aksi membela alqur’an bahkan ada yang sampai mengatai yang tidak iku
sebagai pembela kafir. Di kubu “damai” mengatakan bahwa semuanya salahpaham;
tidak ada penistaan alqur’an dan sangat disayangkan sampai mengatai yang aksi
adalah islam kurang ngaji. Maaf, bahwa tidak ada niatan memperkeruh suasana dan
menggeneralisasikan kubu ataupun memecah islam.
Bagi
saya pribadi, tidak ada yang salah dan juga tidak ada yang benar karena memang
tidak ada neraca benar-salah yang disepakati. Artinya, yang bagi kita benar
belum tentu benar bagi yang lainnya. Salah satu faktor perpecahan memanglah
salahpaham dan keterburu-buruan. Bagi yang berangkat aksi membela alqur’an,
mungkin sebelumnya sibuk bekerja, kuliah, dsb sampai tak sempat membaca dari
akarnya bahwa tidak ada unsur penistaan alqur’an oleh Ahok yang mengatakan “dibohongin
pakai almaidah” dan videonya diunnga Yani dan ditranskip “dibohongi almaidah”
bahkan dengan judul bombastis yakni “Penistaan Agama?”. Terlepas ini sengaja
atau tidak tetapi itulah akar permasalahannya. Bayangkan, saudara muslim yang
tak sempat mengaji permasalahan tiba-tiba diajak aksi dengan nama bela alqur’an
ataupun bela agama, “ayo ikut aksi bela alqur’an”, kemudian bayangkan mereka
kaget dan kebingungan, “Loh ada apa kok membela alqur’an/ membela agama?”,
bayangkan lagi dijawab “Ahok menistakan alqur’an, menghina almaidah. Kita harus
ke Jakata aksi membela alqur’an”. Gerakan yang besar dan pemberitaan yang
gencar mungkin takkan membuat mereka berpikir dua kali untuk membaca
permasalahan. Terpenting adalah jihad membela alqur’an membela agama.
Gambar yang dibagikan salah satu pengguna Facebook. |
Kesimpulan
dari semuanya adalah kita tak usah terburu-buru sehingga melupakan ayat pertama
sekaligus perintah pertama Tuhan yakni “bacalah”. Setelah membaca, jangan lupa
diobrolkan dengan teman dan kalaupun bisa, dengan para ahli. Aku ingat kata
seorang teman yang adalah seorang santri mengatakan bahwa kiyai-kiyai di
wilayah bekas kerajaan Majapahit itu banyak yang berhasil memahami islam
termasuk ketauhidan islam, sedang di luar wilayah itu kiyai-kiyai hanya sibuk
berbicara fiqih; hukum halal-haram. Ingatkah kita dengan pertanyaan Gus Dur
yang kurang lebih berbunyi “Apakah Nabi Muhammad akan tetap memakai jubah jika
hidup di zaman sekarang atau malah memakai jas?”. Bagi saya, Gus Dur
menyampaikan pesan bahwa Islam dan Arab itu perlu dibedakan. Kita pun
diingatkan Nusron Wahid bahwa kita ini orang Indonesia yang Bergama Islam bukan
orang Islam yang ada di Indonesia.
Maka,
yang perlu diproses hukum adalah Yani selaku pentranskip video Ahok, bukan
Ahoknya kecuali jadi saksi. Terima kasih Indonesia, ibu pertiwi yang terus
menyusui kami-anakmu yang sedang salahpaham-jangan bosan-bosan menyusui kami,
Bu!