Sabtu, 05 November 2016

AGAKNYA SEJARAH TERULANG; ARABISASI VS ISLAMISASI




Di tengah simpangsiurnya berita penistaan kitab suci alqur’an, ada yang menyentil saya kala membuka Facebook; ada sebuah gambar dibagikan seorang pengguna yang bertuliskan “Arabisasi Radikal Berkedok Islam vs Islam”. Tentu saja, tulisan tak sekedar ditulis asal-asalan, mari coba kita pahami bersama tetapi jangan nanti di antara kita menghadirkan kasus baru, bisa saja “penistaan gambar suci” karena di dalam gambar ada beberapa foto kiyai dan kita tafsiri tanpa mengundang ahli tafsir gambar. Maka, anggap saja kita berlatih menafsiri gambar yang mana namanya latihan penuh dengan kemakluman. Apa yang anda pikirkan kala melihat gambar tersebut? Bisa saja anda berpikir bahwa “ah foto itu kan Cuma editan untuk memperpanas suasana”, “ah gambar itu tak berlandaskan apa-apa”, dsb. dst. Bisa saja anda berpikir demikian dan tentu itu tidak dilarang.

Sejarah Islam di Nusantara
Islam di Nusantara tumbuh subur paskah runtuhnya Majapahit yang diyakini sebagai kerajaan Hindu meski rakyatnya dibebaskan beragama selama bisa hidup rukun dan memang begitulah tujuan agama diciptakan; menjaga kerukunan. Mari coba selami zaman Majapahit karena ada beberapa hal menarik di dalamnya yakni perpecahan pemikiran Islam oleh anggota Wali Songo. Damar Shasangka di dalam blognya berbagi ebook sejarah runtuhnya Majapahit. Ia memaparkan ada dua kubu Islam di zaman Majapahit yakni putihan dan abangan. Konon, disebut putihan karena memang mereka meyakini dirinya islam murni seperti yang di Arab alias tidak ada campuran apapun. Sedang abangan adalah islam yang disesuaikan adat dan budaya Nusantara. Di kubu putihan, ada Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, dsb. Sedang di kubu abangan, ada Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar.
Bagi kubu putihan, Nusantara khususnya Jawa di mana mereka berpijak harus segera diislamkan. Artinya, Majapahit harus diruntuhkan. Maka, disiapkannya langkah-langkah pengahncuran Majapahit. Mula-mula mendirikan pesantren Giri yang kemudian berganti kerajaan Giri Kedaton. Brawijaya V selaku raja saat itu memang seringkali dikatakan bersifat lembek pada permaisuri dan selirnya yang kemudian disindir keras oleh rakyat Ponorogo dengan menampilkan tarian berwujud macan yang dimahkotai merak yang kemudian dijelaskan bahwa macam adalah simbol raja yakni Brawijaya V sedang merak adalah selirnya (yang meminta keistimewaan untuk Islam seperti menjadikan Ampel sebagai pusat kajian Islam). Artinya, raja yang seperkasa macan sekarang tak berkutik (lembek) di bawah selangkangan burung merak yang tak lain selirnya. Ini adalah peringatan serius rakyat Ponorogo yang kemudian memisahkan diri dari Majapahit. Sedang bagi kubu abangan, Nusantara tak usah diislamkan karena tidak ada diskriminasi agama. Agama islam boleh berkembang dan tokoh-tokohnya boleh menyebarkan syariat, sudah perlu disyukuri. Nantinya, kedua tokoh abangan menjadi guru spiritual masyarakat Jawa yang sering disebut sebagai aliran kebatinan, Kejawen, dsb.
Setelah pesantren Giri menyebut dirinya sebagai Giri Kedaton dan mengangkat Sunan Giri sebagai raja yang menggelari dirinya sendiri dengan sebutan Prabu Satmata atau raja yang memiliki enam mata, Majapahit murka dan menyerang Giri Kedaton. Perlu dijelaskan bahwa gelar Prabu Satmata adalah sindirian dan barangkali penghinaan terhadap Hindu yang menyembah dewa bermata tiga yakni Siwa. Kemudian Sunan Ampel, mahaguru para Wali Songo memintakan ampun pada Brawijaya yang kemudian membebaskan Sunan Giri. Sunan Ampel pun berfatwa bahwa umat Islam dilarang menyerang Majapahit. Konflik atas nama agama pun mereda, tetapi diam-diam kubu putihan menyebarkan paham radikal bahwa Nusantara (baca: Jawa) harus Islam. Pendek cerita, Sunan Ampel meninggal dunia. Brawijaya telat menyadari bahwa wilayah Demak yang dipercayakan pada anaknya sendiri, Raden Fatah, telah menjadi markas islam putihan yang dipakai pematangan rencana penghancuran Majapahit.
Kehancuran Majapahit alias keberhasilan islam putihan akan rencananya tidak membuat Nyai Ampel senang, malahan marah karena menilai Raden Fatah melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal; menyerang raja selaku imam resmi semua golongan, melanggar fatwa Sunan Ampel dan mengusir bapaknya sendiri yakni Brawijaya V.

Islam dan Indonesia
Kejadian di atas agaknya ada kemiripan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Yakni islam nampak pecah, ada yang berjihad membela alqur’an dan ada yang diam berdoa kedamaian. Sangat disayangkan karena beberapa kubu perpecahan saling berpendapat benar bahkan saling menghina. Di kubu “jihad” mengatakan bahwa wajib ikut aksi membela alqur’an bahkan ada yang sampai mengatai yang tidak iku sebagai pembela kafir. Di kubu “damai” mengatakan bahwa semuanya salahpaham; tidak ada penistaan alqur’an dan sangat disayangkan sampai mengatai yang aksi adalah islam kurang ngaji. Maaf, bahwa tidak ada niatan memperkeruh suasana dan menggeneralisasikan kubu ataupun memecah islam.
Bagi saya pribadi, tidak ada yang salah dan juga tidak ada yang benar karena memang tidak ada neraca benar-salah yang disepakati. Artinya, yang bagi kita benar belum tentu benar bagi yang lainnya. Salah satu faktor perpecahan memanglah salahpaham dan keterburu-buruan. Bagi yang berangkat aksi membela alqur’an, mungkin sebelumnya sibuk bekerja, kuliah, dsb sampai tak sempat membaca dari akarnya bahwa tidak ada unsur penistaan alqur’an oleh Ahok yang mengatakan “dibohongin pakai almaidah” dan videonya diunnga Yani dan ditranskip “dibohongi almaidah” bahkan dengan judul bombastis yakni “Penistaan Agama?”. Terlepas ini sengaja atau tidak tetapi itulah akar permasalahannya. Bayangkan, saudara muslim yang tak sempat mengaji permasalahan tiba-tiba diajak aksi dengan nama bela alqur’an ataupun bela agama, “ayo ikut aksi bela alqur’an”, kemudian bayangkan mereka kaget dan kebingungan, “Loh ada apa kok membela alqur’an/ membela agama?”, bayangkan lagi dijawab “Ahok menistakan alqur’an, menghina almaidah. Kita harus ke Jakata aksi membela alqur’an”. Gerakan yang besar dan pemberitaan yang gencar mungkin takkan membuat mereka berpikir dua kali untuk membaca permasalahan. Terpenting adalah jihad membela alqur’an membela agama.
Gambar yang dibagikan salah satu pengguna Facebook.
Sedang yang barangkali agak nganggur, sempat membaca ulang permasalahan. Lah wong ternyata ada kesalapahaman karena di video dan di transkipan tidaklah sama. Maka, mereka berpikir bahwa tak perlu ikut aksi karena memang ada kesalapahaman. Banyak yang menduga di balik aksi ada beberapa kepentingan khususnya kepentingan politik persaingan pilkada Jakarta. Dan barangkali seperti gambar yang saya ceritakan ada kepentingan arabisasi yakni mengarabkan suatu wilayah. Perlu diingat kembali bahwa misi Nabi itu akhlak dan islam sendiri adalah agama keselamatan. Artinya siapa yang akhlaknya baik adalah orang yang islami dan akan selamat (islam). Maka, orang islam bukanlah yang selalu memakai jubbah dan bisa berbahasa arab tetapi yang berkahlak islami.
Kesimpulan dari semuanya adalah kita tak usah terburu-buru sehingga melupakan ayat pertama sekaligus perintah pertama Tuhan yakni “bacalah”. Setelah membaca, jangan lupa diobrolkan dengan teman dan kalaupun bisa, dengan para ahli. Aku ingat kata seorang teman yang adalah seorang santri mengatakan bahwa kiyai-kiyai di wilayah bekas kerajaan Majapahit itu banyak yang berhasil memahami islam termasuk ketauhidan islam, sedang di luar wilayah itu kiyai-kiyai hanya sibuk berbicara fiqih; hukum halal-haram. Ingatkah kita dengan pertanyaan Gus Dur yang kurang lebih berbunyi “Apakah Nabi Muhammad akan tetap memakai jubah jika hidup di zaman sekarang atau malah memakai jas?”. Bagi saya, Gus Dur menyampaikan pesan bahwa Islam dan Arab itu perlu dibedakan. Kita pun diingatkan Nusron Wahid bahwa kita ini orang Indonesia yang Bergama Islam bukan orang Islam yang ada di Indonesia.
Maka, yang perlu diproses hukum adalah Yani selaku pentranskip video Ahok, bukan Ahoknya kecuali jadi saksi. Terima kasih Indonesia, ibu pertiwi yang terus menyusui kami-anakmu yang sedang salahpaham-jangan bosan-bosan menyusui kami, Bu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar