Kamis, 03 November 2016

ALQUR’AN; BACAAN BUKAN CENDERAMATA PAJANGAN


Saya mengagumi segala kitab suci yang tentunya sangat sastrawi. Terutama yang paling saya kenal di antara beberapa kitab suci adalah Alqur’an. Sejak lahir saya sudah diyakini dan diyakinkan beragama Islam dengan kitab suci bernama Alqur’an. Saya masih sangat ingat betul, di kala kecil setiap selesai magrib saya mesti ke sebuah pondokan untuk melakukan ritual ngaji. Mulai dari pelajarn Kiroati sampai Alqur’an. Kiroati adalah kajian tentang cara mengeja alqur’an; mengenal huruf hijaiyah, harakat, dsb. sedangkan alqur’an adalah kajian tentang cara membacanya; mempelajari ilmu tajwid. Oleh karenanya, kampungku seolah mempunyai hukum bahwa tidak diperkenankan setelah magrib ada TV yang menyala. Saat itu kira-kira tahun 2000-an. Saya mengenal alqur’an sebagai suatu kitab yang sangat sangat sangat dimuliakan. Memegangnya saja, kami mesti melakukan ritual wudhu, lalu harus duduk bersila dan tidak diperkenankan membaca sambil tiduran dsb. dst.

Pendefinisian Alqur’an
Alqur’an diyakini sekian juta bahkan miliar umat sebagai wahyu terbesar Nabi Muhammad SAW yang diturunkan secara berangsur (sesuai kebutuhan Nabi dan umat). Semua sepakat bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah ikrok yang artinya bacalah. Alqur’an sendiri berarti bacaan yang tidak sembarang bacaan karena memakai alif dan lam sebagai idofah (spesifikasi). Maka, yang dimaksud Alqur’an adalah ayat-ayat (baca: bacaan) yang diturunkan sebagai wahyu Nabi Muhammad bukan bacaan lain yang meski diucapkan Nabi Muhammad. Jadi idofah (alif dan lam pada lafad alqur’an) memberikan spasi antara kalam yang diucapkan Nabi Muhammad sebagai alqur’an dan selainnya yang dikenal dengan sebutan hadist. Perlu saya sampaikan pula, bahwa alqur’an diyakini sebagai kalam Allah yang kemudian disampaikan Nabi Muhammad karenanya dikatakan sebagai kalam suci atau kitab suci. Bahkan sangat suci.
Dalam dunia perkuliahan, hal ini sering disinggung antara perdebatan dua golongan yakni Ahlusunna Waljamaah yang mengatakan bahwa alqur’an adalah kalam dan golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa alqur’an adalah makhluk. Sebenarnya semua itu tak perlu diperdebatkan karena memang kacamata yang dipakai dua golongan itu berbeda. Ahlusunna melihat alquran dengan kacamata nahwu yakni mengutip ilmu dasar dalam kitab Imriti bahwasannya alkalamu huwa lafdzul murokabul mufidu bil wad’i (kalam adalah lafadz yang tersusun dan memberikan faedah secara sengaja). Sedang Muktazilah memakai kacamata tauhid bahwasannya yang dinamakan makhluk adalah selain Allah (almakhluku huwa maa siwallah). Jadi sebelum berdebat dan fanatik pada pendapat pribadi atau golongan, kita sebaiknya melihat segalanya termasuk konteks yang dibicarakan.
Alqur’an sangatlah unik bahwa membacanya saja kita sudah mendapat pahala. Tetapi kebanyakan orang melihat kalimat tersebut sebagai pegangan hidupnya dengan alqur’an, yakni cukup membacanya saja tak usah memahaminya karena barangkali itu tugas ustadz, kiyai, habib dsb. dst. sedang kita yang meyakini diri sebagai awam cukuplah membaca dan mencintainya agar mendapatkan syafaat (keyakinan orang Islam adalah alqur’an bisa memberikan syafaat atau keselamatan di hari kiamat nanti). Kegelishan semacam ini pernah dituliskan Kartini dalam suratnya bahwa ia tak mau jika hanya membaca alqur’an tanpa boleh memahaminya. Memang dari memahami itu bakal muncul yang namanya cinta. Lalu apakah mungkin kita bisa mencintai alqur’an tanpa memahami isinya? Manusia diberi akal sebagai bekal yang paling berharga dalam hidupnya. Seperti sifatnya, akal dikenal melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda karenanya Nabi Muhammad menyampaikan bahwa ikhtilafu ummati rohmatun (perbedaan umatku adalah rahmat). Bagi saya, hadist ini adalah ejawantah dari islam sebagai rohmatan lilalamin (rahmat seluruh alam). Maka, islam mengajarkan yang namanya toleransi. Ini searah dengan tugas nabi sebagai penyempurna akhlak. Nabi Muhammad memberikan teladan bagi seluruh umat dengan segala akhlaknya sperti cerita di mana saat Nabi Muhammad diludahi dan disakiti selalu membalasnya dengan doa dan doa. Itulah kesempurnaan akhlak. Barangkali mengalah adalah kemenangan sejati sebab dengan mengalah kita tidak pernah benar-benar kalah.

Realita Alqur’an
Hari ini, diprediksikan bakal ada jutaan muslim yang ke Jakarta menggelar demo membela alqur’an. Seperti yang kita ketahui bersama, Gubernur Jakarta yang akrab disapa Ahok tertuduh melakukan tindakan penistaan alqur’an yang membesar menjadi penistaan agama (baca: Islam). Pada paragraf awal, kita telah mendefinisikan alqur’an sebagai kitab suci yang berisi bacaan-bacaan. Dan perintah Allah yang pertama adalah ikrok (bacalah) bukan lainnya. Artinya, jika alqur’an diyakini sebagai kitab suci agama Islam, maka umat islamlah yang berkewajiban membacanya. Seharusnya, tingkat ketaqwaan Islam sendiri berpedoman pada perintah pertama Tuhannya. Barangkali ikrok itu perlu dijabarkan lagi. Ejawantah ikrok akan memberikan tingkatan-tingkatan seperti mislanya: 1) manusia yang hanya mambaca, 2) manusia yang membaca dan memahami, 3) manusia membaca dan memahami juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sekarang, kita mencoba mendefinisikan kata nista sebagai akar penistaan dan menistakan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 1976 yang disusun W.J.S. Poerwadarminta, nista adalah aib atau cela. Sedang menistakan berarti mengaibkan, mencela, mengumpat ataupun menghina. Maka, disimpulkan bahwa penistaan adalah penghinaan. Kita coba membuat simpulan anatara hubungan kata nista dengan alqur’an. Alqur’an sebagai bacaan apakah akan terhina/ ternista/ teraib dengan penafsiran? Bukankah laku menafsiri adalah laku memahami bacaan yang artinya kita tentu membaca dahulu sebelum menafsiri? Dan izinkan saya bertanya satu hal dan tolong jawablah sendiri dalam hati yang terdalam:
Siapa yang lebih menghina alqur’an sebagai kitab suci antara orang yang membaca dan menafsirinya meski salah atau orang yang tidak pernah membacanya sama sekali sedang alqur’an adalah bacaan-bacaan?
Saya sangat yakin hampir di setiap rumah yang keluarganya beragamakan Islam ada beberapa kitab suci alqur’an dan di hampir setiap masjid ada pula beberapa alqur’an bahkan puluhan. Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah apakah semua itu terbaca? Barangkali kita perlu menginsyafi bahwa ayat pertama Tuhan adalah perintah membaca dan barangkali agar alqur’an tidak sia-sia dalam artian akan terus ada sebagai bacaan yang membimbing manusia menjalani hidup. Aqur’an adalah bacaan bukan cenderamata dari Tuhan untuk sekedar pajangan kitab suci.
Apa yang sudah terjadi patut dipelajari (baca: dibaca) sebagai pengetahuan tambahan dengan mengambil hikmah-hikmahnya. Kepada Ahok, petama secara santun aku ucapkan terima kasih karena dengan perantara dirimu dipermasalahkan seperti sekarang ini, aku yakin ada jutaan manusia yang ngaji setidaknya satu ayat almaidah saja (ayat 51). Artinya, ada jutaan manusia yang menjalankan perintah pertama Tuhan yakni ikrok. Kedua, ambil hikmahnya dan jangan lagi membawa agama dalam dunia politik meskipun lawan-lawanmu membawa, sebab politik adalah dunia kotor dan agama adalah dunia suci tetapi terima kasih kau telah berlaku islami dengan membaca alqur’an, menafsiri dan meminta maaf atas tafsiran yang dipermasalahkan. Bagi saya, itu sudah sangat islami dan tak ada alasan untuk tidak memaafkanmu sekalipun bagi sebagian orang itu kesalahan yang fatal.
Aku rindu almarhum Gus Dur, yang suka sekali mengatakan “Gitu aja kok repot” sekalipun pada hal-hal yang dianggap serius. Dan saya yakin, kalimat Gus Dur itu juga tak kalah serius dibandingkan keseriusan manapun jika dibaca dan dipahami. Biar kutipan darinya yang mengakiri tulisan ini “Semua agama mengajarkan pesan damai tetapi kaum ekstrimis memutarbalikannya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar