Saya
mengagumi segala kitab suci yang tentunya sangat sastrawi. Terutama yang paling
saya kenal di antara beberapa kitab suci adalah Alqur’an. Sejak lahir saya
sudah diyakini dan diyakinkan beragama Islam dengan kitab suci bernama Alqur’an.
Saya masih sangat ingat betul, di kala kecil setiap selesai magrib saya mesti
ke sebuah pondokan untuk melakukan ritual ngaji.
Mulai dari pelajarn Kiroati sampai Alqur’an. Kiroati adalah kajian tentang cara
mengeja alqur’an; mengenal huruf hijaiyah, harakat, dsb. sedangkan alqur’an
adalah kajian tentang cara membacanya; mempelajari ilmu tajwid. Oleh karenanya, kampungku seolah mempunyai hukum bahwa
tidak diperkenankan setelah magrib ada TV yang menyala. Saat itu kira-kira
tahun 2000-an. Saya mengenal alqur’an sebagai suatu kitab yang sangat sangat
sangat dimuliakan. Memegangnya saja, kami mesti melakukan ritual wudhu, lalu
harus duduk bersila dan tidak diperkenankan membaca sambil tiduran dsb. dst.
Pendefinisian Alqur’an
Alqur’an
diyakini sekian juta bahkan miliar umat sebagai wahyu terbesar Nabi Muhammad
SAW yang diturunkan secara berangsur (sesuai kebutuhan Nabi dan umat). Semua sepakat
bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah ikrok
yang artinya bacalah. Alqur’an sendiri berarti bacaan yang tidak sembarang
bacaan karena memakai alif dan lam sebagai idofah (spesifikasi). Maka, yang dimaksud Alqur’an adalah ayat-ayat
(baca: bacaan) yang diturunkan sebagai wahyu Nabi Muhammad bukan bacaan lain
yang meski diucapkan Nabi Muhammad. Jadi idofah
(alif dan lam pada lafad alqur’an) memberikan spasi antara kalam yang diucapkan Nabi Muhammad sebagai
alqur’an dan selainnya yang dikenal dengan sebutan hadist. Perlu saya sampaikan pula, bahwa alqur’an diyakini sebagai kalam Allah yang kemudian disampaikan
Nabi Muhammad karenanya dikatakan sebagai kalam
suci atau kitab suci. Bahkan sangat suci.
Dalam
dunia perkuliahan, hal ini sering disinggung antara perdebatan dua golongan
yakni Ahlusunna Waljamaah yang mengatakan bahwa alqur’an adalah kalam dan golongan Muktazilah yang
mengatakan bahwa alqur’an adalah makhluk.
Sebenarnya semua itu tak perlu diperdebatkan karena memang kacamata yang
dipakai dua golongan itu berbeda. Ahlusunna melihat alquran dengan kacamata nahwu yakni mengutip ilmu dasar dalam
kitab Imriti bahwasannya alkalamu huwa
lafdzul murokabul mufidu bil wad’i (kalam adalah lafadz yang tersusun dan
memberikan faedah secara sengaja). Sedang Muktazilah memakai kacamata tauhid
bahwasannya yang dinamakan makhluk adalah selain Allah (almakhluku huwa maa siwallah). Jadi sebelum berdebat dan fanatik pada
pendapat pribadi atau golongan, kita sebaiknya melihat segalanya termasuk
konteks yang dibicarakan.
Alqur’an
sangatlah unik bahwa membacanya saja kita sudah mendapat pahala. Tetapi kebanyakan
orang melihat kalimat tersebut sebagai pegangan hidupnya dengan alqur’an, yakni
cukup membacanya saja tak usah memahaminya karena barangkali itu tugas ustadz,
kiyai, habib dsb. dst. sedang kita yang meyakini diri sebagai awam cukuplah
membaca dan mencintainya agar mendapatkan syafaat
(keyakinan orang Islam adalah alqur’an bisa memberikan syafaat atau keselamatan di hari kiamat nanti). Kegelishan semacam
ini pernah dituliskan Kartini dalam suratnya bahwa ia tak mau jika hanya
membaca alqur’an tanpa boleh memahaminya. Memang dari memahami itu bakal muncul
yang namanya cinta. Lalu apakah mungkin kita bisa mencintai alqur’an tanpa
memahami isinya? Manusia diberi akal sebagai bekal yang paling berharga dalam
hidupnya. Seperti sifatnya, akal dikenal melahirkan pemikiran-pemikiran yang
berbeda karenanya Nabi Muhammad menyampaikan bahwa ikhtilafu ummati rohmatun (perbedaan umatku adalah rahmat). Bagi saya,
hadist ini adalah ejawantah dari
islam sebagai rohmatan lilalamin
(rahmat seluruh alam). Maka, islam mengajarkan yang namanya toleransi. Ini searah
dengan tugas nabi sebagai penyempurna akhlak. Nabi Muhammad memberikan teladan
bagi seluruh umat dengan segala akhlaknya sperti cerita di mana saat Nabi
Muhammad diludahi dan disakiti selalu membalasnya dengan doa dan doa. Itulah kesempurnaan
akhlak. Barangkali mengalah adalah kemenangan sejati sebab dengan mengalah kita
tidak pernah benar-benar kalah.
Realita Alqur’an
Hari
ini, diprediksikan bakal ada jutaan muslim yang ke Jakarta menggelar demo
membela alqur’an. Seperti yang kita ketahui bersama, Gubernur Jakarta yang
akrab disapa Ahok tertuduh melakukan tindakan penistaan alqur’an yang membesar
menjadi penistaan agama (baca: Islam). Pada paragraf awal, kita telah
mendefinisikan alqur’an sebagai kitab suci yang berisi bacaan-bacaan. Dan perintah
Allah yang pertama adalah ikrok
(bacalah) bukan lainnya. Artinya, jika alqur’an diyakini sebagai kitab suci
agama Islam, maka umat islamlah yang berkewajiban membacanya. Seharusnya,
tingkat ketaqwaan Islam sendiri berpedoman pada perintah pertama Tuhannya. Barangkali
ikrok itu perlu dijabarkan lagi. Ejawantah
ikrok akan memberikan tingkatan-tingkatan seperti mislanya: 1) manusia yang
hanya mambaca, 2) manusia yang membaca dan memahami, 3) manusia membaca dan memahami
juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sekarang,
kita mencoba mendefinisikan kata nista sebagai akar penistaan dan menistakan. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 1976 yang disusun W.J.S. Poerwadarminta,
nista adalah aib atau cela. Sedang menistakan berarti mengaibkan, mencela,
mengumpat ataupun menghina. Maka, disimpulkan bahwa penistaan adalah
penghinaan. Kita coba membuat simpulan anatara hubungan kata nista dengan alqur’an.
Alqur’an sebagai bacaan apakah akan terhina/ ternista/ teraib dengan
penafsiran? Bukankah laku menafsiri adalah laku memahami bacaan yang artinya
kita tentu membaca dahulu sebelum menafsiri? Dan izinkan saya bertanya satu hal
dan tolong jawablah sendiri dalam hati yang terdalam:
Siapa
yang lebih menghina alqur’an sebagai kitab suci antara orang yang membaca dan
menafsirinya meski salah atau orang yang tidak pernah membacanya sama sekali
sedang alqur’an adalah bacaan-bacaan?
Saya
sangat yakin hampir di setiap rumah yang keluarganya beragamakan Islam ada beberapa
kitab suci alqur’an dan di hampir setiap masjid ada pula beberapa alqur’an
bahkan puluhan. Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah apakah semua itu
terbaca? Barangkali kita perlu menginsyafi bahwa ayat pertama Tuhan adalah
perintah membaca dan barangkali agar alqur’an tidak sia-sia dalam artian akan
terus ada sebagai bacaan yang membimbing manusia menjalani hidup. Aqur’an
adalah bacaan bukan cenderamata dari Tuhan untuk sekedar pajangan kitab suci.
Apa
yang sudah terjadi patut dipelajari (baca: dibaca) sebagai pengetahuan tambahan
dengan mengambil hikmah-hikmahnya. Kepada Ahok, petama secara santun aku
ucapkan terima kasih karena dengan perantara dirimu dipermasalahkan seperti
sekarang ini, aku yakin ada jutaan manusia yang ngaji setidaknya satu ayat almaidah
saja (ayat 51). Artinya, ada jutaan manusia yang menjalankan perintah pertama
Tuhan yakni ikrok. Kedua, ambil
hikmahnya dan jangan lagi membawa agama dalam dunia politik meskipun lawan-lawanmu
membawa, sebab politik adalah dunia kotor dan agama adalah dunia suci tetapi
terima kasih kau telah berlaku islami dengan membaca alqur’an, menafsiri dan
meminta maaf atas tafsiran yang dipermasalahkan. Bagi saya, itu sudah sangat
islami dan tak ada alasan untuk tidak memaafkanmu sekalipun bagi sebagian orang
itu kesalahan yang fatal.
Aku
rindu almarhum Gus Dur, yang suka sekali mengatakan “Gitu aja kok repot” sekalipun pada hal-hal yang dianggap serius. Dan
saya yakin, kalimat Gus Dur itu juga tak kalah serius dibandingkan keseriusan
manapun jika dibaca dan dipahami. Biar kutipan darinya yang mengakiri tulisan
ini “Semua agama mengajarkan pesan damai tetapi kaum ekstrimis
memutarbalikannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar