Kamis, 03 November 2016

SEMACAM ISLAMISASI SASTRA




Seperti biasa, saya ingin berbagi kegelisahan dalam sebuah tulisan. Hari ini saya mengikuti Kuliah Kesusastraan Bandingan XIX yang merupakan acara rutin tahunan Majelis Sastra Asia Tenggara (Masetra) dan kali ini bekerjasama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud juga Universitas Islam Malang (Unisma). Ada tiga pembicara yakni Prof. Dato’ Dr. Haji Hashim bin Awang (Pakar Sastra Bandingan Malaysia), Dr. M. Misbahul Amri (Pakar Sastra dan Dosen Universitas Negeri Malang) dan Dr. Ganjar Harimansyah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Mastera Indonesia).
Pembicara pertama, Ganjar berbicara panjang lebar tentang Mastera semacam memperkenalkan diri (baca: Mastera) pada peserta kuliah. Mulai dari sejarah sampai program-program yang tentunya bermanfaat seperti pelatihan menulis puisi, novel, esai dst. dsb.
Sastra dan Agama
Pembicara kedua, Datok berbicara tentang sastra dan islam. Ia pun memberi peserta makalah yang berjudul Teori Pengkaedahan Melayu dan Prinsip Penerapannya. Judul sangat biasa dan akademis tetapi ketika membaca isinya, ada semacam islamisasi sastra khusunya sastra Melayu. Seolah-olah mengklaim bahwasannya sastra Melayu bernafaskan islam. Seperti yang tetrulis pada halaman kedua pada makalahnya:
“Kesusastraan Melayu membentuk dirinya dengan berdasarkan tiga teras utama yang amat keMelayuan dan keIslaman. Ketiga-tiga teras itu dapat disebutkan sebagai teras kebajikan, teras ketaqwaan dan teras ketatasusilaan. Ketiga-tiga teras ini menjiwai kesusastraan tersebut pada tahap paling asas dan asli, yang berdasarkan sepenuhnya kepada nilai dan aqidah agama Islam yang menjadi anutan pengarang dan masyarakat Melayu.”
Bagi saya, ada kerancuan bahasa yang mesti diperjelas terlebih dahulu sebelum berbicara jauh prihal sastra, Islam dan Melayu. Seperti, yang dimaksud sastra Melayu itu apakah karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu atau semua karya sastra yang ditulis bangsa Melayu? Karena bakal ada perbedaan yang signifikan jika masing-masing dijabarkan. Kemudian, perlu pendalaman sejarah masuknya Islam pada bangsa Melayu karena dalam Jawa (yang termasuk wilayah bagian Nusantara atau Indonesia yang dikategorikan Melayu) menerima Islam pada abad kesekian sesudah berkembangnya agama Siwa, Siwa Buda, Hindu dan Budha. Dalam masa sebelum Islam datangpun, masyarakat Nusantara sudah bersastraria dengan pelbagai kitab, kidung, suluk, serat, dsb. Maka, bagi saya pribadi, kuliah kali ini terkesan terburu-buru menyimpulkan hubungan ketiga kata tersebut; sastra, Melayu dan Islam.
Kerancuan lainnya, tentunya bagi saya pribadi, adalah teori pengkaedahan yang mana dijelaskan ada dua teori yakni pengkaedahan alamiah dan agama. Pengkaedahan alamiah adalah pengkaedahan yang menyimpulkan bahwa alam adalah karya dan berisi tiga hal yakni pertama, gunaan  bahwa ada manfaat/ faedah menyediakan keperluan/ kemanfaatan, yang bercirikan tahu/ kenal/ sedar. Kedua, moral bahwa suatu kegiatan, pengalaman dan penghasilan yang boleh menambah/ memberi/ memperluaskan pengalaman serta pengetahuan, yang bercirikan teroka/ jelajah/ pandang jauh/ pengilmuan. Dan ketiga, firasat bahwa suatu kegiatan pengalaman yang mengandungi makna; terolah dengan cara yang khas; ada bentuk, indah dan metafora, yang bercirikan ta’kul/ menung/ fikir.
Sedang pengkaedahan agama yang menyimpulkan bahwa karya sastra Melayu adalah kegiatan yang berlandaskan kepada cara hidup beragama, tata cara dan tata tertib. Dalam pengkaedahan ini pun ada tiga bagian yakni dakwah, sosial/ masyarakat dan seni/ estetika. Pertama, dakwah  bahwa karya adalah alat memuliahkan/ mengagungkan Tuhan ‘Allah’ dan agama Islam, yang bercirikan unsur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan agama. Kedua, sosial/ masyarakat  bahwa karya adalah gamabaran hidup manusia bermasyarakat, yang bercirikan hubungan antara manusia dengan manusia, masyarakat, budaya, ekonomi, politik dan dunia luar. Ketiga, seni/ estetika bahwa karya adalah ciptaan yang berbentuk indah/ halus/ sempurna; ada sifat tersendiri, yang bercirikan hubungan antara karya dengan ciptaan-ciptaan Allah dalam alam.
Saya sebut kerancuan khususnya bagi saya pribadi karena kegagalan dalam memahami pembagian kaedah antara agama dan alam. Bagi saya, semua bagian dalam masing-masing kaedah sangat agamis yakni dalam kaedah agama misalnya, ciri bagian dakwah adalah ejawantah dari khablum minallah, sedang sosial/ masyarakt dan seni/ estetika adalah ejawantah dari khablum minannas (atau makhluk lainnya selain manusia karena dalam ilmu tauhid ada sebuah kalimat yang berbunyi almakhluk huwa maa siwallah yakni makhluk adalah selain Allah). Dalam kaedah alamiah, ada gunaan yang bercirikan kemanfaatan yang bagi saya adalah ejawantah dari syukur, moral yang tentu ejawantah dari akhlak (misi Nabi Muhammad) dan firasat yakni ejawantah dari tafakkur. Lalu berdasarkan apa pembagian teori pengkaedahan antara agama dan alamiah? Bagi saya pribadi ada semacam pemaksaan yang gagal dalam laku memandang sastra dengan teropong agama.
Kalaupun sastra dipandang dengan teropong agama, nanti bakal ada kerancuan nilai moralitas pada karya sastra. Misalnya pada cerita runtuhnya Majapahit, Raden Fatah tidak akan dikatakan sebagai anak durhaka meski menyerang ayahnya sendiri begitupun Raden Kian Santang yang menyerang Siliwangi. Keduanya bebas dari kata durhaka karena semua dilakukan atas nama agama. Itu jika dilihat dari teropong agama, padahal akan merusak makna durhaka secara umum yakni siapapun yang melawan orang tuanya.
Sastra dan Sejarah
Pembicara ketiga, berbicara prihal jati diri bangsa. Ia memberi peserta makalah dengan judul Kajian Sastra Bandingan: Mewujudkan Jati Diri Bangsa. Ada beberapa hal yang kusepakati dari apa yang disampaikan tetapi ada pula yang mesti kupertanyakan dulu sebelum menyepakatinya. Amri menyampaikan bahwa Jawa dan India punya cerita sendiri-sendiri seperti Mahabarata dengan bukti ada beberapa petilasan. Ada petilasan Puntodewo di Demak yang mana diceritakan Puntodewo mencari Sunan Kalijaga karena tidak akan mati sebelum menemukan yang namanya Kalimosodo. Lalu di Kediri ada petilasan Mayangkoro yakni nama lain Hanuman, dewa yang diagungkan di India.
Aku sepakat dengannya bahwa India dan Jawa punya cerita masing-masing. Selain bukti adanya petilasan adalah bukti sejarah yang mana diceritakan bahwa Jawa dan India dulu satu kepulauan yang masih bernamakan Jawa Dwipa (sekarang Jawa) dan Jambu Dwipa (sekarang India). Dalam cerita pun, Jawa lebih kaya karena adanya lakon tambahan seperti Semar dan Togog. Dan aku tidak sepakat karena Amri sendiri bagi saya terkesan ada unsur “islamisasi” dengan mengatakan Puntodewo tidak bisa mati tanpa Kalimosodo dan tidak mengatakan versi lainnya. Jika ingin berbicara petilasan, kenapa tidak mengkaji wilayah Kejawen yang akrab dengan laku bertapa. Di gunung Arjuno Pasuruan, malah ada banyak petilasan jika hanya ingin menegaskan pada cerita Mahabarata. Jika lewat jalur pendakian Purwosari, kita bakal menemui petilasan Ibu Kunti (ibu pandawa lima) di pos kedua bahkan lengkap dengan petilasan gurunya yakni Eyang Abiyoso. Di pos ketiga ada petilasan Eyang Semar dan di sekitar Sepilar atau pos terakhir ada sumber Widodaren yakni petilasan Arjuno yang diceritakan saat bertapa digoda bidadari dan sumber Derajat yang dekat dengan petilasan Bima.
Selain itu, secara tidak langsung pembicara menduga bahwa Salman Rushdie dalam novelnya Haroen and the Sea of Stories terinsipirasi alqur’an dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Lagi-lagi semacam ada pemaksaan menyambungkan agama dengan sastra. Sejauh saya memahami novel-novel Salman Rusdhie adalah dia memakai imajinasi anak-anak yang terkesan menuliskan cerita semaunya. Mislanya, ada tokoh yang kembar namanya, Tapi, Tappi, Tapipun dsb dalam novel yang disebutkan di atas. Di lain novelnya yang berjudul Luka, ia memainkan imajinasi kita dengan tokoh hewan yang satu adalah seekor anjing dengan nama Beruang dan seekor beruang dengan nama Anjing. Dalam Luka tanpa disadari ada isi yang seperti guyonan memperdebatkan anatara kematian dan ketiadaan. Bahwa ada manusia yang tidak ketemu kematian, ia ketemu ketiadaan. Dalam agama Islam, ini bisa dipaksakan sebagai ejawantah lafadz innalillahi wainna ilaihi rojiun. Dalam agama Hindu, ini bisa dikatakan sebagai ejawantah mokhsa. Dalam Kejawen bisa sebagai ejawantah Manunggaling Kawulo Gusti. Bahwasannya manusia kembali pada asalnya.
Maka, bagi saya pribadi, kita terlalu terburu-buru berbicara jauh tentang sastra, Melayu dan agama. Kita tidak berangkat dari pendefinisian untuk spesifikasi maksud perkata. Itu memang kebiasaan kita, berbicara dan berdebat tanpa pendefinisian ulang. Afrizal Malan pada bukunya Dalam Rahim Ibuku Tidak Ada Anjing mengakui bahwa saya memakai bahasa yang telah kehilangan akar budayanya. Kerja mencari akar kata bahasa pernah dilakukan Remy Sylado alias Alif Danyah Munsi alias Yapi Tambayong dan dibukukan dalam 9 dari 10 Bahasa Indonesia Adalah Asing.
Tetapi bagaimanapun, saya mesti ucapkan terima kasih pada para pembicara yang berbagi ilmu di kuliah kali ini. Saya sengaja tidak bertanya pada forum karena saya tidak berniat mengikuti kuliah juga memberikan kesempatan pada peserta yang jauh-jauh missal Ambon, Madura, Jakarta, dsb. Bagi saya, karya sastra bisa saja islami tetapi sampai kapanpun karya sastra tidak beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar