Seperti
biasa, saya ingin berbagi kegelisahan dalam sebuah tulisan. Hari ini saya
mengikuti Kuliah Kesusastraan Bandingan XIX yang merupakan acara rutin tahunan
Majelis Sastra Asia Tenggara (Masetra) dan kali ini bekerjasama dengan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud juga Universitas Islam Malang
(Unisma). Ada tiga pembicara yakni Prof. Dato’ Dr. Haji Hashim bin Awang (Pakar
Sastra Bandingan Malaysia), Dr. M. Misbahul Amri (Pakar Sastra dan Dosen
Universitas Negeri Malang) dan Dr. Ganjar Harimansyah (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Mastera Indonesia).
Pembicara
pertama, Ganjar berbicara panjang lebar tentang Mastera semacam memperkenalkan diri
(baca: Mastera) pada peserta kuliah. Mulai dari sejarah sampai program-program
yang tentunya bermanfaat seperti pelatihan menulis puisi, novel, esai dst. dsb.
Sastra dan Agama
Pembicara
kedua, Datok berbicara tentang sastra dan islam. Ia pun memberi peserta makalah
yang berjudul Teori Pengkaedahan Melayu dan Prinsip Penerapannya. Judul sangat
biasa dan akademis tetapi ketika membaca isinya, ada semacam islamisasi sastra
khusunya sastra Melayu. Seolah-olah mengklaim bahwasannya sastra Melayu
bernafaskan islam. Seperti yang tetrulis pada halaman kedua pada makalahnya:
“Kesusastraan Melayu membentuk
dirinya dengan berdasarkan tiga teras utama yang amat keMelayuan dan keIslaman.
Ketiga-tiga teras itu dapat disebutkan sebagai teras kebajikan, teras ketaqwaan
dan teras ketatasusilaan. Ketiga-tiga teras ini menjiwai kesusastraan tersebut
pada tahap paling asas dan asli, yang berdasarkan sepenuhnya kepada nilai dan
aqidah agama Islam yang menjadi anutan pengarang dan masyarakat Melayu.”
Bagi
saya, ada kerancuan bahasa yang mesti diperjelas terlebih dahulu sebelum
berbicara jauh prihal sastra, Islam dan Melayu. Seperti, yang dimaksud sastra
Melayu itu apakah karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu atau semua karya
sastra yang ditulis bangsa Melayu? Karena bakal ada perbedaan yang signifikan
jika masing-masing dijabarkan. Kemudian, perlu pendalaman sejarah masuknya
Islam pada bangsa Melayu karena dalam Jawa (yang termasuk wilayah bagian
Nusantara atau Indonesia yang dikategorikan Melayu) menerima Islam pada abad
kesekian sesudah berkembangnya agama Siwa, Siwa Buda, Hindu dan Budha. Dalam masa
sebelum Islam datangpun, masyarakat Nusantara sudah bersastraria dengan
pelbagai kitab, kidung, suluk, serat, dsb. Maka, bagi saya pribadi, kuliah kali
ini terkesan terburu-buru menyimpulkan hubungan ketiga kata tersebut; sastra,
Melayu dan Islam.
Kerancuan
lainnya, tentunya bagi saya pribadi, adalah teori pengkaedahan yang mana
dijelaskan ada dua teori yakni pengkaedahan alamiah dan agama. Pengkaedahan alamiah
adalah pengkaedahan yang menyimpulkan bahwa alam adalah karya dan berisi tiga
hal yakni pertama, gunaan bahwa ada
manfaat/ faedah menyediakan keperluan/ kemanfaatan, yang bercirikan tahu/
kenal/ sedar. Kedua, moral bahwa suatu kegiatan, pengalaman dan penghasilan
yang boleh menambah/ memberi/ memperluaskan pengalaman serta pengetahuan, yang
bercirikan teroka/ jelajah/ pandang jauh/ pengilmuan. Dan ketiga, firasat bahwa
suatu kegiatan pengalaman yang mengandungi makna; terolah dengan cara yang khas;
ada bentuk, indah dan metafora, yang bercirikan ta’kul/ menung/ fikir.
Sedang
pengkaedahan agama yang menyimpulkan bahwa karya sastra Melayu adalah kegiatan
yang berlandaskan kepada cara hidup beragama, tata cara dan tata tertib. Dalam pengkaedahan
ini pun ada tiga bagian yakni dakwah, sosial/ masyarakat dan seni/ estetika. Pertama,
dakwah bahwa karya adalah alat memuliahkan/
mengagungkan Tuhan ‘Allah’ dan agama Islam, yang bercirikan unsur hubungan
antara manusia dengan Tuhan dan agama. Kedua, sosial/ masyarakat bahwa karya adalah gamabaran hidup manusia
bermasyarakat, yang bercirikan hubungan antara manusia dengan manusia,
masyarakat, budaya, ekonomi, politik dan dunia luar. Ketiga, seni/ estetika
bahwa karya adalah ciptaan yang berbentuk indah/ halus/ sempurna; ada sifat
tersendiri, yang bercirikan hubungan antara karya dengan ciptaan-ciptaan Allah
dalam alam.
Saya
sebut kerancuan khususnya bagi saya pribadi karena kegagalan dalam memahami
pembagian kaedah antara agama dan alam. Bagi saya, semua bagian dalam
masing-masing kaedah sangat agamis yakni dalam kaedah agama misalnya, ciri
bagian dakwah adalah ejawantah dari khablum
minallah, sedang sosial/ masyarakt dan seni/ estetika adalah ejawantah dari
khablum minannas (atau makhluk
lainnya selain manusia karena dalam ilmu tauhid ada sebuah kalimat yang
berbunyi almakhluk huwa maa siwallah
yakni makhluk adalah selain Allah). Dalam kaedah alamiah, ada gunaan yang
bercirikan kemanfaatan yang bagi saya adalah ejawantah dari syukur, moral yang tentu ejawantah dari akhlak (misi Nabi Muhammad) dan firasat
yakni ejawantah dari tafakkur. Lalu berdasarkan
apa pembagian teori pengkaedahan antara agama dan alamiah? Bagi saya pribadi
ada semacam pemaksaan yang gagal dalam laku memandang sastra dengan teropong
agama.
Kalaupun
sastra dipandang dengan teropong agama, nanti bakal ada kerancuan nilai
moralitas pada karya sastra. Misalnya pada cerita runtuhnya Majapahit, Raden
Fatah tidak akan dikatakan sebagai anak durhaka meski menyerang ayahnya sendiri
begitupun Raden Kian Santang yang menyerang Siliwangi. Keduanya bebas dari kata
durhaka karena semua dilakukan atas nama agama. Itu jika dilihat dari teropong
agama, padahal akan merusak makna durhaka secara umum yakni siapapun yang
melawan orang tuanya.
Sastra dan Sejarah
Pembicara
ketiga, berbicara prihal jati diri bangsa. Ia memberi peserta makalah dengan
judul Kajian Sastra Bandingan: Mewujudkan Jati Diri Bangsa. Ada beberapa hal
yang kusepakati dari apa yang disampaikan tetapi ada pula yang mesti
kupertanyakan dulu sebelum menyepakatinya. Amri menyampaikan bahwa Jawa dan
India punya cerita sendiri-sendiri seperti Mahabarata dengan bukti ada beberapa
petilasan. Ada petilasan Puntodewo di Demak yang mana diceritakan Puntodewo
mencari Sunan Kalijaga karena tidak akan mati sebelum menemukan yang namanya
Kalimosodo. Lalu di Kediri ada petilasan Mayangkoro yakni nama lain Hanuman,
dewa yang diagungkan di India.
Aku
sepakat dengannya bahwa India dan Jawa punya cerita masing-masing. Selain bukti
adanya petilasan adalah bukti sejarah yang mana diceritakan bahwa Jawa dan
India dulu satu kepulauan yang masih bernamakan Jawa Dwipa (sekarang Jawa) dan
Jambu Dwipa (sekarang India). Dalam cerita pun, Jawa lebih kaya karena adanya
lakon tambahan seperti Semar dan Togog. Dan aku tidak sepakat karena Amri
sendiri bagi saya terkesan ada unsur “islamisasi” dengan mengatakan Puntodewo
tidak bisa mati tanpa Kalimosodo dan tidak mengatakan versi lainnya. Jika ingin
berbicara petilasan, kenapa tidak mengkaji wilayah Kejawen yang akrab dengan
laku bertapa. Di gunung Arjuno Pasuruan, malah ada banyak petilasan jika hanya
ingin menegaskan pada cerita Mahabarata. Jika lewat jalur pendakian Purwosari,
kita bakal menemui petilasan Ibu Kunti (ibu pandawa lima) di pos kedua bahkan
lengkap dengan petilasan gurunya yakni Eyang Abiyoso. Di pos ketiga ada
petilasan Eyang Semar dan di sekitar Sepilar atau pos terakhir ada sumber
Widodaren yakni petilasan Arjuno yang diceritakan saat bertapa digoda bidadari
dan sumber Derajat yang dekat dengan petilasan Bima.
Selain
itu, secara tidak langsung pembicara menduga bahwa Salman Rushdie dalam
novelnya Haroen and the Sea of Stories
terinsipirasi alqur’an dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Lagi-lagi semacam ada
pemaksaan menyambungkan agama dengan sastra. Sejauh saya memahami novel-novel
Salman Rusdhie adalah dia memakai imajinasi anak-anak yang terkesan menuliskan
cerita semaunya. Mislanya, ada tokoh yang kembar namanya, Tapi, Tappi, Tapipun
dsb dalam novel yang disebutkan di atas. Di lain novelnya yang berjudul Luka, ia memainkan imajinasi kita dengan
tokoh hewan yang satu adalah seekor anjing dengan nama Beruang dan seekor
beruang dengan nama Anjing. Dalam Luka
tanpa disadari ada isi yang seperti guyonan memperdebatkan anatara kematian dan
ketiadaan. Bahwa ada manusia yang tidak ketemu kematian, ia ketemu ketiadaan. Dalam
agama Islam, ini bisa dipaksakan sebagai ejawantah lafadz innalillahi wainna ilaihi rojiun. Dalam agama Hindu, ini bisa dikatakan
sebagai ejawantah mokhsa. Dalam Kejawen
bisa sebagai ejawantah Manunggaling
Kawulo Gusti. Bahwasannya manusia kembali pada asalnya.
Maka,
bagi saya pribadi, kita terlalu terburu-buru berbicara jauh tentang sastra,
Melayu dan agama. Kita tidak berangkat dari pendefinisian untuk spesifikasi
maksud perkata. Itu memang kebiasaan kita, berbicara dan berdebat tanpa
pendefinisian ulang. Afrizal Malan pada bukunya Dalam Rahim Ibuku Tidak Ada Anjing mengakui bahwa saya memakai
bahasa yang telah kehilangan akar budayanya. Kerja mencari akar kata bahasa
pernah dilakukan Remy Sylado alias Alif Danyah Munsi alias Yapi Tambayong dan
dibukukan dalam 9 dari 10 Bahasa
Indonesia Adalah Asing.
Tetapi
bagaimanapun, saya mesti ucapkan terima kasih pada para pembicara yang berbagi
ilmu di kuliah kali ini. Saya sengaja tidak bertanya pada forum karena saya
tidak berniat mengikuti kuliah juga memberikan kesempatan pada peserta yang
jauh-jauh missal Ambon, Madura, Jakarta, dsb. Bagi saya, karya sastra bisa saja
islami tetapi sampai kapanpun karya sastra tidak beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar