Kamis, 15 Desember 2016

TULISAN TERLAMBAT “PEMIRA UNISMA”




Di hari pemilihan pemimpin, acapkali kita menemui antusiasme masyarakat dalam mendukung dan mendoakan calon-calon. Hal ini kemudian luntur, menjadi hanya ritual formalitas. Masyarakat sudah sekian kali tertipu dan kecewa dalam memilih pemimpin. Visi dan misi tak lagi menjadi kiblat pemimpin terpilih kedepannya. Maka, tahun ke tahun kita tak mampu mengurangi angka golput.
Universitas Islam Malang (Unisma) sebagai pedoman universitas-universitas berlabel “Nahdatul Ulama” se-Indonesia pun tampaknya tak mampu menyajikan contoh “baik” dalam Pemira. Hal yang paling menonjol terlihat adalah kecuekan mahasiswa Unisma dalam mengawal jalannya Pemira. Ini hanya tulisan sederhana yang sumber-sumbernya didapat dari percakapan-percakapan yang tak perlu saya rekam sebab ini bukan investigasi melainkan sekedar opini. Boleh diterima dan sangat boleh ditolak. Sekali lagi, tulisan ini sangat terlambat; terlambat untuk dipikirkan, terlambat untuk dituliskan, terlambat untuk dibagikan tetapi semoga tidak terlambat untuk sekedar dibaca dan dipikirkan ulang.

Realita Pemira
Saat Pemira berlangsung, ada saja suara-suara sederhana yang jika dipahami baik-baik bisa saja hilang kesederhanaannya “Ada acara apa yak kok banyak terop?”, “Ah males milih”, “Belum tahu milih yang mana”, dsb. Kita bisa simpulkan, bahwa mahasiswa memang tak serius memikirkan kepemimpinan di Unisma. Hal ini pun sebaiknya dianggap sebagai tamparan bagi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) selaku “penanggungjawab” Pemira. Pasalnya, suara-suara tersebut memberi kesimpulan lain yakni ketidaktertarikan mahasiswa meramaikan Pemira. Ada dua faktor yang patut diduga; Pertama, Mahasiswa Unisma tidak paham betapa pentingnya Pemira sebagai penentu sosok yang bakal memimpin dan peduli mereka. Meminjam bahasa Soekarno, sosok “Penyambung Lidah” Mahasiswa. Kedua, Mahasiswa Unisma tidak lagi percaya DPM sebagai penyelenggara Pemira.
Kita perlu mengapresiasi tulisan-tulisan Mahasiswa Unisma dalam beberapa blog; Hariono dengan judul Pemira Unisma Berjalan Secara Inkonstitusional (2016) dan Misbahuddin dengan judul Dinamika Kepemimpinan Kampus (2016). Hariono menulis secara rinci daftar kekecewaannya akan penyelenggara Pemira. Meski tulisan terkesan emosional dan tidak terlalu enak dibaca, semoga bisa memberi pemahaman bahwa inti dari tulisannya adalah Pemira pada tanggal 15 Desember 2016 tidak syah secara hukum dengan rangkaian penjelasan. Sedang Misbahuddin menulis secara umum pemahaman ulang akan perpolitikan di kampus yang seharusnya menjadi dunia saing mahasiswa dalam mewujudkan diri sebagai pewujud cita-cita mulia “agen of change” yang diharapkan mampu memberikan perubahan yang lebih baik dengan masing-masing ideologi tetapi kemudian, politik kampus disalahpahami sebagai perebutan posisi strategis. Tulisan, memberi kita pemahaman cara bersaing ala mahasiswa, terkhusus bagi “aktivis luar” atau OMEK yang seringkali menjadi organisasi yang begitu peduli pada kursi kepemimpinan “Presiden Mahasiswa”. Sekali lagi, kita perlu mengapresiasi mereka berdua yang menunjukkan kepeduliaan mereka pada Unisma dengan laku menulis. Barangkali, masih ada tulisan-tulisan lain yang berbicara prihal Unisma.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Unisma pun terbilang cuek mengawal Pemira kali ini. Tahun lalu, kita masih mendapati LPM Fenomena berbagi lembaran Buletin Fenomena (Bulfen) yang berisi tulisan-tulisan calon pemimpin baik lingkup Universitas atau Fakultas. Meski tak semua tulisan bisa diterbitkan terkait izin penulis, setidaknya LPM Fenomena sudah menunjukkan kepeduliannya dalam mengawal Pemira. Kala itu, LPM Fenomena menilai bahwa dengan membaca tulisan-tulisan calon pemimpin, mahasiswa Unisma bisa mengukur “kadar interlektualitas” masing-masing calon. Kita pun tak seharusnya menghakimi LPM Fenomena, sebab ini bukan tugasnya mencakup wilayah Universitas, ini tugas UKM Pers Kanjuruhan yang tidak bisa dihidupkan kembali dengan pelbagai alasan. LPM Fenomena FKIP, LPM MEI FE dan LPM Radix F. Pertanian adalah Pers ligkup fakultas yang disibukkan dengan tuntutan majalah. Semoga UKM Pers Kanjuruhan Unisma bisa hidup kembali dan mengawal kebijakan-kebijakan Unisma demi kemaslahatan bersama.
Dalam tulisan ini pun, saya menyampaikan maaf pada penyelaggar Pemira karena tidak jadi nyoblos. Saya katakana tidak jadi karena kami (saya dan teman-teman kelas) sudah menuju lokasi dan ternyata Pemira sedang break (istirahat duhur) dan kami disuruh menunggu sampai puku 12.00 yang saat itu masih 11.30. Artinya, kami mesti menunggu 30 menit untuk bisa nyoblos. Gila. Itu kesan pertama saya. Pemira yang berlangsung setengah hari saja mesti break untuk waktu duhur. Akhirnya, kami tak jadi nyoblos. Kami pulang ke masing-masing kos sebab kami tak merasa butuh Pemira dan barangkali Pemira pun tak butuh kami. Maka, mungkin kita memang tak saling butuh.

Masa Depan Unisma
Apapun yang telah terjadi, patut kita jadikan pelajaran; ingatan dan peringatan sebagai bekal kedepannya dan siapaun yang terpilih, patut kita dukung dan kawal untuk menuju Unisma yang dicita-citakan. Perlu diketahui, bahwa Unisma didirkan pembaca buku. Sebut, KH. Oesman Mansyur seorang pembaca tekun sampai membuat istrinya cemburu pada buku. Tiada hari tanpa membaca. Indonesia pun diperjuangkan para pembaca buku. Sebut Soekarno, Hatta, Gie, Tan Malaka bahkan mereka pun tak segan untuk berhutang buku.
Laku berbuku membawa mereka pada pemahaman-pemahaman penting. Mereka mampu melihat masa depan dengan berkaca pada sejarah di balik buku-buku. Ideologi masing-masing tak menghalangi satu pemahaman penting bahwa Indonesia haru merdeka! Maka, semoga mahasiswa Unisma lebih tekun membaca terkhusus pemimpin-pemimpin yang dipercaya memberi perubahan yang lebih baik. Barangkali seperti itu.

Daftar Rujukan:

2 komentar:

  1. Sepenggal kata dari Bung Hatta "the right men in the right place" yg masih abu" di Rana kanca mahasiswa terkhusus pemimpin kampua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin pula sebab kegagalan kita beradaptasi dengan lingkungan kampus, atau memang kampus sebenarnya bukanlah tempat yang pas untuk kita.

      Hapus