Tulisan
ini bukan sebuah nasehat atau semacamnya, melainkan permintaan maaf saja. Sebenarnya
seperti itu, tapi entah apa jadinya karena seperti keyakinanku bahwa kata milik
penulis dan makna milik pembaca. Jadi silahkan dimaknai apa saja. Dari lubuk
hati yang terdalam, aku sampaikan mohon maaf karena masih belum bisa memilih
dan mungkin tidak memilih nantinya.
Aku
belum tahu atas dasar apa, aku memilih?
Aku
memang bukan orang yang cerdas dalam hal memilih dan memilah tetapi aku cukup
cerdas untuk memilih kenihilan atau tidak memilih siapapun dan tidak berpihak
manapun. Selain tidak cerdas, aku pun tidak mudah percaya. Tidak saja pada
orang lain, bahkan pada diri sendiri pun aku sering tidak percaya, maksudku
tidak percaya diri.
Aku
tidak bisa terburu-buru untuk memilih dengan hanya membaca visi dan misi
kalian. Kupikir semua yang normal tahu bahwa visi dan misi itu selalu berisikan
kalimat-kalimat baik dan mulia. Karena pemahaman itu pula aku sampai sekarang
belum membaca visi misi kalian dan mohon dimaafkan jika memang menulisnya
dengan penuh keikhlasan.
Aku
tidak bisa terburu-buru untuk memilih dengan hanya menyaksikan perdebatan
kalian. Aku sempat beberapa menit menyaksikan perdebatan dan aku pun sudah
bersiap diri untuk prihatin sebelumnya. Perdebatan hanya bertujuan saling
menjatuhkan. Berbeda dengan musyawarah yang saling menolong yang terjatuh untuk
sama-sama bangkit.
Aku
belum tahu atas dasar apa, aku memilih?
Kenal
pun tidak. Harap makluk karena aku memang bukan aktivis di BEM ataupun DPM, aku
hanya mahasiswa yang suka semua hal tentang puisi; membaca puisi dan menulis
puisi, bukan mahasiswa yang suka kedudukan (baca: politik). Bahkan sampai
sekarang pun aku belum kenal sebatas nama kalian apalagi sikap dan pemikiran.
Aku
sempat menulis puisi, siang ini:
PEMIRA UNISMA
Justru
aku mendukung kalian Capres dan
Cawapres
dengan cara tidak memilih.
Jika
aku memilih salah satu saja, aku menjatuhkan
satu
lainnya. Jika aku memilih keduanya, tentu
sangat
bodoh sekali diriku membuang—
buang
waktu.
Jika
aku memilih nomor satu saja, aku
tak
adil pada nomor dua. Padahal satu dan dua
prihal
urutan saja. Sejatinya mereka saudara sebangsa;
bangsa
angka.
Lalu,
jika aku mesti memilih, atas dasar apa?
Pada
kalian aku bertanya.
Kecerdasan?
Aku tak cukup cerdas menilai kecerdasan kalian.
Kenalan?
Aku tak sama sekali kenal kalian.
Kepercayaan?
Aku seringkali tak percaya diri
apalagi selainku.
Kasihan?
Aku lebih kasihan jika kalian
terpilih.
Rasa-rasanya
memang aku tak ada dasaran untuk memilih
kecuali
hati nurani.
Baiklah.
Akan kutanyakan pada hati nuraniku,
harus
memilih siapa dan jika ia membisu,
aku
janji untuk tetap memilih;
kenihilan.
Itulah
sekelumit puisiku untuk kalian dan siapa saja yang mau membaca. Inti dari
semuanya adalah, aku masih menunggu hati nurani untuk sekedar memutuskan
pilihan. Dengan kata lain, tanpa nurani, siapapun dirimu, apapun visi misimu,
apapun warna benderamu, maaf aku tak berani memilih. Sekali lagi maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar