Sekian
abad lalu, ada petani-petani miskin yang seringkali memanen kuburan untuk tetap
bertahan hidup. Tentu saja, bukan di Indonesia melainkan di negeri yang penuh
padang pasir; Mesir. Peradaban tua mewariskan barang-barang antik untuk dicari
dan dimiliki. Lalu di suatu hari dalam sebuah gua kecil ditemukan jenazah yang
terbalut kain kafan. Tak jauh darinya ada jenazah-jenazah yang kemungkinan
keluarganya. Lalu:
Buku-buku berharga orang itu berada
di sebelahnya, tertututp dalam sebuah kotak batukapur putih (hlm.2).
Salah
satu buku di dalamnya ternyata sebuah Injil yang termasuk salah satu Injil
Gereja Perdana dan paling provokatif; Injil Yudas. Buku menjadi representasi
laku hidup jenzah tersebut. Mati harus bersama barang yang dicintai dan ia telah
dikubur bersama buku-buku. Cerita
di atas merupakan cuplikan dari kisah pencarian Injil Yudas oleh Herbert
Krosney dalam The Lost Gospel
(Gramedia: 2006).
Di
Jawa, tentu berbeda budaya. Beradab lalu, kita mengenal istilah moksa yang
diyakini sebagai mati yang sempurna. Moksa secara sederhana dipahami sebagai
pelenyapan diri dengan melebur bersama semesta. Tak heran, tokoh-tokoh sentral
di masing-masing masanya hampir tak bisa dijumpai kuburannya. Mereka diyakini
moksa dan jejak hidupnya hanya menyisakan petilasan-petilasan dan
cerita-cerita. Petilasan menjadi artefak yang menegaskan bahwa di tanah ini
keheningan, kesunyian, maupun kesuwungan pernah begitu penting dan menjadi
babak wajib bagi tokoh-tokoh setiap generasi.
Menyendiri
bukan berarti putus asa, galau, ketinggalan zaman, ataupun terlampau idealis.
Lebih jauh dari semua itu, menyendiri adalah laku berpikir, berguru, dan
mengobrol dengan diri sendiri. Oleh sebab itu, kitab-kitab di Jawa memang tak
seharusnya tertulis. Manusia Jawa pernah dan mungkin masih memahami tubuhnya
sebagai perpustakaan terlengkap yang berisi kitab-kitab dari generasi awal
manusia bahkan sebelum penciptaan manusia sampai yang terakhir. Maka, kitab Manikmoyo jika dibuka berisi lembaran
kosong bukan teori penciptaan semesta. Kalaupun ada aksara, adalah laku seorang
manusia yang mencoba menuliskannya. Bukan murni isi kitab yang dimaksud.
Lembaran kosong menjadi pintu masuk manusia untuk membacanya. Laku membaca
menjadi laku memasuki ruang dan waktu yang berbeda.
sumber gambar: www.hewaitsadi.wrodpress.com |
Hindu
dan Buddha masing-masing memiliki laku berhening yakni Semedi dan Meditasi
dalam persembahannya. Islam memiliki laku shalat tetapi khusus untuk pencarian
petunjuk maupun jawaban, Islam menganjurkan shalat Istikhoro (setelah shalat
malam melakukan dzikir dalam hati sampai tertidur atau tak sadarkan diri) dan
juga shalat Daim atau shalat nafas (menghirup “Hu” dan menghembuskan “Allah”).
Sayangnya, muslim-muslim yang meyakini dirinya awam enggan mencoba berhening,
mereka lebih suka meminta bantuan Kiyai untuk ber-istikhoro. Yang mungkin
diusahakan hanyalah selembar amplop yang diisi rupiah. Lambat laun, mereka
semakin meyakini dirinya awam yang tak mungkin bisa menemukan jawaban pada istikhoro-nya.
Batasan-batasan yang melilit keyakinannya menjauhkan mereka dari Tuhan dan
dirinya sendiri. Ia lebih memilih tawasul
daripada ikhtiyar dengan dalih tawasul adalah ikhtiyar-nya.
Seperti
juga saat mereka membaca kitab, mereka takkan berani memahaminya sepenuh hati.
Mereka memilih memahami pemahaman orang lain yang terlebih dulu darinya. H.B.
Jassin pernah menggegerkan semesta Nusantara dengan menerjemahkan Alqur’an
dengan judul Bacaan Yang Mulia. Jassin menganggap bahwa Alqur’an adalah karya
sastra yang agung dan semestinya diterjemahkan secara sastrawi. Maka,
Alqur’anul Karim diartikan dengan sederhana menjadi Bacaan Yang Mulia. Akhirnya,
Jassin panen kritikan dan sumpah serapah.
Sekian
tahun setelah Jassin, kita mendengar damai syi’ir yang diyakini sebagai
karangan seorang Kiyai kharismatik dengan panggilan Gus Dur. Sepenggal syi’ir
berbunyi: alqur’an qodim wahyu minulyo/
tanpa ditulis biso diwoco/ iku wejangan guru waskito/ den tancepake ing jero
dodo. Dua baris pertama secara sederhana dipahami sebagai definisi alqur’an
yang merupakan wahyu mulia bahkan tanpa ditulis pun bisa terbaca. Kata “iku
(itu)” pada baris berikutnya bisa dipahami merujuk pada “alqur’an” ataupun
keseluruhan kalimat sebelumnya. Jika dirujukkan pada Alqur’an maka dua baris
berikutnya adalah definisi lanjutan: alqur’an adalah wejangan guru waskito atau
guru sejati (Gusti) yang menancap di dalam dada. Menancap memberi makna “dalam”
dan “di dalam dada” lebih bisa dipahami sebagai representasi benda bernama
hati. Artinya, alqur’an adalah wahyu dari Gusti yang berada di kedalaman hati
dan mungkin menunggu pembaca datang.
Kenapa
harus di hati? Kenapa begitu dekat dengan diri sendiri? Wah kita jadi ingat
filsuf termasyhur dari Aceh bernama Hamzah Fansury yang mencari Tuhan sampai ke
Makkah dan ternyata bertemu di dalam rumah. Kisah diabadikannya dalam sajak
Mencari Tuhan di Baytul Ka’bah dan cuplikan sajaknya bercerita: Hamzah Fansury di dalam Mekkah/ mencapai
Tuhan di Baitul Ka'bah/ dari Barus terlalu payah/ akhirnya dijumpa di dalam rumah.
Ah,
tulisan terlalu berbelit padahal bisa dirangkum dalam satu kalimat tanya:
Sudahkah
kita membaca kita(b)?