Bagi
sebagian orang, yang dinamakan juara adalah nomor satu. Tidak dua, apalagi
tiga. Begitu pula yang terjadi dalam persepakbolaan, juara dua adalah ia yang
dikalahkan juara satu. Indonesia, yang menjadi juara dua Piala AFF pun lebih
banyak disebut sebagai “pihak kalah” dariapada “juara dua” itu sendiri. Juara satu
adalah harapan hampir seluruh masyarakat pecinta sepak bola di tanah air. Maka,
wajar-wajar saja kita mendapati kekecewaan bersamaan mendapati kekalahan Timnas
Indonesia.
Terlepas
dari semua itu, Indonesia menjadi negeri yang suka akan prediksi-prediksi akan
sebuah hubungan-hubungan. Khususnya kaum mayoritas negeri ini yakni muslim. Kasus
penistaan agama dan aksi-aksi pembelaan berhasil dihubungkan dengan pelbagai
ayat pada kitab suci Alqur’an. Piala AFF pun tak lepas dari penghubungan. Menjelang
final, kita mendapati perhubungan antara Thailand vs Indonesia dengan ayat
alqur’an yang menceritakan peristiwa pasukan gajah yang diserang pasukan burung.
Peristiwa Historis dan Lapangan
Diceritakan,
pada peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW, makkah digempur pasukan gajah yang
mencoba mengahancurleburkan ka’bah—bangunan bersejarah Nabi Ibrahim—yang
dipimpin Raja Abrahah. Dalam penyerangannya, pasukan gajah tiba-tiba diserang
pasukan burung yang diyakini sebagai utusan Tuhan dan membawa batu dari neraka.
Burung-burung menjatuhkan batu-batu yang diceritakan begitu panasnya dan
membunuh pasukan gajah. Tahun di mana peristiwa itu terjadi, disebut “Tahun
Gajah”.
Cerita
tersebut dihubungkan dengan final Piala AFF dengan simbolisasi “Gajah” sebagai
Thailand, dan “Garuda” atau burung sebagai Indonesia. Final yang mempertemukan
dua Negara tersebut, kemudian diprediksikan dengan kemenangan pasukan burung
atas pasukan gajah. Pada babak pertama, kita melihat “pasukan gajah” menyerang
pertahanan “pasukan burung” terus menerus. Pasukan burung lebih terlihat
bertahan. Barangkali sebab dengan skor imbang pun, pasukan burung akan keluar
jadi pemenang. Hal ini kemudian menjadi awal kehancuran pasukan burung, sebab
lama kelamaan pasukan gajah menemukan cela untuk “penghancuran”. Mereka
berhasil membaca. Goal pun tercipta.
Babak
kedua datang, goal baru pun tercipta lagi. Mentalitas pasukan burung
benar-benar diuji, tetapi toh mereka
tak menyerah ataupun putus asa. Gairah menyerang, datang. Jadilah keduanya
saling menyerang. Permainan menjadi menarik. Sayang, memang kita kalah sabar
dalam membawa bola. Barangkali skor dua kosong menjadi beban pikiran pasukan burung.
Pasukan gajah yang menyadari dirinya menang pun, memilih berbalik arah yakni
bertahan. Mereka diuntungkan, karena pasukan burung sudah kelelahan dan
terganggu beban pikiran. Berbeda dengan pasukan burung saat bertahan di awal
pertandingan, pasukan gajah masih semangat dengan waktu yang kian panjang. Kini,
waktu tinggal bebapa menit saja. Pasukan gajah pun terlihat mengulur waktu
dengan cidera “manja” dan pergantian pemain. Akhirya, tak satupun serangan
pasukan burung berhasil menjebol gawang pasukan gajah.
Pemaksaan Simbolisasi
Lantas,
bagaiman dengan simbolisasi yang terlanjur menyebar sekian luasnya bahwa
pasukan burung pastilah menang atas pasukan gajah? Barangkali memang prediksi
manusia sekarang tak seakurat manusia dulu seperti Prabu Jayabaya dalam Jangka Jayabaya, Prabu Siliwangi dalam Wangsit Siliwangi, dan Sabda Palon dalam
Darmogandul. Ada semacam pemaksaan
simbolisasi. Peristiwa yang terjadi di tanah Arab, dipaksasamakan dengan tanah
Jawa. Burung Ababil pun disamakan dengan burung garuda. Apakah memang keduanya
sama? Entahlah.
Sebenarnya,
di Jawa kita sudah jauh-jauh hari mengenal simbol garuda dan gajah sebelum
Islam masuk. Dalam Hindu ataupun Siwa Buddha yang sudah tumbuh kian lamanya di
tanah Jawa, simbol garuda, dikenal sebagai Dewa Wisnu dan simbol gajah dikenal
sebagai Dewa Ganesha. Dewa Wisnu adalah dewa kelahiran yang menjaga kelestarian
alam semesta. Ia dikenal sebagai salah satu dewa dalam Trimurti yakni Wisnu,
Brahma dan Siwa. Trimurti adalah keyakinan tiga dalam satu. Sedang Ganesha
adalah dewa pengetahuan yang diyakini anak dari Dewa Siwa dan Parwati. Sebenarnya
ia berkepala manusia tetapi kemudian dipenggal Siwa dengan maksud menghilangkan
kesombongan Ganesha. Akhirnya, kepalanya digantikan kepala gajah.
Jika
ingin ada pemaksaan simbolisasi, mungkin kita bisa mencoba sambungkan
peperangan antara Wisnu dan Siwa yang merupakan bapak dari Ganesha. Dalam
sebuah peperangan, Wisnu kalah dari Siwa yang berhasil menancapkan Trisula
(senjata Siwa) pada dadanya Wisnu. Maka, kesimpulannya, kubuh gajah akan menang
dari kubu garuda. Tetapi toh itu tidaklah akurat, kita tidak mampu memberi
alasan-alasan rasional akan perhubungan keduanya. Dan barangkali, semua ini
hanya dugaan yang kebetulan. Mungkin saja, itu terjadi pada banyak perhubungan
lainnya; kasus penistaan agama dan aksi-aksi pembelaan agama. Jika bukan
kebetulan, kenapa garuda kalah setelah diprediksi sekian cantiknya? Barangkali
demikian.