Minggu, 20 Desember 2015

PERSEMBAHAN UNTUK IBU



Aku selalu sulit memberikan sebuah persembahan pada perempuan yang kupanggil ibu. Suatu ketika, aku ingin pulang tuk membasuh kakinya tapi sesampainya di rumah, aku tak melakukannya. Suatu ketika lainnya, aku ingin pulang tuk memeluk erat tubuhnya, tapi, sekali lagi, sesampainya di rumah, aku tak melakukannya. Akhirnya, suatu ketika, aku merasa gagal memberikan persembahan padanya dan kuputuskan pulang tuk sekedar meminta maaf, tetapi, lagi-lagi, aku tak melakukannya kala sampai di rumah. Hari ibu tiba, ada lomba cipta puisi di Unisma dengan tema ibu. Ibu, maaf aku hanya bisa melahirkan sebuah puisi untukmu yang mati-matian melahirkanku. Puisi yang terlahir sederhana ini tentu tak pantas menjadi sebuah persembahan, tetapi hanya inilah yang mampu kupersembahkan:

Ibu: Secawan Ingatan
Persembahan untuk perempuan penuh doa yang kupanggil “ibu”

/1/
Aku masih ingat betul segala tentangmu
Senyum amarahmu
Tangis sukamu
Tawa dukamu
-padaku.
Aku masih ingat betul dan rindu.

/2/
Aku masih ingat, kala kecilku
Kala aku keluar dari garbamu
Kau tersenyum
Senyum sambutan untukku, bukan senyum
kemenangan atas taruhan hidup-matimu. Demi aku.
Aku masih ingat, kala itu aku menangis
-terharu.

/3/
Aku pun ingat, masa
-di mana kau menggendongku
Aku rajin menyusu
-meneguk mata airmu
Aku tertawa, tidur, menangis
-dalam sewek-mu
Aku masih ingat, aku bahagia
walau duniaku seluas gendonganmu.

/4/
Aku juga pasti ingat, sabda-sabdamu:

Nak, kala kecilmu, ibu hanya memberimu tajin
bukan susu. Maafkan ibu.
Nak, kala sakitmu, ibu hanya memberimu doa
bukan obat. Maafkan ibu.
Nak, kala pergimu, ibu hanya memberimu restu
bukan sangu. Maafkan ibu.

_Aku mendadak bisu

/5/
Banyak orang bilang “Surga di telapak kaki ibu”
Aku pernah mencarinya:
membuka sela jemari kakimu tapi tak jua ketemu.
Aku pun sempat bertanya
pada jempolmu, tapi ia ternyata bisu.
Akhirnya aku tak tertarik dengan surga

/6/
Ibu, maaf
aku tak kunjung katam membacamu
Terlalu banyak kata dalam tubuhmu
Saat aku di puncak lelah,
bayangmu datang mengulang sabda:
“Nak, ingat perintah Tuhan: Bacalah”
_Kembali ku membaca

/7/
Ibu,
aku rindu dunia kecilku
Di mana aku tak mengenal aksara selainmu
Ibu,
jemput aku kembali ke gendonganmu
_surgaku.

Malang, 15 November 2015
23.06

Catatan: Puisis mendapat juara 2 dan uang hadiah lomba telah dibelikan buku, antologi surat-surat R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Silahkan jika berminat mengkatamkan.

Jumat, 02 Oktober 2015

Najwah Shihab: Aku Gak Minta Foto Bareng Tetapi Kata-Kata Saja


Kamis pagi, di hari Kesaktian Pancasila, aku nikmati kuliah pagi dengan Cleopatra, gadis cantik di Mesir ratusan tahun sebelum masehi, dengan perantara G. Bernard Shaw dan Manda Milawati Atmojo. Ia dibukukan dalam Cleopatra (2002, cetakan III) dan diterbitkan Avyrouz, Yogyakarta. Di sela-sela obrolan, seorang teman berbisik informasi tentang Najwa Shihab “Gak ikut acara Meet and Greet Najwa Shihab di UMM ta? Bayar 50 ribu, dapat buku.” Aku tertarik untuk mengetahui informasi lebih banyak. Aku berbisik menukarkan kalimat tanya dengan kalimat jawaban. Aku dapatkan cukup informasi. Aku putuskan untuk ikut meskipun artinya aku akan merelakan satu mata kuliah.
Aku segera kembali ke kamar untuk mengedit tulisan-tulisan Aksara, buletin sinau mingguan, edisi kedua. Jam 15.00 disepakati teman-teman Detak Aksara untuk berkumpul di Taman Merjosari dalam rangka menunaikan ibadah sinau. Jam 12.00, aku berangkat ke UMM untuk bertemu kekasih baru, Najwa Shihab, dengan penulis buku Mata Najwa Mantra Layar Kaca (2015, cetakan II), Fenty Effendy. Buku berisi cerita perjalanan lima tahun Mata Najwa. Aku merasa buku itu yang memanggilku, bukan Mbak Nana (sapaan akrab Najwa Shihab) atau pun Mbak Fenty.
Acara berlangsung seru. Ada gelak tawa dan tepuk meriah. Juga ada kilatan kamera. Bahkan dalam sesi tanya jawab, saat Mbak Nana mendekati hadirin, ada yang memaksakan diri untuk ber-selfie bersamanya. Akhirnya acara selesai. Mbak Nana dan Mbak Fenty sibuk memberikan tanda tangan pada peminta. Setelah tanda tangan, ada yang meminta berfoto dan tentu ber-selfie. Giliranku tiba, terjadilah percakapan:
Mbak Nana: Hai, siapa namanya?
Aku: Kancil Mbak. Aku gak minta foto bareng Mbak tapi aku minta kata-kata dari sampean saja.
Mbak Nana: Baik. Kancil kuliah di mana? Jurusan apa?
Aku: Unisma, Universitas Islam Malang, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
Mbak Nana: Ok. “Untuk Kancil, semoga berani bermimpi
Aku: Loh Mbak kok disuruh jadi pemimpi, tukang tidur?
Mbak Nana: Haha, iya tak tambahin “dan berkarya untuk negeri!”
Aku: Lah ini baru bener
Mbak Nana: Kancil, sampai ketemu Sabtu besok di Batu ya?
Aku: Iya Mbak. (dalam hati menggerutu ‘waduh, aku belum daftar yang di Batu. Aku tak merasa terpanggil’)
Aku menjabatnya “Terima kasih Mbak”. “Iya Kancil, sama-sama”. Lalu aku mengantri ke Mbak Fenty. Obrolan singkat terjadi, beliau menawariku dua tulisan “Semoga jadi penulis” atau “Semoga cepat lulus”. Tentu aku memeilih yang pertama. Akhirnya beliau menuliskan “Buat Kancil semoga jadi penulis andal!”. Sebelum pergi, kukasihkan buletin edisi perdana Aksara kepada beliau “Ini kami belajar menulis, kalau mau menyapa teman-teman bisa kirim ke email redaksi”. Beliau tersenyum seraya berkata “iya. Baik.” Tetapi aku ragu, apakah beliau akan benar mengirim kalimat sapa ke email yang tertera. Entahlah, aku tak mau berharap. Jika Aksara memanggilnya, tentu ia akan mengirim tulisan. Yang terpenting, aku sudah menghormati teman-teman yang menyumbangkan tulisan sebagai pondasi pendirian Detak Aksara dalam buletin Aksara. Aksara sudah sampai di tangan Uun Nurcahyanti, pengampuh kelas Bahasa Pare, Bandung Mawardi, pengasuh Jagat Abjad Surakarta, dan Fenty Effendy, penulis Mata Najwa Mantra Layar Kaca.
Sorenya, aku menghadirkan tubuh dan pikiranku di Taman Merjosari bersama teman-teman Detak Aksara. Kusampaikan penghormatanku pada tulisan mereka. Semoga menjadi tambahan semangat teman-teman untuk terus menulis. Akhirnya, selamat menulis. Perjalanan kita masih panjang dan lama
Malang, 02 Oktober 2015

Rabu, 09 September 2015

SURAT UNTUK GURUKU


Guru, maafkan aku. Aku tak berani memimpin sumpah di pelantikan organisasi se-FKIP, Senin 7 September 2015, untuk tingkat BSO, Badan Semi Otonom, yang meliputi BSO Teater Bangkit dan BSO LPM Fenomena. Kala itu ruang yang bernama Micro Teaching dipenuhi aktivis mahasiswa ditambah PD III, Bapak Yunus, dan Kajur Departemen Bahasa Indonesia, Bapak Badri. Mereka semua orang-orang hebat karena bersemangat dalam niat membangun FKIP. Tetapi bukan itu yang membuatku tak berani memimpin sumpah, melainkan Tuhan. Aku harus memimpin sumpah dengan menyebut nama Tuhan sedang aku bukan orang yang saleh.
Kala itu, aku belum menunaikan shalat subuh. Aku belum berlindung pada Tuhan penguasa subuh. Aku belum meminta restu kepada Tuhan untuk menjalani hariku. Aku belum menyapa Tuhan dalam kebekuan embun. Tetapi tidak hanya itu yang membuatku merasa bukan golongan orang saleh. Tentu sampean masih ingat ayat pertama Tuhan yang menyuruh kita membaca. Itulah sebabnya. Aku baru mengkatamkan beberapa buku. Lalu bagaimana aku berani memimpin sumpah dengan menyebut nama Tuhan?
Tetapi sampean tak usah terlalu malu mempunyai murid sepertiku. Aku telah sampaikan permintaan maaf akan hal itu. Setelah namaku disebut, aku lekas maju dan memegang mik “Assalamualaikum, terima kasih atas kepercayaannya. Tetapi saya merasa tidak pantas untuk memimpin sumpah. Mohon dimaklumi karena sumpah berhubungan dengan Tuhan. Terima kasih.” Lalu aku duduk kembali di kursiku. Banyak mata menelanjangiku tapi aku hanya berusaha mendengar suara bisik mereka, aku hanya ingin memastikan mereka tak ada yang berkata “Murid siapa itu kok kelakuannya seperti itu?”. Dan benar tak ada suara itu yang masuk ke daun telingah. Aku hanya mendengar dua suara yang berimbang. Pertama, suara menghina karena dirasa terlalu sok suci. Kedua, suara kagum karena ketegasan. Ada pula yang bertanya “Hanya seperti itu? Sudah?”
Bukankah sampean pernah mengutipkan kalimat Teo Tolstoy dalam Hadji Murat “Tali tambang seyogyanya panjang tetapi kata-kata pendek saja.” Adakah muridmu ini, aku, salah? Atau aku hanya berbicara bukan berbahasa? Maka, jangan kapok-kapok mengajariku berbahasa karena sampean adalah guru bahasaku. Uun Nurcahyanti.
Malang, 10 September 2015

Jumat, 14 Agustus 2015

WAKTU


“Malam yang telah berada di puncaknya bergerak menuju ke wilayah pagi, apa pun yang terjadi sang waktu tak pernah peduli. Waktu bersifat mutlak menggilas apa saja untuk berlalu, untuk melapuk dan membusuk menjadi onggokan masa silam. Tak ada yang abadi, semua berubah. Yang muda menjadi tua, yang hijau lalu menguning. Berubah, semua berubah, tak ada yang abadi. Jika ditanya apakah yang abadi, perubahan itu sendirilah yang bergerak secara abadi (h. 466)”.
Tentu kalimat panjang nan indah itu bukan dari mulutku. Kalimat itu dari Langit Kresna Hariadi dalam novelnya, Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Tahta dan Angkara (2006), terbitan Tiga Serangkai, Solo. Buku itu baru kupinjam dari guru bahasaku seminggu yang lalu. Aku baru katamkan dua jilid, masih ada tiga jilid lagi yang menunggu.
Begitulah pendefinisian waktu oleh Langit Kresna Hariadi. Menggunakan kata menggilas, waktu yang bersifat mutlak menggilas, tentu didasari oleh novelnya yang memang tentang perang yang saling menggilas. Lain cerita jika novel itu menceritakan pelayaran semisal Marcopolo, mungkin akan menggunakan kata mengarungi. Maka tak heran di zaman Nabi, waktu terdefinisikan menjadi pedang. Juga di Barat waktu terdefinisikan sebagai uang. Tentu laku mendefinisikan bukanlah laku sembarangan karena akan berdampak pada laku pemikiran juga perbuatan.
Bagaimana pun waktu didefinisikan, ia terus berjalan sesuai perintah Tuhan. Maju ke depan tanpa menoleh ke belakang. Tugas waktu memanglah bukan sembarang tugas meskipun terkesan hanya berjalan ke depan saja. Ia harus tetap berjalan meskipun jutaan air mata menetes memohon ia berhenti, meskipun caci makian bahkan kutukan menghujani lantaran enggan sejenak untuk berhenti. Waktu yang demikian menyandang tugas berat itu tentu tak luput dari mata Penguasa Semesta. Tuhan menghargai konsistensinya dengan bersumpah atas namanya dalam sebuah kitab, “Demi masa”.
Begitu besar penghargaan Tuhan kepada sang waktu. Bagaimana dengan kita? Sejauh mana kita menghargai dan menghormati sang waktu?
Pare, 12 Agustus 2015

Senin, 20 Juli 2015

LEBARAN PEMUDA KOTAKU


“Pemuda adalah sebaik-baik tempat untuk menanamkan cita-cita”
-M. Yamin

Setelah shalat magrib, tepatnya setelah diumumkannya lebaran, kesibukkan nampak di mana-mana. Di kampungku, nampak bocah-bocah sibuk menyiapkan obor untuk “Takbir Keliling” yang akan dimulai setelah shalat isya’. Juga bocah-bocah bermain petasan di lapangan atau pematang sawah. Tapi aku meragukan kalau ramainya petasan tersebut sebagai perayaan hari kemenangan, Idul Fitri. Sedang pemuda yang tergabung sebagai Remaja Masjid (Remas) nampak sibuk menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk “Takbir Keliling”. Di sisi lain dari semua itu, pemuda-pemuda semacamku lebih memilih menjauh dari keramaian desa. Bukan kami tidak suka keramaian. Kami hanya ingin keramaian yang lebih ramai, maka dari itu kami beramai-ramai ke kota. Dari gambaran di atas, tentu bisa dipahami keramaian apa yang akan terjadi di desa kami. Mari bayangkan. Jangan, tentunya klise sekali. Berkeliling kampung membawa obor dengan menggemakan takbir.
Di sana, yang kami sebut sebagai kota, akan ada sebuah keramaian yang nyata. Akan terdengar suara yang mengagetkan, tetapi bukan petasan. Suara senapan polisi untuk membubarkan tawuran. Akan terjadi pula semacam konvoi, bukan karena “Takbir Keliling” melainkan dikejar Satpol PP. Dan akan terjadi pemukulan pula tetapi bukan pemukulan jidor. Pemukulan antarpemuda dalam sebuah tawuran. Semua itu bermula dari awal lebaran, setelah magrib. Pemuda-pemuda akan berkumpul di beberapa titik keramaian kota. Salah satunya adalah Taman pinang–Gading Fajar, taman kota yang diapit dua jalan panjang. Di sana akan berjajar pemuda dengan motornya, yang sebagian knalpotnya dimodif sedemikian rupa agar semakin keras bunyinya. Yang nantinya akan saling mencari perkara satu sama lainnya demi sebuah kata keren atau memang dendam. Perlu diketahui bahwa di kotaku, Sidoarjo, sering terjadi tawuran antarpemudakampung, antarpendukungkesebelasan, dan antargengmotor. Maka tempat semacam itu akan menjadi titik pertemuan dan pecahnya tawuran.
Tentunya aku tak mau ikut tawuran semacam itu. Aku tak sefanatik mereka. Aku tak tahu pasti penyebab mereka fanatik. Barangkali mereka terdoktrin Multatuli dalam garapannya, Max Haveelar (2013), yang mengatakan “Setengah-setengah itu tidak akan mengahsilkan apa-apa. Setengah itu tidak baik. Setengah benar sama saja dengan tidak benar”. Tapi kurasa bukan itu penyebabnya. Atau sebab perkataan R.A. Kartini “Pikiran adalah puisi dan penggeraknya adalah seni” sehingga mereka definisikan tawuran sebagai seni bela diri. Dan akhirnya muncul propaganda semacam itu. Tapi kurasa bukan itu pula penyebabnya karena sedikit sekali dari mereka yang mengobrolkan buku saat berkumpul atau bahkan nihil.
Semua itu hanya nostalgia masa putih abu-abuku. Semenjak lulus SMA, aku berpaling dari dunia semacam itu ke dunia “perdamaian”. Aku menjadi seorang anak vespa, Scooterist, dan tak lagi mampu menikmati tawuran semacam itu. Bukan karena tawurannya tidak sehebat perang saudara antara Kurawa dan Pandawa dalam etos Mahabarata. Perang yang berlangsung ratusan hari, perang yang meminum ribuan atau jutaan darah manusia, perang anatara lima Pandawa yang didalangi Krisna dan menang melawan seratus Kurawa yang didalangi Sangkuni, juga perang bersenjatakan senjata para dewa, tentulah tak sebanding dengan tawuran di kotaku. Tawuran yang bersenjatakan batu dan kayu dengan pelindung kepala berupa helm.
Selanjutnya, lebaran ditemani oleh secangkir kopi entah di bengkel vespa atau di warung kopi. Tapi jangan dibayangkan kami meminum kopi spesial di hari spesial semacam itu. Hanya kopi hitam seperti biasa. Tidak ada bermacam-macam kopi buatan Dee dalam karyanya, Filosofi Kopi. Dan tentu tidak ada secarik kertas penjelas kopi yang telah kami minum dari pengaduknya. Waktu pun cepat berlalu, malam telah digusur fajar. Ibuku memasak air sebagai campuran air kamar mandi agar tak terlalu dingin nantinya. Bergantian, penghuni rumah mandi kemudian shalat subuh. Sekejab, pakaian baru sudah menempel di badan. Ibu menyediakan minuman hangat seperti teh manis dan kopi, sebelum kami berangkat ke masjid untuk shalat ‘ied. Konon, “Kalau lebaran sunnah pakai pakaian baru” kata abangku menasehati “tapi kalau jumatan sunnah pakai pakaian putih”. Setelah ritual shalat ‘ied selesai, ada ritual “minta maaf”. Mula-mula meminta maaf kepada kedua orang tua, lalu sanak kelarga, lalu para tetangga. Dan akhirnya, “Ngaturaken sedanten kelepatan kulo, mugi jenengan kerso ngapuro”.