Sabtu, 05 November 2016

AGAKNYA SEJARAH TERULANG; ARABISASI VS ISLAMISASI




Di tengah simpangsiurnya berita penistaan kitab suci alqur’an, ada yang menyentil saya kala membuka Facebook; ada sebuah gambar dibagikan seorang pengguna yang bertuliskan “Arabisasi Radikal Berkedok Islam vs Islam”. Tentu saja, tulisan tak sekedar ditulis asal-asalan, mari coba kita pahami bersama tetapi jangan nanti di antara kita menghadirkan kasus baru, bisa saja “penistaan gambar suci” karena di dalam gambar ada beberapa foto kiyai dan kita tafsiri tanpa mengundang ahli tafsir gambar. Maka, anggap saja kita berlatih menafsiri gambar yang mana namanya latihan penuh dengan kemakluman. Apa yang anda pikirkan kala melihat gambar tersebut? Bisa saja anda berpikir bahwa “ah foto itu kan Cuma editan untuk memperpanas suasana”, “ah gambar itu tak berlandaskan apa-apa”, dsb. dst. Bisa saja anda berpikir demikian dan tentu itu tidak dilarang.

Sejarah Islam di Nusantara
Islam di Nusantara tumbuh subur paskah runtuhnya Majapahit yang diyakini sebagai kerajaan Hindu meski rakyatnya dibebaskan beragama selama bisa hidup rukun dan memang begitulah tujuan agama diciptakan; menjaga kerukunan. Mari coba selami zaman Majapahit karena ada beberapa hal menarik di dalamnya yakni perpecahan pemikiran Islam oleh anggota Wali Songo. Damar Shasangka di dalam blognya berbagi ebook sejarah runtuhnya Majapahit. Ia memaparkan ada dua kubu Islam di zaman Majapahit yakni putihan dan abangan. Konon, disebut putihan karena memang mereka meyakini dirinya islam murni seperti yang di Arab alias tidak ada campuran apapun. Sedang abangan adalah islam yang disesuaikan adat dan budaya Nusantara. Di kubu putihan, ada Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, dsb. Sedang di kubu abangan, ada Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar.
Bagi kubu putihan, Nusantara khususnya Jawa di mana mereka berpijak harus segera diislamkan. Artinya, Majapahit harus diruntuhkan. Maka, disiapkannya langkah-langkah pengahncuran Majapahit. Mula-mula mendirikan pesantren Giri yang kemudian berganti kerajaan Giri Kedaton. Brawijaya V selaku raja saat itu memang seringkali dikatakan bersifat lembek pada permaisuri dan selirnya yang kemudian disindir keras oleh rakyat Ponorogo dengan menampilkan tarian berwujud macan yang dimahkotai merak yang kemudian dijelaskan bahwa macam adalah simbol raja yakni Brawijaya V sedang merak adalah selirnya (yang meminta keistimewaan untuk Islam seperti menjadikan Ampel sebagai pusat kajian Islam). Artinya, raja yang seperkasa macan sekarang tak berkutik (lembek) di bawah selangkangan burung merak yang tak lain selirnya. Ini adalah peringatan serius rakyat Ponorogo yang kemudian memisahkan diri dari Majapahit. Sedang bagi kubu abangan, Nusantara tak usah diislamkan karena tidak ada diskriminasi agama. Agama islam boleh berkembang dan tokoh-tokohnya boleh menyebarkan syariat, sudah perlu disyukuri. Nantinya, kedua tokoh abangan menjadi guru spiritual masyarakat Jawa yang sering disebut sebagai aliran kebatinan, Kejawen, dsb.
Setelah pesantren Giri menyebut dirinya sebagai Giri Kedaton dan mengangkat Sunan Giri sebagai raja yang menggelari dirinya sendiri dengan sebutan Prabu Satmata atau raja yang memiliki enam mata, Majapahit murka dan menyerang Giri Kedaton. Perlu dijelaskan bahwa gelar Prabu Satmata adalah sindirian dan barangkali penghinaan terhadap Hindu yang menyembah dewa bermata tiga yakni Siwa. Kemudian Sunan Ampel, mahaguru para Wali Songo memintakan ampun pada Brawijaya yang kemudian membebaskan Sunan Giri. Sunan Ampel pun berfatwa bahwa umat Islam dilarang menyerang Majapahit. Konflik atas nama agama pun mereda, tetapi diam-diam kubu putihan menyebarkan paham radikal bahwa Nusantara (baca: Jawa) harus Islam. Pendek cerita, Sunan Ampel meninggal dunia. Brawijaya telat menyadari bahwa wilayah Demak yang dipercayakan pada anaknya sendiri, Raden Fatah, telah menjadi markas islam putihan yang dipakai pematangan rencana penghancuran Majapahit.
Kehancuran Majapahit alias keberhasilan islam putihan akan rencananya tidak membuat Nyai Ampel senang, malahan marah karena menilai Raden Fatah melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal; menyerang raja selaku imam resmi semua golongan, melanggar fatwa Sunan Ampel dan mengusir bapaknya sendiri yakni Brawijaya V.

Islam dan Indonesia
Kejadian di atas agaknya ada kemiripan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Yakni islam nampak pecah, ada yang berjihad membela alqur’an dan ada yang diam berdoa kedamaian. Sangat disayangkan karena beberapa kubu perpecahan saling berpendapat benar bahkan saling menghina. Di kubu “jihad” mengatakan bahwa wajib ikut aksi membela alqur’an bahkan ada yang sampai mengatai yang tidak iku sebagai pembela kafir. Di kubu “damai” mengatakan bahwa semuanya salahpaham; tidak ada penistaan alqur’an dan sangat disayangkan sampai mengatai yang aksi adalah islam kurang ngaji. Maaf, bahwa tidak ada niatan memperkeruh suasana dan menggeneralisasikan kubu ataupun memecah islam.
Bagi saya pribadi, tidak ada yang salah dan juga tidak ada yang benar karena memang tidak ada neraca benar-salah yang disepakati. Artinya, yang bagi kita benar belum tentu benar bagi yang lainnya. Salah satu faktor perpecahan memanglah salahpaham dan keterburu-buruan. Bagi yang berangkat aksi membela alqur’an, mungkin sebelumnya sibuk bekerja, kuliah, dsb sampai tak sempat membaca dari akarnya bahwa tidak ada unsur penistaan alqur’an oleh Ahok yang mengatakan “dibohongin pakai almaidah” dan videonya diunnga Yani dan ditranskip “dibohongi almaidah” bahkan dengan judul bombastis yakni “Penistaan Agama?”. Terlepas ini sengaja atau tidak tetapi itulah akar permasalahannya. Bayangkan, saudara muslim yang tak sempat mengaji permasalahan tiba-tiba diajak aksi dengan nama bela alqur’an ataupun bela agama, “ayo ikut aksi bela alqur’an”, kemudian bayangkan mereka kaget dan kebingungan, “Loh ada apa kok membela alqur’an/ membela agama?”, bayangkan lagi dijawab “Ahok menistakan alqur’an, menghina almaidah. Kita harus ke Jakata aksi membela alqur’an”. Gerakan yang besar dan pemberitaan yang gencar mungkin takkan membuat mereka berpikir dua kali untuk membaca permasalahan. Terpenting adalah jihad membela alqur’an membela agama.
Gambar yang dibagikan salah satu pengguna Facebook.
Sedang yang barangkali agak nganggur, sempat membaca ulang permasalahan. Lah wong ternyata ada kesalapahaman karena di video dan di transkipan tidaklah sama. Maka, mereka berpikir bahwa tak perlu ikut aksi karena memang ada kesalapahaman. Banyak yang menduga di balik aksi ada beberapa kepentingan khususnya kepentingan politik persaingan pilkada Jakarta. Dan barangkali seperti gambar yang saya ceritakan ada kepentingan arabisasi yakni mengarabkan suatu wilayah. Perlu diingat kembali bahwa misi Nabi itu akhlak dan islam sendiri adalah agama keselamatan. Artinya siapa yang akhlaknya baik adalah orang yang islami dan akan selamat (islam). Maka, orang islam bukanlah yang selalu memakai jubbah dan bisa berbahasa arab tetapi yang berkahlak islami.
Kesimpulan dari semuanya adalah kita tak usah terburu-buru sehingga melupakan ayat pertama sekaligus perintah pertama Tuhan yakni “bacalah”. Setelah membaca, jangan lupa diobrolkan dengan teman dan kalaupun bisa, dengan para ahli. Aku ingat kata seorang teman yang adalah seorang santri mengatakan bahwa kiyai-kiyai di wilayah bekas kerajaan Majapahit itu banyak yang berhasil memahami islam termasuk ketauhidan islam, sedang di luar wilayah itu kiyai-kiyai hanya sibuk berbicara fiqih; hukum halal-haram. Ingatkah kita dengan pertanyaan Gus Dur yang kurang lebih berbunyi “Apakah Nabi Muhammad akan tetap memakai jubah jika hidup di zaman sekarang atau malah memakai jas?”. Bagi saya, Gus Dur menyampaikan pesan bahwa Islam dan Arab itu perlu dibedakan. Kita pun diingatkan Nusron Wahid bahwa kita ini orang Indonesia yang Bergama Islam bukan orang Islam yang ada di Indonesia.
Maka, yang perlu diproses hukum adalah Yani selaku pentranskip video Ahok, bukan Ahoknya kecuali jadi saksi. Terima kasih Indonesia, ibu pertiwi yang terus menyusui kami-anakmu yang sedang salahpaham-jangan bosan-bosan menyusui kami, Bu!


Kamis, 03 November 2016

ALQUR’AN; BACAAN BUKAN CENDERAMATA PAJANGAN


Saya mengagumi segala kitab suci yang tentunya sangat sastrawi. Terutama yang paling saya kenal di antara beberapa kitab suci adalah Alqur’an. Sejak lahir saya sudah diyakini dan diyakinkan beragama Islam dengan kitab suci bernama Alqur’an. Saya masih sangat ingat betul, di kala kecil setiap selesai magrib saya mesti ke sebuah pondokan untuk melakukan ritual ngaji. Mulai dari pelajarn Kiroati sampai Alqur’an. Kiroati adalah kajian tentang cara mengeja alqur’an; mengenal huruf hijaiyah, harakat, dsb. sedangkan alqur’an adalah kajian tentang cara membacanya; mempelajari ilmu tajwid. Oleh karenanya, kampungku seolah mempunyai hukum bahwa tidak diperkenankan setelah magrib ada TV yang menyala. Saat itu kira-kira tahun 2000-an. Saya mengenal alqur’an sebagai suatu kitab yang sangat sangat sangat dimuliakan. Memegangnya saja, kami mesti melakukan ritual wudhu, lalu harus duduk bersila dan tidak diperkenankan membaca sambil tiduran dsb. dst.

Pendefinisian Alqur’an
Alqur’an diyakini sekian juta bahkan miliar umat sebagai wahyu terbesar Nabi Muhammad SAW yang diturunkan secara berangsur (sesuai kebutuhan Nabi dan umat). Semua sepakat bahwa ayat pertama yang diturunkan adalah ikrok yang artinya bacalah. Alqur’an sendiri berarti bacaan yang tidak sembarang bacaan karena memakai alif dan lam sebagai idofah (spesifikasi). Maka, yang dimaksud Alqur’an adalah ayat-ayat (baca: bacaan) yang diturunkan sebagai wahyu Nabi Muhammad bukan bacaan lain yang meski diucapkan Nabi Muhammad. Jadi idofah (alif dan lam pada lafad alqur’an) memberikan spasi antara kalam yang diucapkan Nabi Muhammad sebagai alqur’an dan selainnya yang dikenal dengan sebutan hadist. Perlu saya sampaikan pula, bahwa alqur’an diyakini sebagai kalam Allah yang kemudian disampaikan Nabi Muhammad karenanya dikatakan sebagai kalam suci atau kitab suci. Bahkan sangat suci.
Dalam dunia perkuliahan, hal ini sering disinggung antara perdebatan dua golongan yakni Ahlusunna Waljamaah yang mengatakan bahwa alqur’an adalah kalam dan golongan Muktazilah yang mengatakan bahwa alqur’an adalah makhluk. Sebenarnya semua itu tak perlu diperdebatkan karena memang kacamata yang dipakai dua golongan itu berbeda. Ahlusunna melihat alquran dengan kacamata nahwu yakni mengutip ilmu dasar dalam kitab Imriti bahwasannya alkalamu huwa lafdzul murokabul mufidu bil wad’i (kalam adalah lafadz yang tersusun dan memberikan faedah secara sengaja). Sedang Muktazilah memakai kacamata tauhid bahwasannya yang dinamakan makhluk adalah selain Allah (almakhluku huwa maa siwallah). Jadi sebelum berdebat dan fanatik pada pendapat pribadi atau golongan, kita sebaiknya melihat segalanya termasuk konteks yang dibicarakan.
Alqur’an sangatlah unik bahwa membacanya saja kita sudah mendapat pahala. Tetapi kebanyakan orang melihat kalimat tersebut sebagai pegangan hidupnya dengan alqur’an, yakni cukup membacanya saja tak usah memahaminya karena barangkali itu tugas ustadz, kiyai, habib dsb. dst. sedang kita yang meyakini diri sebagai awam cukuplah membaca dan mencintainya agar mendapatkan syafaat (keyakinan orang Islam adalah alqur’an bisa memberikan syafaat atau keselamatan di hari kiamat nanti). Kegelishan semacam ini pernah dituliskan Kartini dalam suratnya bahwa ia tak mau jika hanya membaca alqur’an tanpa boleh memahaminya. Memang dari memahami itu bakal muncul yang namanya cinta. Lalu apakah mungkin kita bisa mencintai alqur’an tanpa memahami isinya? Manusia diberi akal sebagai bekal yang paling berharga dalam hidupnya. Seperti sifatnya, akal dikenal melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda karenanya Nabi Muhammad menyampaikan bahwa ikhtilafu ummati rohmatun (perbedaan umatku adalah rahmat). Bagi saya, hadist ini adalah ejawantah dari islam sebagai rohmatan lilalamin (rahmat seluruh alam). Maka, islam mengajarkan yang namanya toleransi. Ini searah dengan tugas nabi sebagai penyempurna akhlak. Nabi Muhammad memberikan teladan bagi seluruh umat dengan segala akhlaknya sperti cerita di mana saat Nabi Muhammad diludahi dan disakiti selalu membalasnya dengan doa dan doa. Itulah kesempurnaan akhlak. Barangkali mengalah adalah kemenangan sejati sebab dengan mengalah kita tidak pernah benar-benar kalah.

Realita Alqur’an
Hari ini, diprediksikan bakal ada jutaan muslim yang ke Jakarta menggelar demo membela alqur’an. Seperti yang kita ketahui bersama, Gubernur Jakarta yang akrab disapa Ahok tertuduh melakukan tindakan penistaan alqur’an yang membesar menjadi penistaan agama (baca: Islam). Pada paragraf awal, kita telah mendefinisikan alqur’an sebagai kitab suci yang berisi bacaan-bacaan. Dan perintah Allah yang pertama adalah ikrok (bacalah) bukan lainnya. Artinya, jika alqur’an diyakini sebagai kitab suci agama Islam, maka umat islamlah yang berkewajiban membacanya. Seharusnya, tingkat ketaqwaan Islam sendiri berpedoman pada perintah pertama Tuhannya. Barangkali ikrok itu perlu dijabarkan lagi. Ejawantah ikrok akan memberikan tingkatan-tingkatan seperti mislanya: 1) manusia yang hanya mambaca, 2) manusia yang membaca dan memahami, 3) manusia membaca dan memahami juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sekarang, kita mencoba mendefinisikan kata nista sebagai akar penistaan dan menistakan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 1976 yang disusun W.J.S. Poerwadarminta, nista adalah aib atau cela. Sedang menistakan berarti mengaibkan, mencela, mengumpat ataupun menghina. Maka, disimpulkan bahwa penistaan adalah penghinaan. Kita coba membuat simpulan anatara hubungan kata nista dengan alqur’an. Alqur’an sebagai bacaan apakah akan terhina/ ternista/ teraib dengan penafsiran? Bukankah laku menafsiri adalah laku memahami bacaan yang artinya kita tentu membaca dahulu sebelum menafsiri? Dan izinkan saya bertanya satu hal dan tolong jawablah sendiri dalam hati yang terdalam:
Siapa yang lebih menghina alqur’an sebagai kitab suci antara orang yang membaca dan menafsirinya meski salah atau orang yang tidak pernah membacanya sama sekali sedang alqur’an adalah bacaan-bacaan?
Saya sangat yakin hampir di setiap rumah yang keluarganya beragamakan Islam ada beberapa kitab suci alqur’an dan di hampir setiap masjid ada pula beberapa alqur’an bahkan puluhan. Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah apakah semua itu terbaca? Barangkali kita perlu menginsyafi bahwa ayat pertama Tuhan adalah perintah membaca dan barangkali agar alqur’an tidak sia-sia dalam artian akan terus ada sebagai bacaan yang membimbing manusia menjalani hidup. Aqur’an adalah bacaan bukan cenderamata dari Tuhan untuk sekedar pajangan kitab suci.
Apa yang sudah terjadi patut dipelajari (baca: dibaca) sebagai pengetahuan tambahan dengan mengambil hikmah-hikmahnya. Kepada Ahok, petama secara santun aku ucapkan terima kasih karena dengan perantara dirimu dipermasalahkan seperti sekarang ini, aku yakin ada jutaan manusia yang ngaji setidaknya satu ayat almaidah saja (ayat 51). Artinya, ada jutaan manusia yang menjalankan perintah pertama Tuhan yakni ikrok. Kedua, ambil hikmahnya dan jangan lagi membawa agama dalam dunia politik meskipun lawan-lawanmu membawa, sebab politik adalah dunia kotor dan agama adalah dunia suci tetapi terima kasih kau telah berlaku islami dengan membaca alqur’an, menafsiri dan meminta maaf atas tafsiran yang dipermasalahkan. Bagi saya, itu sudah sangat islami dan tak ada alasan untuk tidak memaafkanmu sekalipun bagi sebagian orang itu kesalahan yang fatal.
Aku rindu almarhum Gus Dur, yang suka sekali mengatakan “Gitu aja kok repot” sekalipun pada hal-hal yang dianggap serius. Dan saya yakin, kalimat Gus Dur itu juga tak kalah serius dibandingkan keseriusan manapun jika dibaca dan dipahami. Biar kutipan darinya yang mengakiri tulisan ini “Semua agama mengajarkan pesan damai tetapi kaum ekstrimis memutarbalikannya”.

SEMACAM ISLAMISASI SASTRA




Seperti biasa, saya ingin berbagi kegelisahan dalam sebuah tulisan. Hari ini saya mengikuti Kuliah Kesusastraan Bandingan XIX yang merupakan acara rutin tahunan Majelis Sastra Asia Tenggara (Masetra) dan kali ini bekerjasama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud juga Universitas Islam Malang (Unisma). Ada tiga pembicara yakni Prof. Dato’ Dr. Haji Hashim bin Awang (Pakar Sastra Bandingan Malaysia), Dr. M. Misbahul Amri (Pakar Sastra dan Dosen Universitas Negeri Malang) dan Dr. Ganjar Harimansyah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Mastera Indonesia).
Pembicara pertama, Ganjar berbicara panjang lebar tentang Mastera semacam memperkenalkan diri (baca: Mastera) pada peserta kuliah. Mulai dari sejarah sampai program-program yang tentunya bermanfaat seperti pelatihan menulis puisi, novel, esai dst. dsb.
Sastra dan Agama
Pembicara kedua, Datok berbicara tentang sastra dan islam. Ia pun memberi peserta makalah yang berjudul Teori Pengkaedahan Melayu dan Prinsip Penerapannya. Judul sangat biasa dan akademis tetapi ketika membaca isinya, ada semacam islamisasi sastra khusunya sastra Melayu. Seolah-olah mengklaim bahwasannya sastra Melayu bernafaskan islam. Seperti yang tetrulis pada halaman kedua pada makalahnya:
“Kesusastraan Melayu membentuk dirinya dengan berdasarkan tiga teras utama yang amat keMelayuan dan keIslaman. Ketiga-tiga teras itu dapat disebutkan sebagai teras kebajikan, teras ketaqwaan dan teras ketatasusilaan. Ketiga-tiga teras ini menjiwai kesusastraan tersebut pada tahap paling asas dan asli, yang berdasarkan sepenuhnya kepada nilai dan aqidah agama Islam yang menjadi anutan pengarang dan masyarakat Melayu.”
Bagi saya, ada kerancuan bahasa yang mesti diperjelas terlebih dahulu sebelum berbicara jauh prihal sastra, Islam dan Melayu. Seperti, yang dimaksud sastra Melayu itu apakah karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu atau semua karya sastra yang ditulis bangsa Melayu? Karena bakal ada perbedaan yang signifikan jika masing-masing dijabarkan. Kemudian, perlu pendalaman sejarah masuknya Islam pada bangsa Melayu karena dalam Jawa (yang termasuk wilayah bagian Nusantara atau Indonesia yang dikategorikan Melayu) menerima Islam pada abad kesekian sesudah berkembangnya agama Siwa, Siwa Buda, Hindu dan Budha. Dalam masa sebelum Islam datangpun, masyarakat Nusantara sudah bersastraria dengan pelbagai kitab, kidung, suluk, serat, dsb. Maka, bagi saya pribadi, kuliah kali ini terkesan terburu-buru menyimpulkan hubungan ketiga kata tersebut; sastra, Melayu dan Islam.
Kerancuan lainnya, tentunya bagi saya pribadi, adalah teori pengkaedahan yang mana dijelaskan ada dua teori yakni pengkaedahan alamiah dan agama. Pengkaedahan alamiah adalah pengkaedahan yang menyimpulkan bahwa alam adalah karya dan berisi tiga hal yakni pertama, gunaan  bahwa ada manfaat/ faedah menyediakan keperluan/ kemanfaatan, yang bercirikan tahu/ kenal/ sedar. Kedua, moral bahwa suatu kegiatan, pengalaman dan penghasilan yang boleh menambah/ memberi/ memperluaskan pengalaman serta pengetahuan, yang bercirikan teroka/ jelajah/ pandang jauh/ pengilmuan. Dan ketiga, firasat bahwa suatu kegiatan pengalaman yang mengandungi makna; terolah dengan cara yang khas; ada bentuk, indah dan metafora, yang bercirikan ta’kul/ menung/ fikir.
Sedang pengkaedahan agama yang menyimpulkan bahwa karya sastra Melayu adalah kegiatan yang berlandaskan kepada cara hidup beragama, tata cara dan tata tertib. Dalam pengkaedahan ini pun ada tiga bagian yakni dakwah, sosial/ masyarakat dan seni/ estetika. Pertama, dakwah  bahwa karya adalah alat memuliahkan/ mengagungkan Tuhan ‘Allah’ dan agama Islam, yang bercirikan unsur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan agama. Kedua, sosial/ masyarakat  bahwa karya adalah gamabaran hidup manusia bermasyarakat, yang bercirikan hubungan antara manusia dengan manusia, masyarakat, budaya, ekonomi, politik dan dunia luar. Ketiga, seni/ estetika bahwa karya adalah ciptaan yang berbentuk indah/ halus/ sempurna; ada sifat tersendiri, yang bercirikan hubungan antara karya dengan ciptaan-ciptaan Allah dalam alam.
Saya sebut kerancuan khususnya bagi saya pribadi karena kegagalan dalam memahami pembagian kaedah antara agama dan alam. Bagi saya, semua bagian dalam masing-masing kaedah sangat agamis yakni dalam kaedah agama misalnya, ciri bagian dakwah adalah ejawantah dari khablum minallah, sedang sosial/ masyarakt dan seni/ estetika adalah ejawantah dari khablum minannas (atau makhluk lainnya selain manusia karena dalam ilmu tauhid ada sebuah kalimat yang berbunyi almakhluk huwa maa siwallah yakni makhluk adalah selain Allah). Dalam kaedah alamiah, ada gunaan yang bercirikan kemanfaatan yang bagi saya adalah ejawantah dari syukur, moral yang tentu ejawantah dari akhlak (misi Nabi Muhammad) dan firasat yakni ejawantah dari tafakkur. Lalu berdasarkan apa pembagian teori pengkaedahan antara agama dan alamiah? Bagi saya pribadi ada semacam pemaksaan yang gagal dalam laku memandang sastra dengan teropong agama.
Kalaupun sastra dipandang dengan teropong agama, nanti bakal ada kerancuan nilai moralitas pada karya sastra. Misalnya pada cerita runtuhnya Majapahit, Raden Fatah tidak akan dikatakan sebagai anak durhaka meski menyerang ayahnya sendiri begitupun Raden Kian Santang yang menyerang Siliwangi. Keduanya bebas dari kata durhaka karena semua dilakukan atas nama agama. Itu jika dilihat dari teropong agama, padahal akan merusak makna durhaka secara umum yakni siapapun yang melawan orang tuanya.
Sastra dan Sejarah
Pembicara ketiga, berbicara prihal jati diri bangsa. Ia memberi peserta makalah dengan judul Kajian Sastra Bandingan: Mewujudkan Jati Diri Bangsa. Ada beberapa hal yang kusepakati dari apa yang disampaikan tetapi ada pula yang mesti kupertanyakan dulu sebelum menyepakatinya. Amri menyampaikan bahwa Jawa dan India punya cerita sendiri-sendiri seperti Mahabarata dengan bukti ada beberapa petilasan. Ada petilasan Puntodewo di Demak yang mana diceritakan Puntodewo mencari Sunan Kalijaga karena tidak akan mati sebelum menemukan yang namanya Kalimosodo. Lalu di Kediri ada petilasan Mayangkoro yakni nama lain Hanuman, dewa yang diagungkan di India.
Aku sepakat dengannya bahwa India dan Jawa punya cerita masing-masing. Selain bukti adanya petilasan adalah bukti sejarah yang mana diceritakan bahwa Jawa dan India dulu satu kepulauan yang masih bernamakan Jawa Dwipa (sekarang Jawa) dan Jambu Dwipa (sekarang India). Dalam cerita pun, Jawa lebih kaya karena adanya lakon tambahan seperti Semar dan Togog. Dan aku tidak sepakat karena Amri sendiri bagi saya terkesan ada unsur “islamisasi” dengan mengatakan Puntodewo tidak bisa mati tanpa Kalimosodo dan tidak mengatakan versi lainnya. Jika ingin berbicara petilasan, kenapa tidak mengkaji wilayah Kejawen yang akrab dengan laku bertapa. Di gunung Arjuno Pasuruan, malah ada banyak petilasan jika hanya ingin menegaskan pada cerita Mahabarata. Jika lewat jalur pendakian Purwosari, kita bakal menemui petilasan Ibu Kunti (ibu pandawa lima) di pos kedua bahkan lengkap dengan petilasan gurunya yakni Eyang Abiyoso. Di pos ketiga ada petilasan Eyang Semar dan di sekitar Sepilar atau pos terakhir ada sumber Widodaren yakni petilasan Arjuno yang diceritakan saat bertapa digoda bidadari dan sumber Derajat yang dekat dengan petilasan Bima.
Selain itu, secara tidak langsung pembicara menduga bahwa Salman Rushdie dalam novelnya Haroen and the Sea of Stories terinsipirasi alqur’an dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Lagi-lagi semacam ada pemaksaan menyambungkan agama dengan sastra. Sejauh saya memahami novel-novel Salman Rusdhie adalah dia memakai imajinasi anak-anak yang terkesan menuliskan cerita semaunya. Mislanya, ada tokoh yang kembar namanya, Tapi, Tappi, Tapipun dsb dalam novel yang disebutkan di atas. Di lain novelnya yang berjudul Luka, ia memainkan imajinasi kita dengan tokoh hewan yang satu adalah seekor anjing dengan nama Beruang dan seekor beruang dengan nama Anjing. Dalam Luka tanpa disadari ada isi yang seperti guyonan memperdebatkan anatara kematian dan ketiadaan. Bahwa ada manusia yang tidak ketemu kematian, ia ketemu ketiadaan. Dalam agama Islam, ini bisa dipaksakan sebagai ejawantah lafadz innalillahi wainna ilaihi rojiun. Dalam agama Hindu, ini bisa dikatakan sebagai ejawantah mokhsa. Dalam Kejawen bisa sebagai ejawantah Manunggaling Kawulo Gusti. Bahwasannya manusia kembali pada asalnya.
Maka, bagi saya pribadi, kita terlalu terburu-buru berbicara jauh tentang sastra, Melayu dan agama. Kita tidak berangkat dari pendefinisian untuk spesifikasi maksud perkata. Itu memang kebiasaan kita, berbicara dan berdebat tanpa pendefinisian ulang. Afrizal Malan pada bukunya Dalam Rahim Ibuku Tidak Ada Anjing mengakui bahwa saya memakai bahasa yang telah kehilangan akar budayanya. Kerja mencari akar kata bahasa pernah dilakukan Remy Sylado alias Alif Danyah Munsi alias Yapi Tambayong dan dibukukan dalam 9 dari 10 Bahasa Indonesia Adalah Asing.
Tetapi bagaimanapun, saya mesti ucapkan terima kasih pada para pembicara yang berbagi ilmu di kuliah kali ini. Saya sengaja tidak bertanya pada forum karena saya tidak berniat mengikuti kuliah juga memberikan kesempatan pada peserta yang jauh-jauh missal Ambon, Madura, Jakarta, dsb. Bagi saya, karya sastra bisa saja islami tetapi sampai kapanpun karya sastra tidak beragama.