Selasa, 26 Desember 2017

KITA(B)



Sekian abad lalu, ada petani-petani miskin yang seringkali memanen kuburan untuk tetap bertahan hidup. Tentu saja, bukan di Indonesia melainkan di negeri yang penuh padang pasir; Mesir. Peradaban tua mewariskan barang-barang antik untuk dicari dan dimiliki. Lalu di suatu hari dalam sebuah gua kecil ditemukan jenazah yang terbalut kain kafan. Tak jauh darinya ada jenazah-jenazah yang kemungkinan keluarganya. Lalu:

Buku-buku berharga orang itu berada di sebelahnya, tertututp dalam sebuah kotak batukapur putih (hlm.2).

Salah satu buku di dalamnya ternyata sebuah Injil yang termasuk salah satu Injil Gereja Perdana dan paling provokatif; Injil Yudas. Buku menjadi representasi laku hidup jenzah tersebut. Mati harus bersama barang yang dicintai dan ia telah dikubur bersama buku-buku. Cerita di atas merupakan cuplikan dari kisah pencarian Injil Yudas oleh Herbert Krosney dalam The Lost Gospel (Gramedia: 2006). 

Di Jawa, tentu berbeda budaya. Beradab lalu, kita mengenal istilah moksa yang diyakini sebagai mati yang sempurna. Moksa secara sederhana dipahami sebagai pelenyapan diri dengan melebur bersama semesta. Tak heran, tokoh-tokoh sentral di masing-masing masanya hampir tak bisa dijumpai kuburannya. Mereka diyakini moksa dan jejak hidupnya hanya menyisakan petilasan-petilasan dan cerita-cerita. Petilasan menjadi artefak yang menegaskan bahwa di tanah ini keheningan, kesunyian, maupun kesuwungan pernah begitu penting dan menjadi babak wajib bagi tokoh-tokoh setiap generasi.

Menyendiri bukan berarti putus asa, galau, ketinggalan zaman, ataupun terlampau idealis. Lebih jauh dari semua itu, menyendiri adalah laku berpikir, berguru, dan mengobrol dengan diri sendiri. Oleh sebab itu, kitab-kitab di Jawa memang tak seharusnya tertulis. Manusia Jawa pernah dan mungkin masih memahami tubuhnya sebagai perpustakaan terlengkap yang berisi kitab-kitab dari generasi awal manusia bahkan sebelum penciptaan manusia sampai yang terakhir. Maka, kitab Manikmoyo jika dibuka berisi lembaran kosong bukan teori penciptaan semesta. Kalaupun ada aksara, adalah laku seorang manusia yang mencoba menuliskannya. Bukan murni isi kitab yang dimaksud. Lembaran kosong menjadi pintu masuk manusia untuk membacanya. Laku membaca menjadi laku memasuki ruang dan waktu yang berbeda.

sumber gambar: www.hewaitsadi.wrodpress.com


Hindu dan Buddha masing-masing memiliki laku berhening yakni Semedi dan Meditasi dalam persembahannya. Islam memiliki laku shalat tetapi khusus untuk pencarian petunjuk maupun jawaban, Islam menganjurkan shalat Istikhoro (setelah shalat malam melakukan dzikir dalam hati sampai tertidur atau tak sadarkan diri) dan juga shalat Daim atau shalat nafas (menghirup “Hu” dan menghembuskan “Allah”). Sayangnya, muslim-muslim yang meyakini dirinya awam enggan mencoba berhening, mereka lebih suka meminta bantuan Kiyai untuk ber-istikhoro. Yang mungkin diusahakan hanyalah selembar amplop yang diisi rupiah. Lambat laun, mereka semakin meyakini dirinya awam yang tak mungkin bisa menemukan jawaban pada istikhoro-nya. Batasan-batasan yang melilit keyakinannya menjauhkan mereka dari Tuhan dan dirinya sendiri. Ia lebih memilih tawasul daripada ikhtiyar dengan dalih tawasul adalah ikhtiyar-nya.

Seperti juga saat mereka membaca kitab, mereka takkan berani memahaminya sepenuh hati. Mereka memilih memahami pemahaman orang lain yang terlebih dulu darinya. H.B. Jassin pernah menggegerkan semesta Nusantara dengan menerjemahkan Alqur’an dengan judul Bacaan Yang Mulia. Jassin menganggap bahwa Alqur’an adalah karya sastra yang agung dan semestinya diterjemahkan secara sastrawi. Maka, Alqur’anul Karim diartikan dengan sederhana menjadi Bacaan Yang Mulia. Akhirnya, Jassin panen kritikan dan sumpah serapah. 

Sekian tahun setelah Jassin, kita mendengar damai syi’ir yang diyakini sebagai karangan seorang Kiyai kharismatik dengan panggilan Gus Dur. Sepenggal syi’ir berbunyi: alqur’an qodim wahyu minulyo/ tanpa ditulis biso diwoco/ iku wejangan guru waskito/ den tancepake ing jero dodo. Dua baris pertama secara sederhana dipahami sebagai definisi alqur’an yang merupakan wahyu mulia bahkan tanpa ditulis pun bisa terbaca. Kata “iku (itu)” pada baris berikutnya bisa dipahami merujuk pada “alqur’an” ataupun keseluruhan kalimat sebelumnya. Jika dirujukkan pada Alqur’an maka dua baris berikutnya adalah definisi lanjutan: alqur’an adalah wejangan guru waskito atau guru sejati (Gusti) yang menancap di dalam dada. Menancap memberi makna “dalam” dan “di dalam dada” lebih bisa dipahami sebagai representasi benda bernama hati. Artinya, alqur’an adalah wahyu dari Gusti yang berada di kedalaman hati dan mungkin menunggu pembaca datang.

Kenapa harus di hati? Kenapa begitu dekat dengan diri sendiri? Wah kita jadi ingat filsuf termasyhur dari Aceh bernama Hamzah Fansury yang mencari Tuhan sampai ke Makkah dan ternyata bertemu di dalam rumah. Kisah diabadikannya dalam sajak Mencari Tuhan di Baytul Ka’bah dan cuplikan sajaknya bercerita: Hamzah Fansury di dalam Mekkah/ mencapai Tuhan di Baitul Ka'bah/ dari Barus terlalu payah/ akhirnya dijumpa di dalam rumah.

Ah, tulisan terlalu berbelit padahal bisa dirangkum dalam satu kalimat tanya:
Sudahkah kita membaca kita(b)?

Kamis, 07 September 2017

TIGA BUKU PUISI SAYA




Beberapa tahun lalu, saya mengikuti pelatihan menulis di Pare di kediaman guru bahasa saya; Uun Nurcahyanti yang juga direktur lembaga kursus bahasa bernama Smart ILC. Pelatihan dipimpin Bandung Mawardi, pengasuh Jagat Abjad, dari Solo. Di tengah pelatihan, Mas Bandung mengajak membuat “janji literasi”. Peristiwa itu saya abadikan dalam puisi Aku Berjanji (2015):
Dalam lingkaran suci
satu persatu dari kami berjanji
mengabarkan niat dari hati
Aku berjanji
Saya berjanji

Dan sampai padaku, aku berjanji
“Puisi-puisiku, terbit sebelum wisuda”
aku berjanji dan disaksi
(Puisi Suket, 2016)

Janji membawa tubuh saya pada ruang dan waktu pada buku-buku. Kesadaran akan miskin kata membuat saya memaksakan diri untuk tekun berbuku, menyambangi pasar buku, mengobrol dengan manusia buku. Akhirnya, saya sendiri tak menyangka, bisa menerbitkan tiga buku puisi;




Puisi Suket: Kumpulan Suatu Ketika
adalah sekumpulan puisi “sisa-sisa” dari awal belajar puisi yakni tahun 2013. Disebut sisa karena saya telah kehilangan dua laptop di Kota Malang. Maklumlah, kota metropolitan. Buku puisi pertama ini dipersembahkan untuk seorang perempuan yang mengajari saya berbahasa, Uun Nurchyanti.
Satu puisi di sampul belakang adalah Sareh Nada:


Pucuk zaman tak kunjung dijumpa
menunggu Sang Empu memberi nada
pengambil nyawa.
Sampai kapan? Entah

Di surga,
Beethoven, Teleman, Mozat, dan Bach
berlatih nada, berlatih irama
            lagu “Sangkakala”



Hening Sunyi
adalah antologi puisi yang saya dapati dari laku berhening. Kata seorang teman, dalam diri ada sabda murni. Dan saya mencob mengenal suara-suara dalam diri yang tentu tak semuanya adalah sabda murni yang suci. Barangkali ada sabda imajinasi, dsb. Buku kedua ini dipersembahkan untuk adik saya yang suka kesunyian, Siti Aisyah.
Satu puisi di sampul belakang adalah Kopi:

Di dalam secangkir kopi
ada air bening
yang jika kita cari
tak ketemu, tanpa hening.

Di dalam secangkir kopi
            ada air bernama nurani.

Omah Suwung
adalah puisi-puisi yang ada dalam sebuah “kesuwungan” saya. Bisa dikatakan puisi-puisi di dalamnya adalah manifestasi dari langkah saya menyusuri dunia spiritual kebatinan yang ternyata ada ruang-ruang ingatan, dugaan, Tuhan, dan tentu saja cinta. Oleh karenanya di dalam buku tertulis “bukan sebuah persembahan melainkan persembahyangan”.
Puisi di sampul belakang adalah Ingatan:

Sekian detik setelah aku
dilahirkan, aku menjerit meminta
kembali dirahimkan, sayangnya ibuku
tak paham bahasa
tangisan. Lalu aku diam dan diam—
diam merahasiakannya
            sampai sekarang.


Ah, kesemuanya itu hanya menurut pandangan saya dan tentu buku yang sama bakal memiliki pandangan lain dari mata yang berbeda. Seperti keyakinan saya, kata milik penulis tetapi makna milik pembaca.

Terima kasih atas segala doa dan restu atas penerbitan buku-buku (!)

Sabtu, 12 Agustus 2017

Tuhan Mahasiswa


Seluruh jagat manusia percaya bahwa Tuhan adalah satu-satunya yang sempurna. Satu-satunya pemilik segala maha, kecuali mahasiswa. Barangkali, tidak hanya di mata Tuhan, mahasiswa adalah produk “maha” yang gagal. Tidak memiliki riwayat yang ilahiah sama sekali. Saya tidak bermaksud menyinggung mahasiswa terdahulu yang barangkali memiliki banyak riwayat heroik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, Soe Hok Gie, B.J. Habibie, yang begitu tekun menjalankan perintah Tuhan yang pertama “ikrok”. Riwayat berbuku mereka tak pernah disangsikan sejarah. Tapi, mereka tak semerta-merta menamai diri “Mahasiswa”.
 
Saya semenjak kecil memandang status mahasiswa sebagai status yang aduhai begitu mulia. Mahasiswa memasuki segala lingkup tatanan, mulai dari pers yang bertugas mengawal jalannya pemerintah maka muncul yang namanya pers mahasiswa sampai aktivis perburuhan. Dan saya, kemudian bergabung dengan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena. Barulah saya sadar, tak semua mahasiswa tekun berbuku dan giat sinau. Ada mahasiswa yang menghabiskan sekian banyak waktunya dengan diam. Sayangnya bukan semedi atau meditasi sebagai laku menjernihkan nurani. Diamnya mahasiswa justru sebagai korban teknologi yakni menjadi budak gawai. Dunianya sebesar layar lima inchi dan bertubuh pada dua jempol saja. Menyedihkan.
Jadilah segala perkara sesegera mungkin dikomentari, segala kasus secepat mungkin diluruskan (versi masing-masing mahasiswa), dan segala kenyataan diabaikan dengan kemayaan. Ironis, tetapi memang seperti itu. Akhirnya, mahasiswa cenderung terjebak untuk mengkasuskan manusia dan memanusiakan kasus.

Mahasiswa dan Pemerintahan
Orde Lama sebagai pemerintahan pertama pasca-kemerdekaan menjadi catatan penting termasuk dalam dunia kemahasiswaan. Sekian tokoh lahir dari latar belakang mahasiswa. Masyarakat pun semakin mendambakan anaknya bisa seperti Gie misalnya, begitu aktif mengawal kebijakan pada pemerintahan Presiden Soekarno. Riwayat demonstrasi Gie diabadikan Riri Riza dalam sebuah film Gie (2005). Memang terbilang heroik riwayat demonstrasi Gie. Kita tahu bahwa beberapa mahasiswa yang berdiri di barisan terdepan dalam demonstrasi justru kerap mendapat jatah kursi “diam” di parlemen. Berbeda dengan Gie, saat kebanyakan temannya memilih menjadi anggota dewan, Gie justru memilih berliterasi dengan semesta raya. Ia pun mati di pangkuan gunung Semeru, Jawa Timur.

sumber gambar: www.selasar.com


Bisa dikatakan mahasiswa – pada masa itu – memilik peran penting dalam pemerintahan yang barusaja menyebut diri negeri demokrasi. Mahasiswa kerap turun ke jalan untuk menyuarakan kritik atas kebijakan-kebijakan. Tetapi justru posisi penting mahasiswa menjadi sasaran propaganda. Isu-isu mulai bermunculan dan tak terkendali. Kita tahu Presiden Soekarno menjadi ancaman bagi negara-negara Barat atas ketegasannya dalam setiap pengambilan keputusan. Tak heran jika kemudian muncul pelbagai kelompok yang menginginkan Soekarno segera dilengserkan. Aliran dana pun begitu deras mengalir pada kelompok-kelompok “makar” tersebut.

Pelbagai ujicoba pembunuhan pada Soekarno pun tercatat sejarah. Tetapi Soekarno bukan sembarangan orang, ia pelaku spiritual. Ia pun pernah bertapa di Candi Wesi di lereng Gunung Arjuna. Dan kita tahu, pelaku spiritual kerap mendapat bimbingan dari Guru Sejati (Gusti). Pun kerap eling lan waspodo seperti ajaran Ronggowarsito. Kemudian kita ingat, tak ada manusia yang sempurna. Begitu paradoks memang kehidupan dunia. Soekarno pun jatuh, ditandai dengan selembar Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) dan disambut dengan tragedi 65 atas pembantaian PKI termasuk Gerwani. 

Mahasiswa bergerak cepat untuk menurunkan Soekarno dengan pelbagai dalih dan dalil kegagalan pemerintah. Soeharto yang gagah di mata mahasiswa pun menjadi pengganti Soekarno untuk melangsungkan pemerintahan. Mahasiswa tak sadar bahwa kelak pemerintahan Soeharto menjadi pemerintahan tirani yang menakutkan. Riwayat hilang dan kematian aktivis mahsiswa juga buruh tak terhitung. Mereka pun sadar bertapa Soekarno sangat menghormati Perguruan Tinggi dan melarang militer dengan semena-mena memasukinya. Hal ini berlawanan dengan masa Orde Baru di mana militer sampai berani membawa tank memasuki gerbang Perguruan Tinggi ataupun sekedar menciduk mahasiswa.

Orde Baru begitu ketat mengawasi masyarakatnya. Pers pun hampir tak berkutik. Sekian media dibredel seperti halnya Koran Indonesia Raya milik Muchtar Lubis karena begitu aktif mengkritiki kebijakan mahasiswa. Misal pada kebijakan larangan rambut gondrong karena memicu kriminalitas. Indonesia Raya menyajikan fakta bahwa justru manusia rapi, berdasi, dan wangi yang kerap korupsi.

Mentalitas Orba
Dan begitulah watak manusia, semakin dilarang semakin tertantang. Orde Baru pun tak berhasil mendiamkan mahasiswa dan buruh walau tembang kematian berdendang begitu keras. Alhasil, umur Orde Baru hanya 32 tahun. Soeharto berhasil dilengserkan. Lagu Buruh Tani dinyanyikan dengan begitu bahagia. Mahasiswa seolah berhasil membalas “kesalahannya” atas pelengseran Orde Lama. Ternyata, mentalitas Orde Baru tak begitu saja hilang. Karakter yang ditanamkan selama sekian puluh tahun sangat membekas pada tatanan pemerintahan kita. Korupsi masih begitu genit untuk diabaikan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) begitu kualahan menghapus kegenitan tersebut. Sedang kita, mahasiswa, masih disibukkan dengan tugas-tugas kampus agar tak … ah sudahlah. Kita begitu sibuk. Jangankan mengurusi pemerintahan, membaca buku (non pelajaran) saja mungkin tak sempat. Akhirnya kita alpa sejarah.


Kamis, 08 Juni 2017

SAYA DAN PUISI





Dunia puisi adalah dunia kemerdekaan kata. Dalam menuliskan puisi, manusia seolah benar-benar bebas memilih diksi. Puisi tidak memandang derajat manusia untuk bisa rukun dan gembira, mulai dari kalangan bangsawan sampai pribumi, dari perempuan sampai lelaki, dari yang normal sampai cacat fisik, bahkan Tuhan pun turut berpuisi. Akhirnya istilah untuk bumi pun pernah berganti dengan jagat puisi juga semesta puisi.

Konon, di negeri Saudi seorang bernama Muhammad mendapati hinaan bahkan ancaman karena ketidaksiapan masyarakat setempat yang terkenal ahli puisi menerima kitab puitis bernama alqur’an. Hal ini kian mengguncang mengingat Muhammad adalah keturunan dari keluarga imigran, bukan murni berdarah penyair Makkah. Negeri ini pun memiliki riwayat tragis antara manusia yang dianggap rendahan dengan puisi-puisi yang menggemparkan. Kita mengingat nama Wiji Thukul yang tiba-tiba membacakan puisinya di sebuah acara besar pertemuan penyair-penyair kondang. Apa yang aneh dari pembacaan puisi pada pertemuan penyair? Hal ini menjadi aneh karena Wiji Thukul datang tanpa diundang sebagai penyair, ia sebagai rakyat biasa yang melsayakan ritual “ngamen puisi”. Setelahnya, ia menjadi penyair yang paling digandrungi aktivis karena puisi-puisinya yang jujur, lugas, dan menggetarkan.

Perjalanan Puisi
Buku puisi pertama yang saya beli adalah Sound of Psyche (Penerbit Graudhawaca: 2013) garapan Sartika Dian Nuraini. Sekian. Di lembar depan ada kalimat untukku: “Untuk Kancil, saya percaya bahwa puisi hanya terlahir dari jiwa yang merdeka”. Lalu, tanda tangan dan nama. Sekian puisi di dalamnya pernah dimuat pelbagai media cetak seperti Kompas, Tempo, Jawa Pos, Basis, dsb. Di sampul belakang, ada foto wajah penulis yang sedang merokok. Di umur saya yang baru keluar dari SMA, tentu semakin takjub dengan perempuan manis yang merokok. Sekarang, saya tak kunjung sadar sejak kapan buku itu hilang atau dipinjam tanpa niatan mengembalikan. Buku telah hilang dan tidak perlu dipermasalahkan. Toh bukan buku itu saja yang hilang, ada Max Haveelar, B.J. Habibie, Catatan Pinggir 2, Sastra Bergelimang Makna, Ettiquete, dan banyak lagi. Bagaimana pun pembaca buku di Indonesia memang masih genit, posesif, dan agresif.

Dari kalimat sapaan Dian, saya semakin mengimani bahwa puisi tidak serumit di pelajaran sekolah atau teori-teori sastra perkuliahan. Barangkali sebab teori-teori semacam itu membuat Perguruan Tinggi sepi puisi. Sejak 2013, saya mulai giat menulis puisi dan setidaknya saat ini sudah terkumpul tiga buku puisi; Suket (Penerbit Worldwidereaders: 2016), Hening Sunyi dan Omah Suwung yang masih mencari penerbitan. Salah satu puisi mendapati Juara 2 di Unisma dan lainnya pernah singgah di majalah dan beberapa buletin. Selain puisi, saya sempat menulis dua cerpen Sihir Merpati Pematung Gagak (termuat di antologi cerpen gagasan Duta Pariwisata) dan satunya entah lupa judulnya. Ternyata tanpa sadar saya gemar menulis setelah menggemarkan diri dengan buku-buku.

sumber gambar: www.getscoop.com


Tiga buku puisi saya lahri bukan semerta-merta kalimat sapaan Dian untuk memasuki dunia puisi tetapi juga guru bahasa saya, Uun Nurcahyanti, yang meminta saya menerbitkan puisi “Kau harus menerbitkan buku puisi, Cil. Kutunggu”. Juga dalam sebuah sinau, kami pernah menulis dan membacakan janji di depan pengasuh Bilik Literasi, Bandung Mawardi, dan saya berkata “Saya berjanji sisa-sisa puisi saya akan terbit sebelum wisuda”. Memang, puisi saya banyak yang hilang setelah dua kali kehilangan laptop. Janji yang diamini banyak penulis itu pun menjadi sesuatu yang aneh, dari sisa-sisa puisi ternyat merembet pada puisi lainnya dan terlahir tiga buku sekumpulan puisi. Harapan saya, seluruh teman saya bisa menerbitkan buku puisi karena itu bakal lebih berkesan dan barangkali bermanfaat ketimbang skripsi.

Setelah sinau puisi dan berhasil menulis tiga buku, saya beralih sinau esai. Sayangnya, saya kurang tekun sehingga tak sedikit tulisan gagal diselesaikan. Ikhtiar saya untuk menulis dan mengirimkannya pada koran-koran pun hanya ikhtiar abal-abal. Tak begitu serius dijalankan. Dalam menulis esai, saya berguru pada Bandung Mawardi yang bagi saya adalah manusia buku. Di depannya, saya sulit bicara dan terbebani seolah sedang berhadapan dengan perpustakaan terbesar di Indonesia. Kalimatnya yang masih saya ingat adalah “Jika kau terus menulis, kau akan bertemu orang-orang yang menambah keimananmu dalam kepenulisan”.

Beberapa tulisan memang pernah saya kirim ke Kompas tapi selalu saja dikembalikan dengan pelbagai jawaban; topic sudah banyak yang membicarakan, tulisan tidak sesuai untuk Kompas, kesulitan mencari ruang tulisan, dsb. Memang saya terkesan membuang-buang tulisan karena di Kompas hanya menyajikan tulisan para ahli dan saya ini siapa? Tapi tujuan saya hanya membiasakan menulis esai dan saya suka Kompas karena ada balasan email, juga saya pelanggan koran tersebut. Bandung Mawardi dalam sebuah wawancara pernah mengatakan bahwa ia menunggu selama 8 tahun untuk melihat tulisannya termuat di Koran. Lantas, sudah berapa lama saya menunggu tulisan saya? Belum setahun atau setengah tahun atau sekian bulan.

Penyair
Dari sekian banyak penyair di negeri ini, saya masih jatuh hati kepada dua orang saja; Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo. Mengenai Sapardi, Bandung Mawardi pernah menulis: “Hari ini Spardi Djoko Damono masih menyapa kita dengan puisi. Usia tua tak bisa jadi alasan untuk istirahat dari puisi.” (Macaisme, 2013: 196). Sapardi memang masih terus berpuisi di usianya yang tidak muda lagi. Dari sekian puisinya, saya terkagum dengan “Dongeng Marsinah”. Puisi yang ditulisnya selama tiga tahun itu berkisah tentang buruh bernama Marsinah. Sapardi dalam sekian emosi akhirnya pun bisa berdamai dan menyebut Marsinah sebagai “arloji sejati” tanpa menyalahkan atau menuduh siapa atas kematian buruh tersebut.

Sedang Joko Pinurbo yang tak lain murid Sapardi, adalah lelaki yang mewarisi kesederhanaan Sapardi. Puisi-puisinya memakai bahasa anak-anak yang mudah dipahami tetapi sarat makna dan sentilan-sentilan. Puisinya yang paling saya kagumi adalah “Celana Ibu” yang berkisah tentang celana antara Yesus dan Bunda Maria. Imajinasi kanak-kanaknya membawa saya untuk membaca kesederhanaan Nabi ataupun Tuhan bagi kaum Nasrani tersebut. Bahwa sampai kapanpun kita adalah seorang anak.

Bagi mereka semua yang saya sebut, tidak ada alasan untuk tidak bergelut dengan tulisan baik membaca maupun menulis. Bagaimana dengan kita?

Rabu, 07 Juni 2017

JALAN LURUS



“Bahasa adalah tubuh pikiran”.
-Uun Nurcahyanti, pengasuh Bahasa

Di zaman yang semrawut bahasanya, rawan adanya pertikaian atau bahkan perang hanya karena kesalapahaman bahasa atau memang salah berbahasa. Definisi bahasa yang disuguhkan Uun Nurcahyanti di atas memang terkesan berat. Dengan kata lain, berbahasa itu lebih dari sekadar berpikir. Untuk berbahasa seseorang mesti bertarung dengan pelbagai pemikiran dan dalil yang kerap membingungkan. Maka, apa jadinya jika manusia merasa telah berbahasa tanpa berpikir terlebih dahulu atau sekadar menafsiri bahasa tanpa menggodok sekian pemikiran?

Seperti kalimat awal tulisan ini, kegagalan bahasa melahirkan konflik dilematis. Dunia yang paling riuh adalah dunia maya. Meski setiap penghuninya sadar bahwa dunia maya itu dunia yang tak nyata, tetap saja dijiwai senyata mungkin. Semacam ada keterbalikan dunia. Generasi saat ini lebih nyata di dunia maya dari kehidupan nyatanya. Di dunia maya, kegagalan bahasa kita sangat jelas bukan hanya bukti seringkali munculnya percekcokan tak jelas, tetapi dari hal remeh manusia-manusia menjawab pertanyaan. Misal saja pertanyaan Facebook, “Apa yang Anda pikirkan?”.

Jalan Lurus
Frase jalan lurus tidaklah seasing frase jalan pulang. Dalam sekian doa, turut disebutkan frase jalan lurus. Misal saja “Oh Tuhan, tunjukkan kami jalan yang lurus”. Lalu pelbagai tafsir dan dalil bermunculan. Jalan lurus adalah jalan yang direstui Tuhan. Jalan lurus adalah agama kita, agama paling benar. Jalan lurus adalah yang diridhoi Allah SWT. Jalan lurus adalah yang diberkati Almasih. Jalan lurus adalah yang dikasihi Buddha. Kita pun tenggelam pada definisi-definisi abstrak semacam itu dan barangkali tak pernah kembali pada definisi sederhana dari bahasa.

Kita coba sederhanakan makna jalan lurus. Jalan dalam KBBI (1976) dijelaskan sebagai “tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dsb)”. Sedang lurus dijelaskan sebagai “lempang (betul, tidak bengkok atau tidak lengkung). Jadi, ketika digabungkan frase jalan lurus secara sederhana bermakna “tempat lalu lintas orang ataupun kendaraan yang tidak bengkok atau lengkung”. Secara sederhana lagi, tempat untuk berjalan secara lurus, bukan bengkok ataupun zigzag. Lantas bisakah di zaman ini kita berjalan lurus atau doa tersebut tak lagi relevan dengan zaman yang serba bangunan?

Beberapa hari lalu, seorang teman berbagi kegelisahan bahwa ia telah terjatuh pada sebuah lubang tetapi ia enggan berbagi kisah karena dirasa memalukan. Saya menjawabi seperti ini:
Lubang memang tidak mesti selalu dihindari. Ada kalanya harus kita masuki walau melukai demi bisa memahami. Seperti itulah makna sebenarnya sirotol mustakim yang lebih dikenal dengan sebutan jalan lurus. Dengan logika paling sederhana pun, jalan lurus sangat mudah dipahami. Artinya kita harus berjalan lurus walau ada bebatuan, duri, ataupun lubang. Dengan kata lain, kita pasrah dan ikhlas menerima takdir kehidupan. Jadi, tak perlu berdoa dijauhkan dari segala kesusahan. Sesederhana itu, tetapi bukan berarti saat terjatuh di lubang kita berhenti berjalan. Jalan lurus adalah juga perintah jalan terus. Di ujung jalan kau akan kembali pada titik awal yang dinamakan pulang. Kembali pada pelukan Tuhan Yang Maha Rindu. Jika kau berbelok-belok, kau akan sulit menemui titik awal. Selamat sinau jalanan.

Seperti itu, saya kerapkali tak sadar menuliskan kalimat panjang dan setelahnya akan disibukkan dengan pelbagai pertanyaan dari dan untuk diri sendiri. Karena itu pula, saya suka mengobrol untuk menambah pengetahuan dan mengeluarkan hal-hal yang tersimpan dalam diri. Tapi jelas kalimat itu bukanlah alqur’an atau hadist karena saya bukan seorang ahli literasi seperti Nabi Muhammad, juga bukanlah wangsit karena saya bukan seorang tekun bertapa seperti Resi Sabda Palon, bukan juga hagada karena saya bukan seorang yang tekun membaca seperti Ras Yahudi, itu hanya makna sederhana yang tak perlu dipaksakan jadi salah satu pegangan hidup.

sumber gambar: dakwatuna.com

Bagi saya, jalan lurus adalah jalan kembali pada titik awal untuk bisa kembali pulang. Sekian ratus tahun lalu, hidup seorang bernama Shidarta Gautama. Ia bangsawan yang memilih menjadi pertapa untuk mendapat pencerahan. Ia melakukan perjalanan bertahun-tahun dan menemui banyak hal termasuk orang-orang menyiksa dirinya sendiri karena berkeyakinan bahwa tubuh adalah cangkang dari jiwa, sedang jiwa perlu dibebaskan. Maka, mati di tengah pengembaraan spiritual adalah kematian yang mulia. Shidarta pun meniru laku menyiksa diri dengan tidak makan, bergelantungan dengan kaki diikat di ranting besar sebuah pohon, mengubur anggota tubuh dari leher sampi kaki di sarang semut, dsb.

Suara hati Shidarta menentang paradigma yang bertahan bertahun-tahun itu. Bahwa menyiksa diri sendiri itu tidaklah benar, bahwa mati di perjalanan spiritual juga tidaklah dibenarkan. Akhirnya ia memilih jalannya sendiri, ia merdeka berjalan tanpa tujuan. Akhirnya ia bersemedi di puncak bukit dan tersapu angin sampai terjatuh pada sungai dan terbawah arus. Antara hidup dan mati, ia menyatu dengan alam lalu merasa bahwa dirinya benar-benar hidup tidak gentayangan tak jelas seperti sebelumnya. Dari situ, ia menyadari bahwa hidup adalah menerima takdir secara ikhlas dan meruwat diri juga semesta adalah pengabdian pada Tuhan. Lalu, ia dikenal dengan sebutan Buddha yang artinya manusi yang memperoleh pencerahan.

Lalu, apakah kemudian jalan lurus itu dimaknai sebagai jalanan lurus tanpa sedikitpun belokan atau justru belokan-belokan adalah bagian dari jalan lurus? Silahkan disimpulkan sendiri lalu diimani dan diamini sendiri. Dalam falsafah Jawa, kita mengenal istilah “Eling asale bakal eling baline (memahami asalnya bakal memahami kembalinya)”. Bukankah memang banyak ajaran yang mengajarkan dan mengajari cara berjuang di jalan lurus? Segala ajaran pastilah baik, jika tidak maka secara bahasa ia tak disebut ajaran melainkan hasutan. Maka, sekali lagi, sudahkah kita berjalan di jalan yang lurus?

Sabtu, 15 April 2017

SITI JENAR: KELAHIRAN METAFORA




Sejarah di negeri kita acapkali terlihat buram. Cerita-cerita memiliki pelbagai versi. Mengingat ulang cerita Syeh Siti Jenar, membawa kita pada ruang dan waktu yang benar-benar buta. Bukan hanya kematiannya yang masih dipertanyakan, kelahirannya pun seperti Gajah Mada tak terjamah sejarah. Apa negeri ini benar-benar negeri dongeng seperti yang didongengkan?

Konon, Siti Jenar mulanya seekor cacing yang mendengarkan ajaran penting Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga dan akhirnya disabda Sunan Bonang menjadi manusia. Meskipun cerita demikian tak bisa disentuh nalar, kita mafhum saja karena kita percaya seorang wali memiliki karomah atau keajaiban semacam mukjizat yang dimiliki seorang Nabi. Tentu tingkatan karomah di bawah mukjizat. Seperti cerita Sunan Giri yang diceritakan memiliki pena yang bisa berubah menjadi lebah yang kemudian menyerang prajurit-prajurit Majapahit. Lalu, sembari mengangguk-anggukkan kepala, kita percaya sebab ia seorang wali.

Metafora dan Tafsiran
Bagaimana jika karomah itu kita pahami sebagai metafora? Tentu kemudian kita terkejut membaca tafsiran Damar Shasangka, bahwa pena dan lebah hanyalah metafora puitika seorang pujangga. Sebenarnya — kata Damar dalam ebook-nya, Runtuhnya Majapahit (2010) — Sunan Giri hanyalah menulis artikel-artikel propaganda keislaman untuk menggrogoti Majapahit. Tentu dengan pelbagai dalil sebab ia seorang wali. Akhinrya, muncul gerakan-gerakan radikal kecil yang mencoba “jihad” melawan Majapahit. Seberapa kecil, jika banyak tentu bisa merepotkan prajurit Majapahit.

Damar Shasangka, penulis novel sejarah Sabda Palon (2011), memberi tafsiran yang bisa diterima akal sebab Sunan Giri adalah wali yang tergolong dalam Islam Putihan (islam putih) dan bercita-citakan mengislamkan Jawa. Bahkan ia sempat menjadikan pesantrennya — yang mestinya mengajarkan ilmu agama, justru menjadi politik pemerintahan — sebagai kerajaan yang bernama Giri Kedaton. Ia sendiri bergelar Prabu Satmata. Tentu kerajaan kecil dengan arogansi besar tak bisa berumur lama di dalam kerajaan sebesar Majapahit.

Memang saat itu, para wali sendiri terbagi dalam dua golongan; Islam Putihan dan Islam Abangan. Islam Putihan adalah golongan wali yang begitu fanatik terhadap Islam. Sedang Islam Abangan adalah golongan wali yang tidak sama sekali berniat menyerang Majapahit sebab memahami diizinkannya Islam berkembang di Nusantara saja sudah perlu disyukuri toh wasiat Sunan Ampel adalah orang-orang Islam dilarang menyerang Majapahit. Brawijaya V adalah pemimpin negeri yang syah.

Islam Abangan dipimpin Sunan Kalijaga. Tak heran, selain dalam berbusana yang tidak kearab-araban, dalam berdakwah ia bisa berakulturasi baik dengan budaya Jawa. Selain Sunan Kalijaga, nama Siti Jenar pun seringkali dikaitkan golongan Islam Abangan ini. Sebab yang menentang pertama kali rencana penyerangan Majapahit adalah dirinya. Justu ia berpesan sebaiknya Masjid Demak dihancurkan karena bakal menjebak umat dalam syariat.

Konon, demi misi penting penghancuran Majapahit, para wali menghukum mati Siti Jenar atas nama agama. Ia didakwah sebagai wali yang menyimpang dan mengajarkan kesesatan dengan bukti ia menganggap dirinya sebagai Allah. Tak heran, ajarannya lebih dikenal dengan frase Manunggaling Kawula Gusti (menyatunya hamba kepada Tuhan). 

Sumber gambar: ahmadkalimntan.blogspot.com
Kisah dramatis kematian Siti Jenar dituliskan Moelyono Sastronaryatmo dalam Babad Jaka Tingkir Babad Pajang (Balai Pustakan: 1981). Konon, tubuhnya mengeluarkan beberapa warna darah dan kembali pada tubuhnya. Ia tak mati. Ia kemudian moksa. Tiba-tiba penuh cahaya kemilau, lalu hilang. Ia hanya membuktikan bahwa pemahamannyalah yang benar. Cerita lainnya, ia mati seperti manusia umumnya. Sangat biasa.

Bahasa
Siti Jenar, kemudian kita tahu menjadi pemikir penting bagi pengembara spiritual. Pemikiran-pemikirannya tidak pernah usai dikaji kembali. Ia sosok wali yang memahami bahasa. Ia menyampuradukkan bahasa Arab dan Jawa demi mencapai pemahaman yang sempurna. Lalu apakah benar ia seekor cacing?

Kita tentu sangat setuju kalau cacing adalah hewan yang hidup di dalam tanah meski sekali-kali muncul di permukaan tanah. Bukankah Jawa memiliki ajaran bumi (tanah) bernama Siwa Buda? Lantas, tidakkah kita curiga bahwa semua itu hanyalah metafora. Siti Jenar adalah wali yang sembari berguru pada Sunan Bonang, ia mendalami ajaran leluhur di mana tanah diinjaknya. Memahami Islam sekaligus Siwa Buda.

Apakah para wali berbohong? Barangkali tidak. Dengan metafora, kita terlepas dari kebohongan. Itu hanyalah seni dalam berbahasa. Maka, celakalah siapa yang tidak paham bahasa. Tetapi jangan kemudian kita lebih sibuk memperdebatkan bahasa karena bahasa semestinya membantu kita menuju pemahaman. Seperti kata “Tuhan”. Manusia yang memberi nama, jangan sampai terjebak nama-nama. Siti Jenar alias Syeh Lemah Abang pernah berkata: bahasa memang penting tetapi menjadi tidak penting ketika hanya diperdebatkan.

Sekali lagi, ini bukan negeri dongeng. Ini adalah negeri yang kaya akan metafora, warisan dari para pujangga.












*Tulisan terbit hari ini di buletin sinau mingguan Aksara Edisi 6, 16 April 2017.