Rabu, 26 Oktober 2016

UNTUK AKTIVIS UNISMA



SELEMBAR BANNER UNTUK KANTIN PARKIRAN
Tulisan ini semacam surat terbuka untuk teman-teman aktivis kampus Unisma, entah yang bergiat di UKM, LGM, DPM, Himaprodi, ataupun BSO. Dengan penuh hormat, aku minta selembar banner dan juga minta tolong berikan pada Pak De Kantin yang hanya berpayungkan terpal di parkiran belakang Unisma. Terima kasih atas pertolongannya. Maaf, aku tak meminta langsung ke sekretariatan kalian semua karena keterbatasan waktu. Aku percaya, dengan tulisan semacam ini akan lebih bersuara dari suaraku jika mendatangi satu persatu kalian semua.
Sekitar pukul 11.50 siang tadi, Unisma diguyur hujan dan kebetulan aku di parkiran memilih ritual ngopi sambil menunggu hujan menjadi gerimis tipis. Ternyata, hujan bercampur angin membuka mataku bahwa kantin yang terlihat baik-baik saja itu akan memberi gelisah saat hujan sedikit arogan. Pak De Kantin (sebutan dariku yang lupa menanyakan nama) terlihat sangat sibuk melindungi warung dan pengunjung. Pertama-tama ia dan istrinya memakai jas hujan. Kemudian membalut stop kontak dengan kresek (demi menghindari konsleting listrik) dan berlari ke sana ke mari mencari kayu untuk memodifikasi sedemikian rupa atapnya agar tak ambruk karena genangan air. Katanya sambil tertawa “Jadi tukang dadakan, Mas”. Sesekali ia gunting (baca: sobek) terpalnya agar genangan air tak tertimbun di atas warung. Sekian kayu terpasang serabutan di atas kami dan sekian sobekan mengucurkan air, ternyata tak cukup melindungi kami dari hujan karena sapuhan angin. Beberapa kali Pak De meminta maaf dan kemakluman kami, mahasiswa yang menyeduh kopinya. “Kantin dalam kapan selesainya, Pak De?” tanyaku penasaran. “Katanya sih 4-5 bulan tapi entahlah mungkin bisa sampai satu semester” jawab Pak De dengan raut muka kecewa.
Ia pun bercerita bahwa mungkin sesegera mungkin diusahakan penutup warung yang lebih baik. Aku pun sarangkan meminta banner ke teman-teman UKM Unisma yang jaraknya hanya sekian meter dari warungnya Pak De. “Yapa yo ngomonge, sungkan karo arek-arek (bagaimana ya bilangnya, sungkan sama anak-anak)?” jawab Pak De, “tapi kemarin-kemarin ada yang janjiin cuma gak tau belum juga dikasih” lanjutnya. “Coba nanti tak ngomong temen-temen, Pak De siapa tahu ada banner nganggur” sahutku sebelum meninggalkan warung yang dulunya ada di kantin tengah dan menyaksikan cerita-cerita mahasiswa dari sekian tahun angkatan sebelum kita-kita.
Terima kasih untuk siapa saja yang sudah berfikiran memberi Pak De banner seperti yang diceritakan Pak De dan terima kasih untuk siapa saja yang setelah membaca tulisan ini berkenan memberikan banner atau semacamnya untuk modifikasi warung Pak De. Mungkin bagi sebagian kita, inventaris banner sangat penting tapi mungkin tidak kalah pentingnya mengingat Pak De membutuhkan banner untuk warungnya. Terima kasih siapa saja yang mau membaca, membantu menyampaikan tulisan ini pada aktivis Unisma, dan membantu doa.  

Jumat, 14 Oktober 2016

BUKAN UNTUK TETAPI TENTANG NUSRON WAHID




:tulisan ini hanya realitas belaka, jika ada nama tokoh dan tempat yang sama tentu bukan suatau kebetulan.

Aku tidak punya TV di tempat rantauhan tapi aku punya hati untuk sekedar melihat realita meski dengan kadar keterlambatan. Aku teringat kata Nusron Wahid dalam acara ILC dulu, “Kita orang Indonesia yang beragama islam bukan orang islam yang ada di Indonesia”. Kalimat tersebut disampaikan dengan gaya khasnya yang agak tegang seperti orang marah meski mungkin memang marah tapi tetap kuduga semua itu bagian dari gayanya bukan wujud amarah. Aku tak berniat ketemu Nusron Wahid sama sekali, aku hanya sedang mencari tentang FPI sebab saat itu, acara diskusi kami dibubarkan orang-orang tak dikenal, sebagian berpakaian preman sebagian memakai putih-putih seperti ciri FPI. Padahal, kami melaksanakan diskusi ilmuan yang diadakan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Malang) dengan tema Merawat Ingatan Marxisme dan Kekerasan 65. Sayangnya, tulisanku tidak berbicara tentang diskusi itu, tetapi kembali pada Nusron Wahid.
ILC kala itu membahas demonstrasi yang dilakukan FPI yang berujung ricuh dengan aparat. FPI menyarakan penolakan terhada Ahok atas nama agama. Dengat kata lain, FPI tak mau Jakarta dipimpin oleh manusia non-muslim. Maka, kalimat Nusron Wahid di atas sebenarnya lebih dari cukup untuk memberikan tamparan kita bahwa ini Indonesia, negara pancasila! Sekarang bumi Indonesia ramai lagi dengan sesuatu yang hampir sama, Ahok dan Islam dan kali ini bukanlagi dengan FPI melainkan MUI. Ironis memang, perselisihan atas nama agama. Obrolan ILC kali ini membahas kalimat Ahok yang katanya menghina agama islam, alquran, ahli tafsir prihal surat al-maidah dalam alquran. Perwakilan MUI yang notabennya ulama pun terlihat emosional dalam menyampaikan pendapat hasil rapat dan (mungkin) pribadi. Bahkan ia pun sampaikan hokum islam meski tidak dengan tuntutan yakni di antaranya adalah diusir dari Negara dan bahkan dihukum mati. Barangkali kalimat-kalimat dari MUI lah yang juga menular pada emosional Nusron Wahid yang akhirnya menegaskan bahwa segala teks itu bebas makna termasuk alqur’an dan yang paling paham tafsir surat almaidah adalah Allah dan Rasulullah bukan MUI atau siapapun.
Asik, ada sedikit kelucuan bagiku pribadi sebab atmosfer terasa panas meski aku meraba hanya dari intonasi dan mimik wajah para peserta ILC. Aku teringat tulisanku tentang setan yang terbuat dari api yang termasuk bagian dari unsur dalam diri manusia baik pada versi empat unsur; tanah, air, api, dan angin atau pun versi Pancamahabuta yakni lima unsur yang ketambahan unsur ruang. Artinya, kita berpotensi jadi setan itu sendiri dan tak seharusnya terus-terusan menyalahkan setan atas kelalaian kita. Aku katakana lucu karena Nusron berbicara tentang ilmu tafsir dan MUI berbicara tentang ilmu fiqih dan berdebat menanggapi Ahok yang berbicara ilmu politik. Ini sama halnya seperti temanku yang mengajak berbicara prihal Tuhan tapi ia berbicara tentang agama dan menjurus ke fiqih bukan tauhid.
Setelah lahir kalimat tandingan untuk MUI tersebut, Nusron Wahid panen kalimat yang bermakna sindiran, cacian, dan barangkali pujian. Gus Dur pernah mengatakan, semua agama menyampaikan pesan damai tetapi kaum ekstrimis memutarbalikannya. Dari kalimat itu, kita mundur lagi pada sejarah Majapahit, versi Damar Shashangka, bahwa saat kaum islam putihan dipimpin Raden Fatah yakni pihak Sunan Giri berhasil meruntuhkan Majapahit, Raden Fatah mendatangi janda atau Nyai Ampel dan mengabarkan berita penting tersebut. Bukannya senang atas pencapaian islam, Nyai malahan marah dan berpendapat bahwa Raden Fatah sangat bersalah yakni salah karena melawan pemimpin resmi Negara, melanggar wasiat Sunan Ampel yang melarang menyerang Majapahit seperti yang dilakukan Giri Kedaton yakni kelompok islam putihan yang bersebrangan pendapat dengan islam abangan seperti Sunan Kalijaga dan Siti Jenar, dan salah karena menyerang dan mengusir ayahnya sendiri yakni Brawijaya V.
Pendapat Nusron Wahid sangat menarik yang mengajak manusia islam di Indonesia berfikir merdeka akan makna. Senada dengan itu, aku pernah menyampaikan dalam forum RAB (Rumah Anak Bangsa) di Pare saat seorang teman yang hafal alquran menanyakan makna ayat yang berhubungan dengan tema perempuan “Alqur’an bukan milik orang islam, Injil bukan milik orang Kristen, begitupun kitab lainnya Taurat, Zabur dsb. bukan milik golongan tetapi milik siapa saja yang mau membaca dan memaknainya.” Kita pun mengingat Kartini yang dalam suratnya bercerita bahwa dirinya tidak mau membaca alqur’an karena dilarang memahami (pada masa itu memang Belanda hanya mengizinkan membaca).
Di lain kata, Gus Mus berpesan dengan bijak, “Kalau tidak mengerti politik, mbok sudah, rela saja tidak usah berpolitik, daripada membawa-bawa agama.” Ironis memang saat kaum agamis berpolitik dengan ilmu agama. Lucu bukan? Meski bukan lelucon! Lagi, kata Gus Mus, “ada yang sibuk memperdebatkan ibadah sampai lupa beribadah”. Selamat menunaikan ibadah apa saja atau sama denganku, beraksara dan berpuisi.

(hanya tulisan iseng, jangan dianggap serius nanti sakit hati sebab obatnya susah dicari)





Rabu, 12 Oktober 2016

PUISI UNTUK PARA PENCARI TUHAN



TUHAN BAHKAN
: untuk kawan yang sibuk mencari Tuhan dan mulai tak rajin ngopi

Bolehkah aku membohongimu dengan jujur, kawan?

Bahwa bahkan Tuhan tidak ingin bertemu denganmu saat ini bahkan mungkin esok dan esoknya esok dan esoknya lagi sebab Tuhan tak pernah merasa berpisah denganmu seperti yang terpikir olehmu dari orang sekitarmu untuk mewarisimu kebodohan.

Bahkan Tuhan tak akan pernah ditemukan dengan macam-macam teori yang kau pelajari sebab Tuhan tak pernah sembunyi bahkan di surge yang diiming-imingkan pemuka agama dan bersama-sama melupa makna innalillahi.

Bahkan Tuhan tidak pernah menuliskan apa-apa sebab Dia tidak butuh kata-kata meski untuk berkomunikasi.

Bahkan Tuhan tak suka diberi banyak nama sebab nama-nama membuat manusia berebut makna-makna dan nama-nama tak pernah muwujudkan-Nya.

Bahkan Tuhan tak suka agama dan Dia memilih tidak beragama sebab agama tak lagi jadi ageman; tali pegangan dan malahan menjadi tali lilitan; menghalangi pembebasan.

Bahkan Tuhan tak pernah melarang kita ngopi karena sembari ngopi kita bersantai dan berkesempatan berfikir banyak hal sampai pada-Nya daripada sibuk shalat berfikir dua hal saja; surga dan neraka.

Bahkan Tuhan sedang terlelap dalam gerak-Nya dan lincah dalan diam-Nya tanpa bertubuh dan berwaktu.

Bahkan Tuhan menyebut selain Dia adalah palsu, termasuk banyak bahkan yang mungkin sudah turut kau pikirkan.

Bahwa aku telah membohongimu dengan jujur, bahkan!




Catatan: Puisi hanyalah sebuah keisengan, tidak ada niatan serius untuk memberikan persembahan untuk, jadi redam emosi jika tersinggung, toh semua itu sudah kukatakan sebagai kebohongan yang jujur. Salam damai saja, kawan-kawan pencari Tuhan.