Minggu, 18 Desember 2016

Pemaksaan Simbolisasi Final Piala AFF




Bagi sebagian orang, yang dinamakan juara adalah nomor satu. Tidak dua, apalagi tiga. Begitu pula yang terjadi dalam persepakbolaan, juara dua adalah ia yang dikalahkan juara satu. Indonesia, yang menjadi juara dua Piala AFF pun lebih banyak disebut sebagai “pihak kalah” dariapada “juara dua” itu sendiri. Juara satu adalah harapan hampir seluruh masyarakat pecinta sepak bola di tanah air. Maka, wajar-wajar saja kita mendapati kekecewaan bersamaan mendapati kekalahan Timnas Indonesia.
Terlepas dari semua itu, Indonesia menjadi negeri yang suka akan prediksi-prediksi akan sebuah hubungan-hubungan. Khususnya kaum mayoritas negeri ini yakni muslim. Kasus penistaan agama dan aksi-aksi pembelaan berhasil dihubungkan dengan pelbagai ayat pada kitab suci Alqur’an. Piala AFF pun tak lepas dari penghubungan. Menjelang final, kita mendapati perhubungan antara Thailand vs Indonesia dengan ayat alqur’an yang menceritakan peristiwa pasukan gajah yang diserang pasukan burung.

Peristiwa Historis dan Lapangan
Diceritakan, pada peristiwa kelahiran Nabi Muhammad SAW, makkah digempur pasukan gajah yang mencoba mengahancurleburkan ka’bah—bangunan bersejarah Nabi Ibrahim—yang dipimpin Raja Abrahah. Dalam penyerangannya, pasukan gajah tiba-tiba diserang pasukan burung yang diyakini sebagai utusan Tuhan dan membawa batu dari neraka. Burung-burung menjatuhkan batu-batu yang diceritakan begitu panasnya dan membunuh pasukan gajah. Tahun di mana peristiwa itu terjadi, disebut “Tahun Gajah”.
Cerita tersebut dihubungkan dengan final Piala AFF dengan simbolisasi “Gajah” sebagai Thailand, dan “Garuda” atau burung sebagai Indonesia. Final yang mempertemukan dua Negara tersebut, kemudian diprediksikan dengan kemenangan pasukan burung atas pasukan gajah. Pada babak pertama, kita melihat “pasukan gajah” menyerang pertahanan “pasukan burung” terus menerus. Pasukan burung lebih terlihat bertahan. Barangkali sebab dengan skor imbang pun, pasukan burung akan keluar jadi pemenang. Hal ini kemudian menjadi awal kehancuran pasukan burung, sebab lama kelamaan pasukan gajah menemukan cela untuk “penghancuran”. Mereka berhasil membaca. Goal pun tercipta.
Babak kedua datang, goal baru pun tercipta lagi. Mentalitas pasukan burung benar-benar diuji, tetapi toh mereka tak menyerah ataupun putus asa. Gairah menyerang, datang. Jadilah keduanya saling menyerang. Permainan menjadi menarik. Sayang, memang kita kalah sabar dalam membawa bola. Barangkali skor dua kosong menjadi beban pikiran pasukan burung. Pasukan gajah yang menyadari dirinya menang pun, memilih berbalik arah yakni bertahan. Mereka diuntungkan, karena pasukan burung sudah kelelahan dan terganggu beban pikiran. Berbeda dengan pasukan burung saat bertahan di awal pertandingan, pasukan gajah masih semangat dengan waktu yang kian panjang. Kini, waktu tinggal bebapa menit saja. Pasukan gajah pun terlihat mengulur waktu dengan cidera “manja” dan pergantian pemain. Akhirya, tak satupun serangan pasukan burung berhasil menjebol gawang pasukan gajah.

Pemaksaan Simbolisasi
Lantas, bagaiman dengan simbolisasi yang terlanjur menyebar sekian luasnya bahwa pasukan burung pastilah menang atas pasukan gajah? Barangkali memang prediksi manusia sekarang tak seakurat manusia dulu seperti Prabu Jayabaya dalam Jangka Jayabaya, Prabu Siliwangi dalam Wangsit Siliwangi, dan Sabda Palon dalam Darmogandul. Ada semacam pemaksaan simbolisasi. Peristiwa yang terjadi di tanah Arab, dipaksasamakan dengan tanah Jawa. Burung Ababil pun disamakan dengan burung garuda. Apakah memang keduanya sama? Entahlah.
Sebenarnya, di Jawa kita sudah jauh-jauh hari mengenal simbol garuda dan gajah sebelum Islam masuk. Dalam Hindu ataupun Siwa Buddha yang sudah tumbuh kian lamanya di tanah Jawa, simbol garuda, dikenal sebagai Dewa Wisnu dan simbol gajah dikenal sebagai Dewa Ganesha. Dewa Wisnu adalah dewa kelahiran yang menjaga kelestarian alam semesta. Ia dikenal sebagai salah satu dewa dalam Trimurti yakni Wisnu, Brahma dan Siwa. Trimurti adalah keyakinan tiga dalam satu. Sedang Ganesha adalah dewa pengetahuan yang diyakini anak dari Dewa Siwa dan Parwati. Sebenarnya ia berkepala manusia tetapi kemudian dipenggal Siwa dengan maksud menghilangkan kesombongan Ganesha. Akhirnya, kepalanya digantikan kepala gajah.
Jika ingin ada pemaksaan simbolisasi, mungkin kita bisa mencoba sambungkan peperangan antara Wisnu dan Siwa yang merupakan bapak dari Ganesha. Dalam sebuah peperangan, Wisnu kalah dari Siwa yang berhasil menancapkan Trisula (senjata Siwa) pada dadanya Wisnu. Maka, kesimpulannya, kubuh gajah akan menang dari kubu garuda. Tetapi toh itu tidaklah akurat, kita tidak mampu memberi alasan-alasan rasional akan perhubungan keduanya. Dan barangkali, semua ini hanya dugaan yang kebetulan. Mungkin saja, itu terjadi pada banyak perhubungan lainnya; kasus penistaan agama dan aksi-aksi pembelaan agama. Jika bukan kebetulan, kenapa garuda kalah setelah diprediksi sekian cantiknya? Barangkali demikian.

Kamis, 15 Desember 2016

TULISAN TERLAMBAT “PEMIRA UNISMA”




Di hari pemilihan pemimpin, acapkali kita menemui antusiasme masyarakat dalam mendukung dan mendoakan calon-calon. Hal ini kemudian luntur, menjadi hanya ritual formalitas. Masyarakat sudah sekian kali tertipu dan kecewa dalam memilih pemimpin. Visi dan misi tak lagi menjadi kiblat pemimpin terpilih kedepannya. Maka, tahun ke tahun kita tak mampu mengurangi angka golput.
Universitas Islam Malang (Unisma) sebagai pedoman universitas-universitas berlabel “Nahdatul Ulama” se-Indonesia pun tampaknya tak mampu menyajikan contoh “baik” dalam Pemira. Hal yang paling menonjol terlihat adalah kecuekan mahasiswa Unisma dalam mengawal jalannya Pemira. Ini hanya tulisan sederhana yang sumber-sumbernya didapat dari percakapan-percakapan yang tak perlu saya rekam sebab ini bukan investigasi melainkan sekedar opini. Boleh diterima dan sangat boleh ditolak. Sekali lagi, tulisan ini sangat terlambat; terlambat untuk dipikirkan, terlambat untuk dituliskan, terlambat untuk dibagikan tetapi semoga tidak terlambat untuk sekedar dibaca dan dipikirkan ulang.

Realita Pemira
Saat Pemira berlangsung, ada saja suara-suara sederhana yang jika dipahami baik-baik bisa saja hilang kesederhanaannya “Ada acara apa yak kok banyak terop?”, “Ah males milih”, “Belum tahu milih yang mana”, dsb. Kita bisa simpulkan, bahwa mahasiswa memang tak serius memikirkan kepemimpinan di Unisma. Hal ini pun sebaiknya dianggap sebagai tamparan bagi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) selaku “penanggungjawab” Pemira. Pasalnya, suara-suara tersebut memberi kesimpulan lain yakni ketidaktertarikan mahasiswa meramaikan Pemira. Ada dua faktor yang patut diduga; Pertama, Mahasiswa Unisma tidak paham betapa pentingnya Pemira sebagai penentu sosok yang bakal memimpin dan peduli mereka. Meminjam bahasa Soekarno, sosok “Penyambung Lidah” Mahasiswa. Kedua, Mahasiswa Unisma tidak lagi percaya DPM sebagai penyelenggara Pemira.
Kita perlu mengapresiasi tulisan-tulisan Mahasiswa Unisma dalam beberapa blog; Hariono dengan judul Pemira Unisma Berjalan Secara Inkonstitusional (2016) dan Misbahuddin dengan judul Dinamika Kepemimpinan Kampus (2016). Hariono menulis secara rinci daftar kekecewaannya akan penyelenggara Pemira. Meski tulisan terkesan emosional dan tidak terlalu enak dibaca, semoga bisa memberi pemahaman bahwa inti dari tulisannya adalah Pemira pada tanggal 15 Desember 2016 tidak syah secara hukum dengan rangkaian penjelasan. Sedang Misbahuddin menulis secara umum pemahaman ulang akan perpolitikan di kampus yang seharusnya menjadi dunia saing mahasiswa dalam mewujudkan diri sebagai pewujud cita-cita mulia “agen of change” yang diharapkan mampu memberikan perubahan yang lebih baik dengan masing-masing ideologi tetapi kemudian, politik kampus disalahpahami sebagai perebutan posisi strategis. Tulisan, memberi kita pemahaman cara bersaing ala mahasiswa, terkhusus bagi “aktivis luar” atau OMEK yang seringkali menjadi organisasi yang begitu peduli pada kursi kepemimpinan “Presiden Mahasiswa”. Sekali lagi, kita perlu mengapresiasi mereka berdua yang menunjukkan kepeduliaan mereka pada Unisma dengan laku menulis. Barangkali, masih ada tulisan-tulisan lain yang berbicara prihal Unisma.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Unisma pun terbilang cuek mengawal Pemira kali ini. Tahun lalu, kita masih mendapati LPM Fenomena berbagi lembaran Buletin Fenomena (Bulfen) yang berisi tulisan-tulisan calon pemimpin baik lingkup Universitas atau Fakultas. Meski tak semua tulisan bisa diterbitkan terkait izin penulis, setidaknya LPM Fenomena sudah menunjukkan kepeduliannya dalam mengawal Pemira. Kala itu, LPM Fenomena menilai bahwa dengan membaca tulisan-tulisan calon pemimpin, mahasiswa Unisma bisa mengukur “kadar interlektualitas” masing-masing calon. Kita pun tak seharusnya menghakimi LPM Fenomena, sebab ini bukan tugasnya mencakup wilayah Universitas, ini tugas UKM Pers Kanjuruhan yang tidak bisa dihidupkan kembali dengan pelbagai alasan. LPM Fenomena FKIP, LPM MEI FE dan LPM Radix F. Pertanian adalah Pers ligkup fakultas yang disibukkan dengan tuntutan majalah. Semoga UKM Pers Kanjuruhan Unisma bisa hidup kembali dan mengawal kebijakan-kebijakan Unisma demi kemaslahatan bersama.
Dalam tulisan ini pun, saya menyampaikan maaf pada penyelaggar Pemira karena tidak jadi nyoblos. Saya katakana tidak jadi karena kami (saya dan teman-teman kelas) sudah menuju lokasi dan ternyata Pemira sedang break (istirahat duhur) dan kami disuruh menunggu sampai puku 12.00 yang saat itu masih 11.30. Artinya, kami mesti menunggu 30 menit untuk bisa nyoblos. Gila. Itu kesan pertama saya. Pemira yang berlangsung setengah hari saja mesti break untuk waktu duhur. Akhirnya, kami tak jadi nyoblos. Kami pulang ke masing-masing kos sebab kami tak merasa butuh Pemira dan barangkali Pemira pun tak butuh kami. Maka, mungkin kita memang tak saling butuh.

Masa Depan Unisma
Apapun yang telah terjadi, patut kita jadikan pelajaran; ingatan dan peringatan sebagai bekal kedepannya dan siapaun yang terpilih, patut kita dukung dan kawal untuk menuju Unisma yang dicita-citakan. Perlu diketahui, bahwa Unisma didirkan pembaca buku. Sebut, KH. Oesman Mansyur seorang pembaca tekun sampai membuat istrinya cemburu pada buku. Tiada hari tanpa membaca. Indonesia pun diperjuangkan para pembaca buku. Sebut Soekarno, Hatta, Gie, Tan Malaka bahkan mereka pun tak segan untuk berhutang buku.
Laku berbuku membawa mereka pada pemahaman-pemahaman penting. Mereka mampu melihat masa depan dengan berkaca pada sejarah di balik buku-buku. Ideologi masing-masing tak menghalangi satu pemahaman penting bahwa Indonesia haru merdeka! Maka, semoga mahasiswa Unisma lebih tekun membaca terkhusus pemimpin-pemimpin yang dipercaya memberi perubahan yang lebih baik. Barangkali seperti itu.

Daftar Rujukan:

Rabu, 07 Desember 2016

SURAT UNTUK CAPRES CAWAPRES UNISMA




Dengan segala hormat, aku sampaikan salam restu untuk kalian semua; Capres & Cawapres dengan masing-masing nomor urut yakni satu dan dua. Maaf untuk memakai diksi yang mungkin tidak sopan yakni aku dan kalian, bukan saya dan anda semua. Sudah beberapa hari, mungkin beberap minggu, yang lalu aku mendengar prihal Capres & Cawapres untuk BEMU sebagai organisasi intra tertinggi di kampus Unisma yang juga semakin menjulang tinggi. Maksudku gedung-gedungnya dan barangkali prestasinya juga.
Tulisan ini bukan sebuah nasehat atau semacamnya, melainkan permintaan maaf saja. Sebenarnya seperti itu, tapi entah apa jadinya karena seperti keyakinanku bahwa kata milik penulis dan makna milik pembaca. Jadi silahkan dimaknai apa saja. Dari lubuk hati yang terdalam, aku sampaikan mohon maaf karena masih belum bisa memilih dan mungkin tidak memilih nantinya.
Aku belum tahu atas dasar apa, aku memilih?
Aku memang bukan orang yang cerdas dalam hal memilih dan memilah tetapi aku cukup cerdas untuk memilih kenihilan atau tidak memilih siapapun dan tidak berpihak manapun. Selain tidak cerdas, aku pun tidak mudah percaya. Tidak saja pada orang lain, bahkan pada diri sendiri pun aku sering tidak percaya, maksudku tidak percaya diri.
Aku tidak bisa terburu-buru untuk memilih dengan hanya membaca visi dan misi kalian. Kupikir semua yang normal tahu bahwa visi dan misi itu selalu berisikan kalimat-kalimat baik dan mulia. Karena pemahaman itu pula aku sampai sekarang belum membaca visi misi kalian dan mohon dimaafkan jika memang menulisnya dengan penuh keikhlasan.
Aku tidak bisa terburu-buru untuk memilih dengan hanya menyaksikan perdebatan kalian. Aku sempat beberapa menit menyaksikan perdebatan dan aku pun sudah bersiap diri untuk prihatin sebelumnya. Perdebatan hanya bertujuan saling menjatuhkan. Berbeda dengan musyawarah yang saling menolong yang terjatuh untuk sama-sama bangkit.
Aku belum tahu atas dasar apa, aku memilih?
Kenal pun tidak. Harap makluk karena aku memang bukan aktivis di BEM ataupun DPM, aku hanya mahasiswa yang suka semua hal tentang puisi; membaca puisi dan menulis puisi, bukan mahasiswa yang suka kedudukan (baca: politik). Bahkan sampai sekarang pun aku belum kenal sebatas nama kalian apalagi sikap dan pemikiran.
Aku sempat menulis puisi, siang ini:


PEMIRA UNISMA

Justru aku mendukung kalian Capres dan
Cawapres dengan cara tidak memilih.

Jika aku memilih salah satu saja, aku menjatuhkan
satu lainnya. Jika aku memilih keduanya, tentu
sangat bodoh sekali diriku membuang—
buang waktu.

Jika aku memilih nomor satu saja, aku
tak adil pada nomor dua. Padahal satu dan dua
prihal urutan saja. Sejatinya mereka saudara sebangsa;
bangsa angka.

Lalu, jika aku mesti memilih, atas dasar apa?
Pada kalian aku bertanya.

Kecerdasan?
Aku tak cukup cerdas menilai kecerdasan kalian.
Kenalan?
Aku tak sama sekali kenal kalian.
     Kepercayaan?
     Aku seringkali tak percaya diri apalagi selainku.
     Kasihan?
     Aku lebih kasihan jika kalian terpilih.

Rasa-rasanya memang aku tak ada dasaran untuk memilih
kecuali hati nurani.
Baiklah. Akan kutanyakan pada hati nuraniku,
harus memilih siapa dan jika ia membisu,
aku janji untuk tetap memilih;
kenihilan.


Itulah sekelumit puisiku untuk kalian dan siapa saja yang mau membaca. Inti dari semuanya adalah, aku masih menunggu hati nurani untuk sekedar memutuskan pilihan. Dengan kata lain, tanpa nurani, siapapun dirimu, apapun visi misimu, apapun warna benderamu, maaf aku tak berani memilih. Sekali lagi maaf.

Sabtu, 05 November 2016

AGAKNYA SEJARAH TERULANG; ARABISASI VS ISLAMISASI




Di tengah simpangsiurnya berita penistaan kitab suci alqur’an, ada yang menyentil saya kala membuka Facebook; ada sebuah gambar dibagikan seorang pengguna yang bertuliskan “Arabisasi Radikal Berkedok Islam vs Islam”. Tentu saja, tulisan tak sekedar ditulis asal-asalan, mari coba kita pahami bersama tetapi jangan nanti di antara kita menghadirkan kasus baru, bisa saja “penistaan gambar suci” karena di dalam gambar ada beberapa foto kiyai dan kita tafsiri tanpa mengundang ahli tafsir gambar. Maka, anggap saja kita berlatih menafsiri gambar yang mana namanya latihan penuh dengan kemakluman. Apa yang anda pikirkan kala melihat gambar tersebut? Bisa saja anda berpikir bahwa “ah foto itu kan Cuma editan untuk memperpanas suasana”, “ah gambar itu tak berlandaskan apa-apa”, dsb. dst. Bisa saja anda berpikir demikian dan tentu itu tidak dilarang.

Sejarah Islam di Nusantara
Islam di Nusantara tumbuh subur paskah runtuhnya Majapahit yang diyakini sebagai kerajaan Hindu meski rakyatnya dibebaskan beragama selama bisa hidup rukun dan memang begitulah tujuan agama diciptakan; menjaga kerukunan. Mari coba selami zaman Majapahit karena ada beberapa hal menarik di dalamnya yakni perpecahan pemikiran Islam oleh anggota Wali Songo. Damar Shasangka di dalam blognya berbagi ebook sejarah runtuhnya Majapahit. Ia memaparkan ada dua kubu Islam di zaman Majapahit yakni putihan dan abangan. Konon, disebut putihan karena memang mereka meyakini dirinya islam murni seperti yang di Arab alias tidak ada campuran apapun. Sedang abangan adalah islam yang disesuaikan adat dan budaya Nusantara. Di kubu putihan, ada Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, dsb. Sedang di kubu abangan, ada Sunan Kalijaga dan Syeh Siti Jenar.
Bagi kubu putihan, Nusantara khususnya Jawa di mana mereka berpijak harus segera diislamkan. Artinya, Majapahit harus diruntuhkan. Maka, disiapkannya langkah-langkah pengahncuran Majapahit. Mula-mula mendirikan pesantren Giri yang kemudian berganti kerajaan Giri Kedaton. Brawijaya V selaku raja saat itu memang seringkali dikatakan bersifat lembek pada permaisuri dan selirnya yang kemudian disindir keras oleh rakyat Ponorogo dengan menampilkan tarian berwujud macan yang dimahkotai merak yang kemudian dijelaskan bahwa macam adalah simbol raja yakni Brawijaya V sedang merak adalah selirnya (yang meminta keistimewaan untuk Islam seperti menjadikan Ampel sebagai pusat kajian Islam). Artinya, raja yang seperkasa macan sekarang tak berkutik (lembek) di bawah selangkangan burung merak yang tak lain selirnya. Ini adalah peringatan serius rakyat Ponorogo yang kemudian memisahkan diri dari Majapahit. Sedang bagi kubu abangan, Nusantara tak usah diislamkan karena tidak ada diskriminasi agama. Agama islam boleh berkembang dan tokoh-tokohnya boleh menyebarkan syariat, sudah perlu disyukuri. Nantinya, kedua tokoh abangan menjadi guru spiritual masyarakat Jawa yang sering disebut sebagai aliran kebatinan, Kejawen, dsb.
Setelah pesantren Giri menyebut dirinya sebagai Giri Kedaton dan mengangkat Sunan Giri sebagai raja yang menggelari dirinya sendiri dengan sebutan Prabu Satmata atau raja yang memiliki enam mata, Majapahit murka dan menyerang Giri Kedaton. Perlu dijelaskan bahwa gelar Prabu Satmata adalah sindirian dan barangkali penghinaan terhadap Hindu yang menyembah dewa bermata tiga yakni Siwa. Kemudian Sunan Ampel, mahaguru para Wali Songo memintakan ampun pada Brawijaya yang kemudian membebaskan Sunan Giri. Sunan Ampel pun berfatwa bahwa umat Islam dilarang menyerang Majapahit. Konflik atas nama agama pun mereda, tetapi diam-diam kubu putihan menyebarkan paham radikal bahwa Nusantara (baca: Jawa) harus Islam. Pendek cerita, Sunan Ampel meninggal dunia. Brawijaya telat menyadari bahwa wilayah Demak yang dipercayakan pada anaknya sendiri, Raden Fatah, telah menjadi markas islam putihan yang dipakai pematangan rencana penghancuran Majapahit.
Kehancuran Majapahit alias keberhasilan islam putihan akan rencananya tidak membuat Nyai Ampel senang, malahan marah karena menilai Raden Fatah melakukan kesalahan-kesalahan yang fatal; menyerang raja selaku imam resmi semua golongan, melanggar fatwa Sunan Ampel dan mengusir bapaknya sendiri yakni Brawijaya V.

Islam dan Indonesia
Kejadian di atas agaknya ada kemiripan dengan apa yang terjadi di negeri ini. Yakni islam nampak pecah, ada yang berjihad membela alqur’an dan ada yang diam berdoa kedamaian. Sangat disayangkan karena beberapa kubu perpecahan saling berpendapat benar bahkan saling menghina. Di kubu “jihad” mengatakan bahwa wajib ikut aksi membela alqur’an bahkan ada yang sampai mengatai yang tidak iku sebagai pembela kafir. Di kubu “damai” mengatakan bahwa semuanya salahpaham; tidak ada penistaan alqur’an dan sangat disayangkan sampai mengatai yang aksi adalah islam kurang ngaji. Maaf, bahwa tidak ada niatan memperkeruh suasana dan menggeneralisasikan kubu ataupun memecah islam.
Bagi saya pribadi, tidak ada yang salah dan juga tidak ada yang benar karena memang tidak ada neraca benar-salah yang disepakati. Artinya, yang bagi kita benar belum tentu benar bagi yang lainnya. Salah satu faktor perpecahan memanglah salahpaham dan keterburu-buruan. Bagi yang berangkat aksi membela alqur’an, mungkin sebelumnya sibuk bekerja, kuliah, dsb sampai tak sempat membaca dari akarnya bahwa tidak ada unsur penistaan alqur’an oleh Ahok yang mengatakan “dibohongin pakai almaidah” dan videonya diunnga Yani dan ditranskip “dibohongi almaidah” bahkan dengan judul bombastis yakni “Penistaan Agama?”. Terlepas ini sengaja atau tidak tetapi itulah akar permasalahannya. Bayangkan, saudara muslim yang tak sempat mengaji permasalahan tiba-tiba diajak aksi dengan nama bela alqur’an ataupun bela agama, “ayo ikut aksi bela alqur’an”, kemudian bayangkan mereka kaget dan kebingungan, “Loh ada apa kok membela alqur’an/ membela agama?”, bayangkan lagi dijawab “Ahok menistakan alqur’an, menghina almaidah. Kita harus ke Jakata aksi membela alqur’an”. Gerakan yang besar dan pemberitaan yang gencar mungkin takkan membuat mereka berpikir dua kali untuk membaca permasalahan. Terpenting adalah jihad membela alqur’an membela agama.
Gambar yang dibagikan salah satu pengguna Facebook.
Sedang yang barangkali agak nganggur, sempat membaca ulang permasalahan. Lah wong ternyata ada kesalapahaman karena di video dan di transkipan tidaklah sama. Maka, mereka berpikir bahwa tak perlu ikut aksi karena memang ada kesalapahaman. Banyak yang menduga di balik aksi ada beberapa kepentingan khususnya kepentingan politik persaingan pilkada Jakarta. Dan barangkali seperti gambar yang saya ceritakan ada kepentingan arabisasi yakni mengarabkan suatu wilayah. Perlu diingat kembali bahwa misi Nabi itu akhlak dan islam sendiri adalah agama keselamatan. Artinya siapa yang akhlaknya baik adalah orang yang islami dan akan selamat (islam). Maka, orang islam bukanlah yang selalu memakai jubbah dan bisa berbahasa arab tetapi yang berkahlak islami.
Kesimpulan dari semuanya adalah kita tak usah terburu-buru sehingga melupakan ayat pertama sekaligus perintah pertama Tuhan yakni “bacalah”. Setelah membaca, jangan lupa diobrolkan dengan teman dan kalaupun bisa, dengan para ahli. Aku ingat kata seorang teman yang adalah seorang santri mengatakan bahwa kiyai-kiyai di wilayah bekas kerajaan Majapahit itu banyak yang berhasil memahami islam termasuk ketauhidan islam, sedang di luar wilayah itu kiyai-kiyai hanya sibuk berbicara fiqih; hukum halal-haram. Ingatkah kita dengan pertanyaan Gus Dur yang kurang lebih berbunyi “Apakah Nabi Muhammad akan tetap memakai jubah jika hidup di zaman sekarang atau malah memakai jas?”. Bagi saya, Gus Dur menyampaikan pesan bahwa Islam dan Arab itu perlu dibedakan. Kita pun diingatkan Nusron Wahid bahwa kita ini orang Indonesia yang Bergama Islam bukan orang Islam yang ada di Indonesia.
Maka, yang perlu diproses hukum adalah Yani selaku pentranskip video Ahok, bukan Ahoknya kecuali jadi saksi. Terima kasih Indonesia, ibu pertiwi yang terus menyusui kami-anakmu yang sedang salahpaham-jangan bosan-bosan menyusui kami, Bu!