Senin, 22 Agustus 2016

CERITA TUHAN PADA SECANGKIR KOPI




Ijinkan aku berbicara ngelantur atau omong kosong atau apalah untuk malam ini. Percayakah kau bahwa dalam secangkir kopi ada banyak kata yang sulit dimengerti? Malam ini aku sedang duduk dengan secangkir kopi, dan tentu ada wi-fi yang menjadi pasangan warung-warung kopi modern. Kopi ini mengajak bincang-bincang prihal dunia bahwa:
Awalnya Tuhan hidup sendiri, murni tiada kawan atau pun lawan. Ia yang awal dan yang akhir. Maka, ia menciptakan makhluk yang tak lain dari cahayanya sendiri. Dalam bahasa Arab, kita mengenalnya dengan istilah Nur Muhammad yang artinya cahaya terpuji dan dalam bahasa lain kita mengenalnya dengan istilah Roh Kudus atau jiwa yang suci. Dalam tulisan ini, yang kupakai adalah Nur Muhammad saja, karena bakal berhubungan dengan syahadat dan lainnya.
Seiring berjalannya waktu, Nur tersebut mengalami perjalanan syahadat.  Pertama, ia bersaksi bahwa tiada Tuhan. Ia demikian karena hanya melihat dirinya. Barulah saat melihat Allah, ia bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah dan dirinya yang terpuji adalah utusan-Nya. Maka, saat itulah Tuhan menjadi Khalik atau Pencipta. Apakah Tuhan bisa disebut Khalik tanpa adanya makhluk? Ah, tak usah kujawab, karena kau berhak atas jawabanmu sendiri.
Suatu ketika, Tuhan menciptakan manusia dan kau pun tahu Tuhan menggunakan mantra terkenal-Nya yakni Kun Fayakun. Jika kau pisah, bakal kau temui bahwa Kun itu sebuah kepalsuan dan Fayakun adalah lebih nyata meskipun bagiku juga sebenarnya palsu. Ada jeda di antara Kun dan Fayakun yang mesti dilihat pelan-pelan. Dan Tuhan meniupkan ruh pada manusia sehingga ia hidup. Kau tahu, ruh yang dimaksud adalah roh kudus atau Nur Muhammad yang ku tuliskan di atas.
Apa kau pernah mendengar bahwa Nabi Muhammad saat ditanya prihal dirinya, menjawab “Ana ahmadun bila mim waa ana ‘arobun bila ‘ain” artinya aku adalah ahmadun tanpa mim (ahad) dan aku adalah ‘arobun tanpa ‘ain (robbun). Dan kau tahu apa arti semua itu? Muhammad mengakui adanya Nur Muhammad dalam dirinya. Itu adalah ilmu tauhid yang katanya tak semua bisa mempelajari. Santri Nabi yang bernama Abu Hurairah pun pernah mengaku “Aku diberi sekantong ilmu oleh Nabi yang mana separuhnya diperintah menyebarkan dan separuhnya lagi tidak. Apabila yang separuhnya kusebarkan, aku bakal dibunuh sebab dianggap halal darahku”. Dan pernahkah kau mendengar cerita tentang manusia Jawa yang bernama Siti Jenar? Manusia yang mengabarkan bahwa ada ilmu manunggaling kawula gusti yakni ketauhidan.
Baiklah, daripada kau bertanya-tanya siapa dia dan cerita yang mana, lebih baik kuceritakan sedikit tentangnya. Ia adakah seorang wali yang masuk dalam kelompok wali dengan nama Wali Songo (wali Sembilan). Dia memisahkan diri sebab berbeda pemikiran dengan para wali lainnya. Ia sempat protes kenapa dalam setiap pertemuan yang dibahas adalah penghancuran kerjaan Hindu terbesar di Jawa yakni Majapahit. Melihat semua itu, aku pribadi meragukan niat penyebaran islam wali songo di Jawa. Adakah niat tulus mereka yang sampai atau malah nafsu mereka yang sampai di Jawa? Bukankah Tong Sam Chong memilih jalan setapak dalam pengambilan kitab suci meski nafsunya yang berwujud Sun Go Kong sangat mampu mengambilnya dengan satu lompatan?
Singkat cerita Siti Jenar dibunuh sebab dianggap menyebarkan ajaran sesat yakni kemanunggalan diri dengan sang pencipta. Ia mengabarkan adanya Tuhan atau lebih spesifiknya adanya bagian dari Tuhan yakni Nur Muhammad pada dirinya. Maka ia bersaksi bahwa dirinya adalah Allah dan Muhammad adalah utusannya. Jika ditanya di mana Siti Jenar, ia mengaku bahwa dirinya Allah dan jika ditanya di mana Allah ia mengaku bahwa dirinya Siti Jenar. Artinya ia sangat sadar asal usulnya yakni ketiadaan. Bahwa manusia awalnya tiada lalu ada, maka mestinya sadar diri dan kembali pada tiada bukan bermimpi kekal seperti Tuhan dengan membayangkan surga. Ah, manusia terlalu hafal usholli tanpa mau menyelami makna di baliknya. Dengan usholli mari mengasal usul diri.
Kau masih ingin membuktikan surga dan neraka? Jangan memakai dalil adanya rukun iman akan yang gaib lalu segala imajinasimu kau bilang bagian dari kegaiban pada rukun iman. Surga adalah kebahagiaan bukan tempat yang membuatmu bahagia. Bedakan kebahagiaan dan tempat yang membahagiakan! Apa kau sadar, surga yang sudah terbayangkan dan terceritakan manis dari bibir ke bibir adalah tempat yang sangat duniawi. Adanya bidadari yang siap melayani, apakah surga itu tempat pelacuran semacam itu. Bagaiman dengan kata akhirat? Bagiku, akhirat adalah kita temu saat kita terlepas dari dualitas dunia atau duniawi yakni tidak senang ya tidak susah, tidak di Barat dan tidak di Timur, kita berdiri di tengah segalanya. Seperti lakon Gatoloco yang diceritakan berasal dari tengah jagat.
Begitulah cerita singkat dari secangkir kopi asal penciptaan manusia, apa kau mengerti? Jadi dalam diri manusia itu yang namanya Nur Muhammad yang sering dianggap sebagai Allah itu sendiri. Dalam kitab Bayanulloh, diceritakan banyak manusia salah kaprah dalam pencarian Tuhan, baru melihat bayangan putih saja sudah mengaku melihat Allah, padahal itu adalah Nur Muhammad, yakni hanya cahaya-Nya saja. Atau yang lebih lucu, mungkin bagi sebagian orang saja yang menganggap lucu, adanya Baitullah di Arab Saudi yang pernah disinggung Siti Jenar, mana bisa Tuhan yang sebegitu perkasanya terikat oleh geografis bumi dan hanya ada di Arab. Bagi manusia Jawa semacamku, menganggap bahwa segalanya yang ada di luar diri itu palsu dan yang asli ada pada masing-masing diri. Itulah sebabnya kenapa manusia disebut sebagai jagat alit atau dunia kecil.
Jadi, boleh kan kubayangkan seperti ini saat Ibrahim meletakkan batu di Arab sana di depan Ismail, “Nak, batu ini kuletakkan bukan untuk apa-apa atau siapa-siapa, melainkan hanya sebagai pengingat bahwa dalam diri manusia itu ada semacam batu ini.” Wah puitis sekali Ibrahim dan Ismail. Apalagi saat adegan penyembelihan, “Nak, aku bermimpi diperintah menyembelihmu”. Aku tak sanggup membayangkan seorang Bapak yang kuat berkata demikian pada anaknya.
Ah sudahlah, kopiku sudah mau habis, kapan-kapan dilanjut lagi di lain kopi di lain hati,…

Rabu, 17 Agustus 2016

SURAT UNTUK DIRI



:surat terbuka untuk kelompok PPL KKN Terpadu SMPN 13 Malang

Selamat berwaktu untuk kita semua. Di perjalanan PPL KKN Terpadu kita yang hanya tinggal sekian minggu lagi, nilai apa sajakah yang sudah diperjuangkan teman-teman selama ini. Mari mulai intropeksi masing-masing diri. Selain nilai PPL atau pun KKN, adakah yang sudah memperjuangkan nilai kekeluargaan, kemanusiaan, atau pun nilai kemanfaatan sesama. Terima kasih untuk siapa saja yang telah memperjuangkan nilai-nilai tersebut. Dalam nilai kekeluargaan, mestinya tak usah ada yang namanya iri, tapi bagaimana pun kita manusia biasa bukan Muhammad Al Mustofa, Yesus Al Masih, Sidarta Gautama, Yasudev Kresna yang sudah suci dari sifat iri.
Aku melihat rasa iri pada keluarga kita; iri saat teman tidak bekerja, iri saat teman tidak ke sekolah, iri saat teman pulang terlebih dulu, dan iri-iri lainnya yang tak usah kusebutkan dan tentu tak usah kita permasalahkan. Aku tak bermaksud menyidir, menghina, atau pun memojokkan siapa-siapa karena aku sendiri juga masih belum suci dari iri. Maksudku menulis semua ini adalah mari bersama-sama menghilangkan atau setidaknya menyembunyikan rasa iri kita. Alangka baiknya, saat ada teman yang tidak masuk tanpa kabar, kita doakan ia tetap sehat tidak sakit atau pun kecelakaan. Saat ada teman yang tidak bekerja, kita ingatkan atau ajak dengan baik-baik. Bagiku, sejatinya batas manusia dengan lainnya itu hanya mengingatkan, kita tidak berhak menghakimi sesama. Tuhan memberi kebebasan, hanya manusia kemudian melakukan kesepakatan yang melahirkan batasan-batasan.
Maka, dengan tulisan ini, aku menolak usulan absensi untuk teman-teman yang berhalangan hadir seperti tadi meski tanpa kejelasan. Tidak usah kita memberi Alpa pada keluarga kita sendiri. Kita tak usah menghakimi anggota keluarga seperti itu, hanya akan melahirkan dengki dan barangkali dendam. Saling mengingatkan, musyawarah, dan pendekatan dari hati ke hati adalah sistem kekeluargaan. Jika kita memakai hak dan kewajiban, maka bukan lagi keluarga melainkan rekan kerja yang berpusat pada nilai profesionalitas. Dan kau tahu, itu sangat membosankan sebab kita sibuk saling menyalahkan dan menyembunyikan kesalahan.
Muhammad ibnu Abdillah alias nabi kita diutus sebagai penyempurna akhlak, lalu jika kita sibuk menyalahkan teman, adakah kita membantu misi penyempurnaan akhlak dan bakal mendapatkan syafaat? Jika kau jawab “iya”, barangkali shalatmu kurang satu rakaat. Dan jika kau mempermasalahkan tulisan ini, barangkali shalatmu kurang dua rakaat. Akhir kata, selamat menata niat. Niat ingsung PPL lan KKN kelawan bangun seduluran lillahi ta’ala (Saya berniat PPL dan KKN dengan membangun kekeluargaan karena Allah ta’ala).

Ttd
REKTOR PPL