Selasa, 26 Desember 2017

KITA(B)



Sekian abad lalu, ada petani-petani miskin yang seringkali memanen kuburan untuk tetap bertahan hidup. Tentu saja, bukan di Indonesia melainkan di negeri yang penuh padang pasir; Mesir. Peradaban tua mewariskan barang-barang antik untuk dicari dan dimiliki. Lalu di suatu hari dalam sebuah gua kecil ditemukan jenazah yang terbalut kain kafan. Tak jauh darinya ada jenazah-jenazah yang kemungkinan keluarganya. Lalu:

Buku-buku berharga orang itu berada di sebelahnya, tertututp dalam sebuah kotak batukapur putih (hlm.2).

Salah satu buku di dalamnya ternyata sebuah Injil yang termasuk salah satu Injil Gereja Perdana dan paling provokatif; Injil Yudas. Buku menjadi representasi laku hidup jenzah tersebut. Mati harus bersama barang yang dicintai dan ia telah dikubur bersama buku-buku. Cerita di atas merupakan cuplikan dari kisah pencarian Injil Yudas oleh Herbert Krosney dalam The Lost Gospel (Gramedia: 2006). 

Di Jawa, tentu berbeda budaya. Beradab lalu, kita mengenal istilah moksa yang diyakini sebagai mati yang sempurna. Moksa secara sederhana dipahami sebagai pelenyapan diri dengan melebur bersama semesta. Tak heran, tokoh-tokoh sentral di masing-masing masanya hampir tak bisa dijumpai kuburannya. Mereka diyakini moksa dan jejak hidupnya hanya menyisakan petilasan-petilasan dan cerita-cerita. Petilasan menjadi artefak yang menegaskan bahwa di tanah ini keheningan, kesunyian, maupun kesuwungan pernah begitu penting dan menjadi babak wajib bagi tokoh-tokoh setiap generasi.

Menyendiri bukan berarti putus asa, galau, ketinggalan zaman, ataupun terlampau idealis. Lebih jauh dari semua itu, menyendiri adalah laku berpikir, berguru, dan mengobrol dengan diri sendiri. Oleh sebab itu, kitab-kitab di Jawa memang tak seharusnya tertulis. Manusia Jawa pernah dan mungkin masih memahami tubuhnya sebagai perpustakaan terlengkap yang berisi kitab-kitab dari generasi awal manusia bahkan sebelum penciptaan manusia sampai yang terakhir. Maka, kitab Manikmoyo jika dibuka berisi lembaran kosong bukan teori penciptaan semesta. Kalaupun ada aksara, adalah laku seorang manusia yang mencoba menuliskannya. Bukan murni isi kitab yang dimaksud. Lembaran kosong menjadi pintu masuk manusia untuk membacanya. Laku membaca menjadi laku memasuki ruang dan waktu yang berbeda.

sumber gambar: www.hewaitsadi.wrodpress.com


Hindu dan Buddha masing-masing memiliki laku berhening yakni Semedi dan Meditasi dalam persembahannya. Islam memiliki laku shalat tetapi khusus untuk pencarian petunjuk maupun jawaban, Islam menganjurkan shalat Istikhoro (setelah shalat malam melakukan dzikir dalam hati sampai tertidur atau tak sadarkan diri) dan juga shalat Daim atau shalat nafas (menghirup “Hu” dan menghembuskan “Allah”). Sayangnya, muslim-muslim yang meyakini dirinya awam enggan mencoba berhening, mereka lebih suka meminta bantuan Kiyai untuk ber-istikhoro. Yang mungkin diusahakan hanyalah selembar amplop yang diisi rupiah. Lambat laun, mereka semakin meyakini dirinya awam yang tak mungkin bisa menemukan jawaban pada istikhoro-nya. Batasan-batasan yang melilit keyakinannya menjauhkan mereka dari Tuhan dan dirinya sendiri. Ia lebih memilih tawasul daripada ikhtiyar dengan dalih tawasul adalah ikhtiyar-nya.

Seperti juga saat mereka membaca kitab, mereka takkan berani memahaminya sepenuh hati. Mereka memilih memahami pemahaman orang lain yang terlebih dulu darinya. H.B. Jassin pernah menggegerkan semesta Nusantara dengan menerjemahkan Alqur’an dengan judul Bacaan Yang Mulia. Jassin menganggap bahwa Alqur’an adalah karya sastra yang agung dan semestinya diterjemahkan secara sastrawi. Maka, Alqur’anul Karim diartikan dengan sederhana menjadi Bacaan Yang Mulia. Akhirnya, Jassin panen kritikan dan sumpah serapah. 

Sekian tahun setelah Jassin, kita mendengar damai syi’ir yang diyakini sebagai karangan seorang Kiyai kharismatik dengan panggilan Gus Dur. Sepenggal syi’ir berbunyi: alqur’an qodim wahyu minulyo/ tanpa ditulis biso diwoco/ iku wejangan guru waskito/ den tancepake ing jero dodo. Dua baris pertama secara sederhana dipahami sebagai definisi alqur’an yang merupakan wahyu mulia bahkan tanpa ditulis pun bisa terbaca. Kata “iku (itu)” pada baris berikutnya bisa dipahami merujuk pada “alqur’an” ataupun keseluruhan kalimat sebelumnya. Jika dirujukkan pada Alqur’an maka dua baris berikutnya adalah definisi lanjutan: alqur’an adalah wejangan guru waskito atau guru sejati (Gusti) yang menancap di dalam dada. Menancap memberi makna “dalam” dan “di dalam dada” lebih bisa dipahami sebagai representasi benda bernama hati. Artinya, alqur’an adalah wahyu dari Gusti yang berada di kedalaman hati dan mungkin menunggu pembaca datang.

Kenapa harus di hati? Kenapa begitu dekat dengan diri sendiri? Wah kita jadi ingat filsuf termasyhur dari Aceh bernama Hamzah Fansury yang mencari Tuhan sampai ke Makkah dan ternyata bertemu di dalam rumah. Kisah diabadikannya dalam sajak Mencari Tuhan di Baytul Ka’bah dan cuplikan sajaknya bercerita: Hamzah Fansury di dalam Mekkah/ mencapai Tuhan di Baitul Ka'bah/ dari Barus terlalu payah/ akhirnya dijumpa di dalam rumah.

Ah, tulisan terlalu berbelit padahal bisa dirangkum dalam satu kalimat tanya:
Sudahkah kita membaca kita(b)?