Rabu, 09 September 2015

SURAT UNTUK GURUKU


Guru, maafkan aku. Aku tak berani memimpin sumpah di pelantikan organisasi se-FKIP, Senin 7 September 2015, untuk tingkat BSO, Badan Semi Otonom, yang meliputi BSO Teater Bangkit dan BSO LPM Fenomena. Kala itu ruang yang bernama Micro Teaching dipenuhi aktivis mahasiswa ditambah PD III, Bapak Yunus, dan Kajur Departemen Bahasa Indonesia, Bapak Badri. Mereka semua orang-orang hebat karena bersemangat dalam niat membangun FKIP. Tetapi bukan itu yang membuatku tak berani memimpin sumpah, melainkan Tuhan. Aku harus memimpin sumpah dengan menyebut nama Tuhan sedang aku bukan orang yang saleh.
Kala itu, aku belum menunaikan shalat subuh. Aku belum berlindung pada Tuhan penguasa subuh. Aku belum meminta restu kepada Tuhan untuk menjalani hariku. Aku belum menyapa Tuhan dalam kebekuan embun. Tetapi tidak hanya itu yang membuatku merasa bukan golongan orang saleh. Tentu sampean masih ingat ayat pertama Tuhan yang menyuruh kita membaca. Itulah sebabnya. Aku baru mengkatamkan beberapa buku. Lalu bagaimana aku berani memimpin sumpah dengan menyebut nama Tuhan?
Tetapi sampean tak usah terlalu malu mempunyai murid sepertiku. Aku telah sampaikan permintaan maaf akan hal itu. Setelah namaku disebut, aku lekas maju dan memegang mik “Assalamualaikum, terima kasih atas kepercayaannya. Tetapi saya merasa tidak pantas untuk memimpin sumpah. Mohon dimaklumi karena sumpah berhubungan dengan Tuhan. Terima kasih.” Lalu aku duduk kembali di kursiku. Banyak mata menelanjangiku tapi aku hanya berusaha mendengar suara bisik mereka, aku hanya ingin memastikan mereka tak ada yang berkata “Murid siapa itu kok kelakuannya seperti itu?”. Dan benar tak ada suara itu yang masuk ke daun telingah. Aku hanya mendengar dua suara yang berimbang. Pertama, suara menghina karena dirasa terlalu sok suci. Kedua, suara kagum karena ketegasan. Ada pula yang bertanya “Hanya seperti itu? Sudah?”
Bukankah sampean pernah mengutipkan kalimat Teo Tolstoy dalam Hadji Murat “Tali tambang seyogyanya panjang tetapi kata-kata pendek saja.” Adakah muridmu ini, aku, salah? Atau aku hanya berbicara bukan berbahasa? Maka, jangan kapok-kapok mengajariku berbahasa karena sampean adalah guru bahasaku. Uun Nurcahyanti.
Malang, 10 September 2015