Sabtu, 27 Juni 2015

MENCARI JEJAK LANGKAH LPM FENOMENA


Dua tahun yang lalu, saat banyak pamflet organisasi-organisasi yang dipamerkan, saya bertanya pada senior saya “Organisasi apa yang tentang kepenulisan?”. Dia menyarankan untuk masuk ke Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena. Konon, organisasi itu kegiatannya menulis dan menulis. Tanpa banyak pikir saya masuk organisasi tersebut. Setelah mengikuti diklatnya, saya resmi menjadi anggota. Setahun kemudian kegelisahan saya muncul untuk memahami apa sebenarnya makna pers itu. Saya datangi pimpinan umum, Rusli, dan kutanyakan apa makna pers sebenarnya karena sudah setahun saya bergabung dengan organisasi tersebut tapi saya tak tahu apa itu pers. Dia menjelaskan panjang lebar bahwa pers itu adalah sekumpulan orang yang bergelut di dunia jurnalistik, tetapi tetap saja saya tidak paham. Akhirnya saya lari ke Pare di mana saya belajar tentang kehidupan. Miss Uun, pengampuh kelas Bahasa, memberiku sebuah buku, Indonesia Raya Dibredel, karya  Ignalius Haryanto yang menceritakan perjalan seorang Mochtar Lubis dalam mengawal dan mengkritisi kebijakan pemerintahan masa orde baru dengan korannya, Indonesia Raya, sampai akhirnya ditutup atau dicabut izin terbitnya pada tahun 1974.
Dari buku tersebut, saya memahami bahwa makna pers adalah sebuah berita. Sesimpel itukah makna pers? Kusampaikan pemahamanku kepada Miss Uun. Beliau tersenyum seraya berkata “Ya memang begitu”. Beliau menambahkan bahwa pimpinan umum organisasi saya adalah manusia kamus yang artinya tidak mampu atau berani mendefinisikan sesuatu dengan bahasa dari pemahaman sendiri. Maka dia akan mengatakan seperti apa yang didefinisikan buku pelajaran atau semacamnya. Setelah saya paham, saya mulai mantap melangkah di Fenomena dengan langkah saya sendiri tanpa takut salah atau menunggu perintah para senior yang saya anggap sebagai orang-orang yang ahli. Singkat cerita, setelah dua tahun di Fenomena, saya dipercaya sebagai pimpinan umum tepatnya beberapa minggu yang lalu. Saya mulai mencoba membangun pondasi Fenomena yaitu AD ART-nya yang telah lama hilang. Sebenarnya pembuatan AD ART sudah direncanakan sejak masa sebelum saya, masa kepemimpinan Fikri Harahap, tetapi belum bisa terlaksana. Terima kasih untuk LPM MEI, Media Ekonomi dari Fakultas Ekonomi, yang telah membantu kami dengan memberikan gambaran AD ART-nya. Setahu saya, ini yang kedua kalinya LPM Fenomena meng-copy AD ART LPM MEI. Yang pertama adalah di masa kepemimpinan Mas Herliyanto.
Dalam pembuatan AD ART Fenomena, yang paling sulit adalah mencari tanggal berdirinya organisasi ini. Sebagai organisasi yang tidak memilik camp wajar kiranya berkas-berkas tidak mampu terdokumentasikan dengan baik. Ditambah hubungan kami dengan para alumni cukup jauh dan ketika kami tanyakan, tak satu pun tahu kapan tepatnya Fenomena didirikan. Ikhtiar mencari terus kami lakukan, ada sedikit titik terang ketika saudara Fikri Harahap menemukan artikel alumni FKIP yang dimuat di web FKIP Unisma. Setelah ditelaah lebih jauh, artikel tersebut diambil dari media online, kompasiana.com, karya Abdul Malik dengan judul Betemu Wiji Thukul di Malang. Artikel tersebut mencantumkan majalah Fenomena edisi ke V sebagai referensi. Tetulis September 1995 Fenomena menerbitkan majalah yang meliput wawancara dengan Wiji Thukul. Tapi sayangnya saat kami mencoba menghubungi penulis, kami kesulitan karna setahu kami penulis hanya aktif di Twitter. Kami sudah mengirim pesan lewat Twitter yang isinya memohon beliau berkenan menghubugi email yang kami cantumkan. Semoga beliau segera membuka Twitter dan membaca pesan tersebut dan mau menghubungi kami. Amin.

Gambar: Majalah Fenomena edisi V yang dibuat referensi

Dalam hal ini saya tidak kecewa dengan pendokumentasian LPM Fenomena yang gagal menjaga berkas-berkas penting Fenomena. Yang saya kecewakan adalah di mana tulisan-tulisan para senior atau pelopor berdirinya Fenomena yang tentunya bisa menjadi rujukan anggota LPM Fenomena di masa mendatang. Maka dari itu, saya harapkan tulisan ini mampu menjadi perekam sejarah Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena, FKIP Unisma. Dan akhirnya, salam persma.
Malang, 28 Juni 2015

SEDEKAH KATA: MARI MEMBACA

Salam persma, berbagai macam hal baik dilakukan orang islam dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Bahkan bisa dipastikan hampir di setiap masjid kebanjiran jamaah terawih di hari pertama Ramadhan. Dengan iming-iming pahala yang berlipat, para muda dan mudi pun enggan untuk ketinggalan ‘baik’ di bulan Ramadhan. Mulai dari meminta maaf sebagai penyuci hati pun dilakukan entah secara langsung maupun tidak langsung seperti sms, BBM, dan email. Bulan Ramadhan pun lebih sering berganti nama menjadi ‘Bulan Suci’. Pendefinisian tersebut tentu berpengaruh pada tindakan-tindakan pendefinisi. Para agamis pun selalu menyempatkan doktrin ‘Bulan Suci’ dengan berbuat macam hal baik seperti membaca Al-Qur’an, bersedekah, membantu orang tua, dan tentunya puasa.
Pagi ini pukul 06:34, ada sms masuk ke nomer saya. Sms itu dari guru saya, Uun Nurcahyanti, yang telah banyak bersedekah kata kepada saya, yang membuat saya sering berfikir lebih, yang membantu saya memahami makna ‘pers’ , tertulis:
“Berapa buku yang kau niatkan untuk dikhatamkan dan berapa surat yang kau niatkan untuk kau pahami maknanya dan kau tafakuri dalam menafsirkannya di bulan literasi ini, bulan turunnya Al Quran”
Saya mematung sebentar dalam menafakuri sms tersebut, banyak hal yang saya pikir dan dapatkan. Pertama, saya telah melupakan niat untuk melangkah di bulan Ramadhan ini. Padahal agama sudah mengajarkan bahwa niat adalah penentu arah melangkah, sedangkan basmalah adalah langkah pertama menuju arah ‘niat’. Kedua, pemahaman Al Qur’an. Memang benar membacanya saja sudah dihitung pahala, tetapi alangkah baiknya memahami kitab agama kita sendiri. Saya berfikir bahwa memang bukan tingkatan kita sebagai orang islam yang lama mengaku islam atau bahkan sejak lahir kita terislamkan malas untuk memahami Al Qur’an karena dalil tadi. Ketiga, pendefinisian bulan Ramadhan sebagai ‘Bulan Literasi’. Al Quran sebagai sumber ilmu tentunya pantas menyandang kata literasi, maka bulan di mana Al Qur’an diturunkan pun pantas menyandang kata literasi. Juga, ayat pertama dalam Al Qur’an adalah perintah membaca. Jadi, selamat beribadah membaca di bulan literasi 1436 Hijriyah.
Malang, 18 Juni 2015