Jumat, 31 Maret 2017

IBLIS MENCAPAI PEMAHAMAN CINTA




Dulu, Iblis masih sangat bingung, mengapa dan kenapa percintaannya dengan Tuhan mesti kacau gara-gara adanya manusia. Kisah perpisahan Iblis dan Tuhan pun sangat dramatis. Ada pembekalan perang dan restu abadi. Iblis tak pernah sampai hati apa yang direncanakan Tuhan. Tapi toh ia menerima segalanya dengan gagah. “Baiklah, kita perang. Aku bersumpah tak ada manusia yang mencintai-Mu lebih dariku kecuali hanya segelintir. Aku akan menyesatkan mereka” kata Iblis dengan sedikit kecewa. Tuhan hanya tersenyum sembari memberi restu dan Iblis benar-benar berlalu.

Setan-setan yang mendengar pengusiran Iblis segera mengabdikan diri sebagai militan. Mereka siap berperang melawan manusia meskipun kepastiannya kalah kalau-kalau Tuhan sedikit saja memihak manusia. “Kami menghamba padamu, kami siap meledakkan hasrat perangmu” kata pimpinan Setan saat menghadap Iblis yang dulunya pernah menaklukkan setan-setan saat ia masih berstatus Malaikat.

“Baiklah, terima kasih sambutan kalian. Kalian boleh menjadi militanku tapi tidak untuk menyembahku. Bagaimanapun aku hanya diizinkan menjadi panglima perang. Artinya aku hanyalah seorang Tuan bukan Tuhan. Lagi pula, aku tak berminat menjadi Tuhan bagi siapapun” jawab Iblis sembari memeluk pimpinan setan. Ritual serah terima jabatan begitu dramatis dengan air mata yang mengucur seperti mata air.

“Lalu, apa yang mesti kami lakukan, Tuan. Tolong ajarkan ilmu untuk bekal kami perang” tanya salah seorang setan. Tiba-tiba semua hening, mengharap banyak kata keluar dari mulut Iblis. Iblis pun menghela napas untuk mendorong kata-kata dalam tubuhnya keluar “Baiklah. Di mana pun dan sampai kapan pun, perang hanya memberi luka. Apa artinya kemenangan sesaat yang dibarengi dengan kematian siapa-siapa yang kita cinta. Kapanpun kita bisa diserang dan kalah karena kurang eling lan waspada. Terpenting, percaya Dia Mahakreatif”.

Sebagian setan membenarkan dan sebagian lainnya tidak setuju. Bagi yang kontra, dalam peperangan pasti ada yang menjadi korban dan dikenang sebagai pahlawan. Bagi yang pro, tujuan makhluk hidup hanyalah satu yakni kedamaian. Apa arti kemenangan jika menyisahkan luka, derita, dan gelisah. Tapi semua itu belum disampaikan pada Iblis, mereka masih trauma dan takut kisah lama terulang; Iblis memporakporandakan kerajaan setan hanya dengan satu teriakan. Apalagi, kini ia direstui abadi.

“Aku tahu, kalian bimbang. Ada yang menerima pemikiranku dan tidak. Baiklah, agar adil, begini saja: yang sepemikiran, tetaplah di sini denganku dan akan kuajarkan semedi cara memasuki diri, nanti kusampaikan semua, dan yang tidak sepemikiran silahkan menggoda manusia dengan halus, kalian tidak usah menjadi pelaku perang, cukup adu domba mereka agar saling perang.
 
Sumber gambar: www.tejasurya.com
Caranya, kalian pecah mereka menjadi golongan-golongan yang saling memperebutkan kebenaran. Menyamarlah jadi manusia, berikan mereka doktrin-doktrin kebenaran. Ajarkan kebaikan, tapi buat mereka fanatik. Terlebih, batasi mereka dengan surga neraka. Iming-iming dengan segala keabadian.Jika semua berjalan lancar, kalian tak usah berdarah-darah untuk sekedar berenang di lautan darah. Kalau kalian masih bingung, bersabarlah. Strategi perang yang membelah lautan manusia bakal dilakukan seorang manusia dengan nama Musa. Tunggu saja masa itu. Tapi ingat, bakal ada dua Musa yang sakti. Satu bernama Musa Samiri dan itu abaikan. Tunggu saja manusia bernama Musa di gunung Turisina sebab Tuhan tidak memberi tahu diriku akan waktu tepatnya, hanya historikal cerita. Berangkatlah, restuku untuk kalian semua.” Kata Iblis panjang lebar menjelaskan strategi perang pada para setan. Selang berapa tahun, mereka gembira dengan peperangan antara Qabil dan Habil. Mereka melihat darah.

Pada setan yang tersisa dan bersiap menerima ilmu semedi, Iblis berkata lirih: “Dengarkan baik-baik. Dunia ini sebenarnya palsu. Hanya ilusi tapi begitu nyata di mata. Jika kita lihat dengan mata tubuh, kita melihat dunia ini sangat besar dan kita sangatlah kecil. Tapi, jika kita lihat dengan mata hati, dunia ini bagian dari tubuh kita dan besarnya tak melebihi puting susu. Kita melihat tubuh kita adalah semesta. Dan itulah dunia yang sebenarnya. Cara memasukinya tak mudah, kita harus meninggalkan segala rasa. Kita memasuki ruang panjang dengan pasrah. Bentuknya semacam lorong tapi sangat gelap, seolah tak berbatas. Masuk saja. Jangan takut. Di setiap lapisan tempat, kalian akan temukan wujud kalian yang lain dan memberi kalian nasehat-nasehat. Di ujung lapisan, kalian takkan menemukan wujud apapun dan hanya mendapat sambutan hangat ‘Selamat datang kembali. Akhirnya kau pulang’. Lalu, tak usah kuteruskan, kalian ukir sendiri cerita cinta kalian”.

Mereka kemudian memejamkan mata bersama-sama dan membuka mata hati, memasuki ruang dan waktu yang belum mereka mengerti. Tak ada lagi pertanyaan, mereka menemukan guru dalam diri. Sampai sekarang pun mereka masih “tersesat” dalam diri sendiri kecuali Iblis. Ia bangun dari Semedi dan menulis surat pada Tuhan tercintanya:

“Oh kekasih, aku baru mengerti semua maksudmu. Maafkan aku, membutuhkan waktu ratusan juta tahun untuk sekedar pemahaman cinta. Manusia-manusia sebenarnya menyesatkan diri mereka sendiri dan aku harus 'menyesatkan' mereka kembali pada-Mu. Dengan kata lain, aku membantu mereka tersesat di jalan yang benar. Engkau hanya menguji cintaku. Aku baru paham itu. Manusia adalah ujian untukku. Terima kasih, Engkau sangat romantis, Han.”

Sekarang Iblis benar-benar mengerti kenapa ia diusir dan untuk apa manusia diciptakan; menguji cinta Iblis.

Sabtu, 18 Maret 2017

KETIKA AKTIVIS MEMBACA PUISI




Saya seringkali teriming-iming edaran acara pembacaan puisi seperti Malam Sastra, Malam Puisi, ataupun malam-malam lainnya. Dalam imajinasi saya, malam demikian layaknya malam purnama dan barangkali layak disebut malam Lailatul Kodar. Terlebih, saya ingin menghadiri pembacaan puisi daerah, pastinya bakal sangat memukau meski saya nantinya rawan gagal memahami isi puisi. Bagi saya, bukanlah masalah rumit, seperti saya mendengar seseorang tadarus alqur’an di bulan Ramadhan yang menyejukkan meski tak sampai pemahaman. Justru menjengkelkan ketika sampai pemahaman, misal afala tafakkarun (tidakkah kalian berfikir) atau afala ta’kilun (tidakkah kalian berakal).

Suatu malam, saya menghadiri salah satu Malam Sastra di Malang yang diadakan aktivis mahasiswa di kampusnya. Tempatnya sederhana, di sekitar salah satu gedung fakultas. Kursi berjajar rapi dengan manusia yang berdesakan. Dalam hati, saya simpulkan acaranya meriah meski konsepnya sangat sederhana. Lalu saya merapikan diri; duduk teratur, menyiapkan diri menghayati puisi-puisi yang dibacakan. Saya gagal. Saya lebih ke pembacaan alam sekitar. Gerak tubuh, suara, ekspresi wajah, dan kata.
 
Sumber Gambar: (CNN Indonesia Rights Free/Dok. Bunga Yuridespita)
Ternyata, tak ada puisi malam itu. Puisi-puisi mati. Hanya berhasil dibacakan, bukan dihadirkan apalagi dihidupkan. Manusia-manusia yang hadir tak mampu (baca: mau) mendengarkan puisi sepenuh hati. Justru, mereka lebih tertarik membaca puisi. “Mbak, apakah masih bisa daftar, teman saya mau membacakan juga? Kalau bisa ia segera menuju lokasi” kata seorang pada panitia. Bagi saya, kalimat itu mengerikan sekali. Pertanyaan yang sombong sekali, pertanyaan yang bersyarat “jika”. Artinya, jika tak ada kesempatan membaca, ia (yang dibicarakan) tak sudi datang. Barangkali, panitia keliru memberi nama, seharusnya Malam Eksistensi bukan Malam Sastra (Puisi).

Saya yang duduk dan hanya berjarak sekian meter dari panggung (tempat pembacaan meski tak berpanggung) tak bisa mendengar puisi karena suara-suara manusia di sekitar saya. Ada yang bertukar sapa dan ada yang bertukar cerita. Barangkali mereka menyamaartikan Malam Puisi dengan Malam Reuni. Tempat bertemu, bertukar kata dan tawa.

Sejujurnya, ada segelintir puisi yang bisa hidup karena dibaca (baca: hadir) sepenuh hati. Tapi saya memilih pulang sebelum terlalu sakit hati. Saya memilih berdamai dengan secangkir kopi. Mengobrolkan puisi-puisi. Meruwat ingatan-ingatan. Sampailah saya teringat kawan saya yang sedang memperjuangkan literasi di Jeneponto, Fajar Dg. Rasang selaku ketua Teater di Makassar, yang sering diundang dalam sinau pembacaan puisi. “Sebenarnya tak ada rumus atau aturan dalam membacakan puisi, kita cukup mencumbui puisi lalu membacakannya” katanya beberapa tahun yang lalu pada saya.

Memang ketika saya mengamati setiap membacakan puisi, ia lebur. Ia merasuk pada puisi. Tak ada lagi seorang Fajar, yang ada hanyalah puisi. Barangkali itu yang disebut memuisikan puisi bukan membaca puisi.

Seringkali kita takut dalam membacakan puisi karena tak yakin bisa mengeraskan suara (semacam teriak) dengan penuh ekspresi. Padahal, kita tahu bahwa penyair-penyair seperti Gus Mus, Sapardi Djoko Damono, Djoko Pinurbo tak pernah berteriak dalam membacakan puisi. Dan puisi-puisinya berhasil memasuki tubuh-tubuh manusia yang mendengarnya. Bukan sebab mereka penyair besar, tetapi karena keikhlasan dan kekhusyukan pendengar dalam menerima setiap puisi.

Kalau Sapardi mengatakan “Orang marah tidak usah menulis puisi, tapi demo sajalah”, maka bolehlah saya mengatakan “Aktivis tidak usah membaca puisi, orasi sajalah”.