Sabtu, 07 April 2018

Berkisah Sepi Lewat Puisi



“Huruf-huruf membuat setiap kata mendapatkan kaki dan ladangnya.”
—Afrizal Malna


Perjalan diri menjadi perjalanan puisi. Kesepian tak selalu mengajak diri berakhir dengan tangisan, kegalauan, maupun curhatan di media sosial. Kesepian bisa berakhir dengan puisi. Laku berdamai dengan sepi diikhtiarkan Citra Pertiwi Amru (CPA) dan barangkali berhasil dengan terbitnya antologi puisi Kisah Kelana (Penerbit Mlaku: 2018). Buku setipis 50 halaman berisi 29 puisi yang berkisah perjalanan diri. Buku diterbitkan dan dipersembahkan untuk guru bahasanya yang diakhiri kalimat keraguan: apa ia mau menerima?

Hidup adalah perjalanan kata. Barangkali begitu suguhan pengantar dari Uun Nurcahyanti, “Perjalanan sepi bersaut kata dan tanda baca, lantas melahirkan puisi. Puisi menjadi titian penting pencatatan ulang sepi yang terbangun di mazhab keriuhan.” Tulisan juga menjadi peringatan bahwa buku ini berkisah perjalanan sepi. Membaca Kisah Kelana berarti membaca kisah perjalanan manusia kesepian, melawan sepi, dan berdamai dengan sepi.

Perjalanan Sepi
Perenungan tentang sepi dimulai oleh jeda diri. Setelah sekian kesibukan dalam sebuah rutinitas, CPA berkesempatan istirahat; memberi jeda untuk membaca diri. Kita simak cuplikan puisi pembuka “Kecupan Juang”: Gunungan kesibukan menunggui/ di awal pagi/ kau dan aku tenggelam dalam gunungan kesibukan/ hingga mereka lupa kembali pada nurani/ inilah kesibukan melingkari manusia-manusia sekarang/. Rutinitas menjadi kesibukan yang melingkar dan sekian banyak manusia tenggelam dalam putaran rutinitas, termasuk CPA. Keinsyafan menuntunnya pada pembacaan diri. Membaca diri barangkali tak semudah mengeja buku. Tubuh menyimpan kitab sejarah. Membaca diri tak bisa dengan sekedar niat, melainkan butuh perjuangan. Puisi ditutup bait kesadaran jalan juang: …kisah–kisah nenek moyang tidur dalam singgahsananya/ Menunggu kecup manis seorang juang/.

Sampul depan bergambar Prabu Arjuna (koleksi Universitas Leiden, Belanda)


Kembali pada diri berarti kembali mempertanyaan hal-hal ke-diri-an. Dalam puisi berjudul “Tubuh Sepi”, penyair menyajikan pertanyaan sepeleh namun serius: Siapa aku?/ Siapa aku?/ Jangan-jangan aku hanya roh meminjam tubuh sesiapa?/ Jangan-jangan aku merasai sepi karena tak tahu diriku siapa?/ . Kesepian tak melulu berkisah tentang kesendirian dari pasangan ataupun kekasih. Sepi bisa berarti asing dengan diri sendiri. Menjawab pertanyaan siapa dalam imajinasi memang tak semudah menjawab siapa dalam buku-buku sekolah seperti Lembar Kerja Siswa (LKS). Waktu semalaman belum tentu cukup untuk menjawab pertanyaan sepeleh itu. Di bait akhir, CPA berkisah kegagalan menjawabnya: Malam menelanjangi waktu yang kupunya/ mampuslah aku berperang dengan sepi/ aku benar-benar tak mengenal siapa aku/ aku dan tubuhku belum saling mengenal/ aku ini siapa?/ aku mau kemana?/. Pertarungan melawan sepi menambah kegelisahan diri, memperkeras suara tanya tentang siapa aku. Pertanyaan tak terjawab dan justru bertambah luas; aku mau kemana?
 
Di puncak segala putus asa, manusia seringkali bertemu pasrah. Pamrih menjawab pertanyaan diri yang gagal, melemaskan diri dan bahasa. Dalam puisi yang judulnya dipakai judul buku ini; Kisah Kelana, penyair mengabarkan kepasrahan di bait penutup: Biarlah aku papa ditikam sepi/ supaya kelak sawahmu tak lagi/ menahan tangis/ dan rumah menjadi tempatmu pulang/ sehabis kelana/. Penyair mengalah dan memilih berumah pada sepi. Barangkali di waktu yang sama, CPA menyudahi peperangan anatar diri dan sepi. Damai!

Menjawab Siapa Aku
Pasrah bisa jadi jalan kebersyukuran di mana Tuhan berjanji memberi kejutan tambahan nikmat. Dalam falsafah Jawa kita mengenal kalimat nerimo ing pandum (menerima dengan lapang dada pembagian Tuhan). Kepasrahan CPA, barangkali menjadi penyebab ia dibanjiri jawaban atas “Siapa aku?”. Tafsir-tafsir keakuan dihadirkan. Kita simak cuplikan puisi setelah Kisah Kelana dengan judul Bilangan Monyet: Mereka bilang saya monyet/ karena pandai bersyukur/ bukan itu/ sekali lagi bukan/ bukan karena bersyukur tetapi terlalu/ puas akan setitik paham/. Sepuluh hari setelah kepasrahannya, Kisah Kelana ditanggali 9 Maret 2017 dan Bilangan Monyet ditanggali 19 Maret 2017, penyair mengaku mendapati setitik paham walau bernada getir: Mereka bilang saya monyet. CPA menjawab “Siapa aku?” dengan dari diri lain: kata mereka.

            Sedikit demi sedikit, penyair mendapati jawaban jati dirinya. Tentu saja versi hati nuraninya. Kisah kelahirannya diceritakan di puisi “Malammu”: Aku lahir dari 26 huruf/ terangkai menjadi kata/ entah jelmaanku menjadi frasa, kalimat/ atau paragraf/ bahkan nanti aku menjelma/menjadi puisi untukmu/. Jalan sepi yang dilaluinya berbekal bahasa menjadikannya merasa terlahir sebagi huruf, frasa, kalimat, paragraf, juga puisi. Komponen bahasa dari yang paling sederhana berkembang dalam gabungan-gabungan. Ia yang awalnya huruf, menjadi kata. Ia masih berpikir menjadi kata dan entah nantinya bakal menjadi frase, kalimat ataupun doa seperti yang dituliskannya dalam puisi Iqro’: Huruf-huruf yang berhimpitan menulis/ rangkaian doa/ doa orang yang bebas dari pikirannya/ doa orang yang terbelenggu dari/ pikirannya/ jari-jariku turut mengaminkan beberapa/ bait-bait doa/.

Puisi tiba-tiba bergelimang doa. Kita tidak perlu membenarsalahkan jawaban penyair atas pertanyaannya sendiri. Kita pun sangat boleh mengamini doa-doa yang dipanjatkan Citra Pertiwi Amru dalam puisinya, terlepas apapun maksud hatinya. Amin.


Senin, 02 April 2018

Toilet



Kamar mandi menjadi rumah kecil di dalam rumah. Kita bisa me-masuk-keluar-inya lebih dari tiga kali dalam sehari. Mandi, buang air kecil atau air yang lebih besar dari kecil, atau pula sekadar membasuh muka menjadi rutinitas laku di dalam rumah kecil kita. Kamar mandi menjadi ruang penting di dalam rumah. Seberapa penting kamar mandi, dijelaskan pepatah yang ditulisingatkan Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam Kentut Kosmopolitan (Penerbit Koekoesan: 2008: 128), “Pepatah kuno, jangan menilai pemilik rumah dari ruang tamunya, tetapi dari kamar mandi dan WC-nya,…” Wah, pepatah yang sangar. Ruang kamar mandi menjadi penentu penilaian orang pada pemiliknya. Kamar mandi, istimewah dan penting!

Kita bisa tidur di tenda, mobil, bus, emperan toko, dsb. tetapi apa kita bisa buang air kecil ataupun besar di sembarang tempat? Sebagian kita, bisa. Sebagian lainnya, tidak. Harus di ruang tertutup yang aman dari mata-mata genit yang tertarik dengan bentuk-bentuk bokong. Ruang sepi di mana kita bisa khusyuk menunaikan ibadah buang hajat. Urusan di dalam kamar mandi, mesti diselesaikan sendiri. Begitu kira-kira cuplikan peringatan penyair kita, Joko Pinurbo (Baju Bulan, 2013), Antar Aku ke Kamar Mandi: maka kuantar kau ziarah ke kamar mandi/ dengan tubuh tercantik yang masih kaumiliki// kau menunggu di luar saja// ada yang harus kuselesaikan sendiri/.

Frase buang hajat sebenarnya agak aduhai. Buang ya buang, hajat ya kebutuhan. Lantas, membuang kebutuhan? Atau kebutuhan membuang? Tetapi tulisan ini tidak dihadirkan untuk memperkarakan bahasa, seperti biasanya. Aku ingin berbagi perkaraku dengan toilet yang tak lain prihal modelnya. Modernitas mengajak memodernisasi segala hal dari yang besar dan pelik sampai yang sederhana dan sepeleh. Cara beribadah di dalam kamar mandi kita pun diurusi modernitas dari yang Buang Air Besar (BAB) sembari jongkok, kini diajak berganti duduk. Aku tak mau! Di dalam kamar mandi dengan toilet duduk pun aku masih nekad berjongkok. Sekalipun hal itu masuk kategori dholim, tidak meletakkan sesuai tempatnya di mana desain toilet duduk sangat halus dan diperuntukkan untuk pantat tetapi kupakai untuk kaki, aku sulit bertaubat dari kedholiman itu. Maha suci Tuhan pemilik segala toilet.

beribadah eek dan ikrok (sumber: brilio.com)


Di kampusku, cara mengetahui mana bangunan lama dan mana bangunan baru—jika sama-sama diperbarui catnya—adalah melihat isi kamar mandinya. Toilet jongkok berarti bangunan lama dan toilet duduk berarti bangunan baru. Begitu. Tapi… ini hanya cara imajinatif, belum dilakukan penelitian dengan sekian validasi. Pasangan dari toilet duduk adalah tempat kencing berdiri, dan aku belum bisa sampai sekarang. Jadi, kalau buang air kecil, aku lebih memilih masuk toilet. Toh tidak ada himbauan: ruang khusus buang air besar, jika airnya ternyata kecil, maka dikenakan denda. Kalau itu terjadi, mungkin kutambahkan pertanyaan di bawahnya: seberapa besar yang tidak terdenda dan seberapa kecil yang terdenda?. Dan pernyataan protes: jika tidak ada ukuran yang akurat, aku bebas keluar-masuk loh!

Awalnya kupikir aku saja yang tidak bisa menuruti kemauan toilet duduk. Setelah mengobrol dengan kawan, kekasih, saudara, ternyata beberapa dari mereka juga sama; tak suka toilet duduk. Ada yang memilih menghindarinya, ada pula yang sepertiku memakainya dengan berjongkok. Maaf toilet, ini fakta, kau mesti lapang dada menerima kaki walau yang kau harap adalah bokong terlebih yang semok. Aku legah. Bagaimana pun kegagalan berhajat dengan duduk jika terjadi padaku saja, bisa disebut sebuah kelainan. Menjadi semakin legah setelah membaca kumpulan puisi berjudul Mbeling (Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia: 2004) garapan Apo Manampiring atau Diano Nimkan atau Unggal Walangati atau S.A. Atmodirono atau Juliana C. Panda atau Dova Zila atau Alif Danya Munsyi atau Yapi Tambayong atau Remy Sylado. Penyair dengan nama samara sangat banyak tersebut memang terkenal mbeling. Kita simak cuplikan puisi yang semakin melegahkanku dengan judul Ciri-ciri Orang Indonesia: di semua toilet bandara internasional/ orang-orang Barat duduk dan kelihatan kakinya/ orang-orang Indonesia tak kelihatan kakinya/ berjongkok di atas cuma melepaskan sepatu/.
 
Puisi digubah tahun 1982. Duh, ternyata jongkok dan duduk di dalam toilet, berpengaruh pada kecirikhasan Indonesia di masa Orde Baru. Apakah masih berlaku? Entahlah. Andai saja puisi digubah di tahun ini, mungkin toilet kampusku kuberi sekalimat peringatan: Berhajat sambil jongkok adalah bukti sikap nasionalisme kita, Bung!